ARTIKEL HUKUM
KEADILAN DAN KEBENARAN BUKAN MONOPOLI
SARJANA HUKUM
Banyak diantara anggota masyarakat yang salah kaprah dalam menghadapi
sarjana hukum yang “nakal”. Beradu ilmu secara frontal terhadap kalangan
sarjana hukum, dengan memakai dalil-dalil aturan hukum, tentu saja bukan strategi cerdas karena berpotensi akan berbuah
pahit. Seorang sarjana hukum tahu dengan benar trik-trik bermain dengan hukum
dan berlindung dibalik celah hukum.
Sekalipun salah, sarjana hukum akan berposisi selalu diatas angin bila masyarakat
awam hukum berlagak mengerti hukum dan mencoba menyerang sarjana hukum “nakal”
tersebut. Kecuali Anda benar-benar tahu pasti pasal atau aturan hukum yang akan
Anda pakai untuk menyerang sarjana hukum yang nekat melanggar hukum.
Menghadapi sarjana hukum “nakal”, butuh strategi/pendekatan tersendiri, terlebih
bila berbagai celah hukum masih dapat disalahgunakan untuk berkilah olehnya. Anda pun selaku masyarakat awam, perlu menyadari dan memahami, siapa yang terlebih dahulu ingkar janji ataupun melawan hukum. Adagium hukum berbunyi, siapa yang terlebih dahulu ingkar janji tak pada tempatnya menuntut prestasi dari pihak lain.
Jika masyarakat awam tidak memahami dengan baik aturan hukum maupun
yurisprudensi terlebih doktrin asas-asas ilmu hukum, maka salah satu jalan
ialah menyewa sarjana hukum untuk menghadapi sarjana hukum, inilah yang kerap terjadi pada "perang hukum".
Bila Anda merasa lebih puas untuk menghadapi langsung secara frontal
terhadap sarjana hukum “nakal” tersebut, maka langkah satu-satunya ialah
menyerang dengan argumentasi-argumentasi seputar topik “moralitas”. Berbicara mengenai
moralitas? Ya, benar sekali. Sarjana hukum “nakal” paling takut berperang dalam
ranah “moral”.
Seorang dewasa yang masih memiliki akal sehat, akan sadar bahwa dirinya
berbuat melanggar moralitas meski tidak melanggar dalam konteks hukum negara. Sekalipun
sarjana hukum “nakal” tersebut berkilah, alam bawah sadarnya akan membenci
dirinya sendiri karena begitu hina dan bobrok secara moral sehingga tiada lagi
harga diri tersisa bagi dirinya sendiri. Ketika harga diri runtuh, citra diri rusak, maka fondasi kehidupannya pun akan rapuh.
Namun, bila klien dari sarjana hukum tersebut memiliki moral yang “bobrok”,
bahkan berani menipu sarjana hukum yang memberi jasa hukum padanya, maka klien
semacam ini sejatinya tengah menggali lubang kubur sendiri.
Jangan coba-coba menggunakan trik defensif licik seperti memfitnah
terlebih dahulu dengan harapan lawan akan gentar. Seorang lawan, yang merasa
sakit hati karena difitnah, akan menjadikan lawan dipenuhi energi meluap untuk
membalas dendam. Jangan pernah menyerang lebih dahulu dengan cara-cara tidak
terpuji seperti fitnah ataupun putar balik fakta. Lawan musuh Anda secara
elegan, secara terhormat, secara jujur, dan secara gentleman, maka sekalipun Anda menang atau kalah harga diri Anda tetap
pada tempatnya. Perlakukan orang lain secara hormat, maka Anda baru berhak untuk menuntut diperlakukan secara hormat.
Lantas, tipe sarjana hukum seperti apa yang tidak terkalahkan (unbeatable)?
Dari pengalaman pribadi penulis, sehebat apapun lawannya, bila lawan
tersebut menghadapi seorang sarjana hukum yang kuat secara intelektual hukum dan
teguh dalam hal moralitas, maka tipe sarjana hukum seperti ini hendaknya tidak “dicoba-coba”.
Unbeatable !
Tipe sarjana hukum yang teguh dalam moralitas serta sempurna dalam
pengetahuan hukum, adalah langka. Ciri-ciri sarjana hukum dengan karakter
demikian, cenderung tidak menonjol, seringkali akan bangkit dan menunjukkan
taringnya bila terlebih dahulu diserang. Lawan-lawannya yang berani
mencoba-coba dipastikan akan menyesal dikemudian hari.
Bukan berarti mereka yang tidak memiliki latar belakang disiplin
pendidikan tinggi hukum tidak memiliki daya dalam hukum. Mari kita simak kisah
berikut.
Alkasih seorang mahasiswa pada bangku pendidikan tinggi hukum beradu
argumentasi dengan sang dosen, dimana berujung pada penghinaan dan olokan dari
sang dosen terhadap mahasiswa yang bersikap kritis tersebut. Sang mahasiswa
hanya bisa pasrah, meski dirinya tahu benar memiliki dalil serta argumentasi
yang logis dan benar.
Sejak saat itu, diri sang mahasiswa mulai menyadari: kebenaran dan
keadilan bukan monopoli sarjana hukum.
Alkisah seorang sarjana hukum beradu argumentasi dengan seorang Doktor dibidang
Hukum. Sang Doktor Hukum mengolok dan menghina sang sarjana hukum. Namun sang
sarjana hukum hanya bisa pasrah, menyadari bahwa yang dihadapinya memiliki
title gelar "Dr. Hukum", meski ia sadar bahwa argumentasi yang disampaikannya
dibangun dari riset yang luar biasa kaya akan intelektual dan ilmiah.
Sejak saat itulah, diri sang sarjana hukum mulai menyadari: kebenaran dan
keadilan bukan monopoli Doktor Hukum, bukan pula monopoli Magister Hukum, bukan
pula monopoli Phd Hukum dari luar negeri. Seorang cendekia tidak memiliki gelar ataupun atribut, namun seorang cendekia berada diatas gelar apapun.
Alkisah seorang warga masyarakat awam dipidana meski dirinya tidak pernah
melakukan tindak pidana. Dirinya telah dikriminalisasi oleh aparat “penegak
hukum”, yang notabene para hakim, para polisi, para jaksa adalah mereka yang
mengenyam profesi hukum.
Sejak saat itulah, diri sang orang awam mulai menyadari: kebenaran dan
keadilan bukan monopoli aparat penegak hukum, bukan pula monopoli sarjana hukum
ataupun Doktor Hukum. Tidak sedikit penulis jumpai realita dimana kalangan akademisi disewa sebagai "ahli bayaran" di depan persidangan guna memberikan keterangan yang disponsori. Jadilah sikap imparsial kalangan akademisi ditanggalkan demi urusan pragmatis.
Terkadang dalam realita, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi
benar. Profesi hukum tidak identik dengan profesional hukum, sebagaimana
profesi kedokteran tidak identik dengan malaikat suci yang jujur murni dan
bersih.
Terkadang hukum adalah alat kejahatan itu sendiri, meminjam terminologi
yang dikemukakan oleh Ronny Nitibaskara, law
as a tool of crime.
Adalah sungguh sukar menghadapi kalangan profesi hukum yang dapat
berlindung di balik aturan hukum yang jahat. Membendung dirinya dengan berbagai instrumen hukum. Sama sukarnya menghadapi kalangan
profesi kedokteran—sebagai contoh—yang mana kerapkali berlindung dibalik dalil
majelis kode etik tidak menyatakan dokter tidak telah melakukan malpraktik. Semangat korps untuk saling melindungi disamping sidang kode etik yang tertutup, kerap dipertanyakan.
Dalam ruang sidang, kebenaran dan keadilan direproduksi. Dalam proses
reproduksi tersebut, mengandung bias-bias yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang beritikad tidak baik dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Alhasil,
yang kemudian disuguhkan ialah tontonan yang menyerupai sandiwara hukum belaka.
Banyak diantara kalangan profesi berlindung dibalik kode etik, seakan
kode etik adalah ukuran benar atau salah. Seakan perbuatan buruk secara moril
asalkan tidak dilarang kode etik maka akan menjadi benar adanya. Benarkah demikian?
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membongkar fakta dibalik kode etik
profesi, baik kode etik advokat maupun kode etik kalangan kedokteran.
Terdapat satu keganjilan tidak logis dalam kode etik profesi advokat
maupun kedokteran: sesama rekan seprofesi, wajib saling melindungi. Alhasil,
seburuk apapun sarjana hukum lain, seburuk apapun dokter lain, semua akan
ditutup rapat sehingga kebusukan tidak akan tercium oleh pihak luar. Tidak heran
pula bila majelis kehormatan etik akan senantiasa melindungi rekan-rekan seprofesi
mereka sendiri sekalipun terjadi malpraktik.
Sebagai contoh, hingga kini jarang kita dengar majelis kode etik
kedokteran memecat dokter karena alasan malpraktik. Kini, masing-masing ketua
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mengaku sebagai ketua umum, setidaknya hingga artikel ini ditulis telah timbul tiga
organisasi PERADI. Dimanakah para penegak etik profesi advokat sehingga masing-masing
bisa mengklaim sebagai ketua umum yang sah?
Apakah kode etik identik dengan etika? Mungkinkah kode etik bertentangan
dengan etika?
Kita ambil satu contoh. Dalam kode etik advokat, seburuk apapun klien,
rahasia klien harus dijaga. Hal demikian bertolak-belakang dengan pernyataan seorang
aktivis bernama Soe Hok Gie: membiarkan ketidakbenaran ialah kejahatan itu
sendiri. Kini, telah terbit peraturan pemerintah yang mewajibkan kalangan
sarjana hukum untuk melaporkan adanya kecurigaan akan karakter klien mereka
kepada PPATK. Dalam kasus ini, peraturan tertulis justru lebih etis ketimbang
kode etik kalangan advokat.
Akhir kata, selama kita sadar bahwa kita tidak melanggar rambu-rambu etika,
sekalipun fitnah tertuju pada kita, maka hukum karma yang akan mengambil alih
segala eksekusinya dikemudian hari.
Baca juga:
Baca juga:
- MEMAHAMI HUKUM KONTRAK PERDATA BAGI ORANG AWAM
- TATA CARA PEMBUATAN SERTA ASPEK HUKUM SOMASI (SURAT TEGURAN/PERINGATAN) BAGI ORANG AWAM
…- TATA CARA PEMBUATAN SERTA ASPEK HUKUM SOMASI (SURAT TEGURAN/PERINGATAN) BAGI ORANG AWAM
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.