Tanggung Jawab Pidana Profesi Kedokteran atas Malpraktik terhadap Hak Pasien

LEGAL OPINION
Question: Salah seorang anggota keluarga kami tampaknya menjadi korban malpraktik. Apakah dokter yang telah membuat celaka bagi anggota keluarga kami tersebut dapat kami pidanakan?
Brief Answer: Secara yuridis, dapat. Namun secara politis, tampaknya Mahkamah Agung RI saat ini masih memberikan imunitas yang demikian besar terhadap ancaman pidana kepada profesi kedokteran. Sebagai alternatif, Anda tetap dapat menggugat dokter tersebut secara perdata—dimana secara vicarious liability, pihak badan hukum rumah sakit tempat dokter tersebut berpraktik dapat dijadikan Tergugat untuk dimintai ganti-rugi.
PEMBAHASAN :
Dalam putusan Mahkamah Agung tingkat Kasasi register perkara pidana Nomor 365 K/Pid/2012, dimana yang menjadi para Terdakwa ialah dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II), dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III), yang dalam dakwaan Kesatu Primair dinyatakan baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada tanggal 10 April 2010 pada waktu + pkl. 22.00 WITA, bertempat di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Kandouw Malalayang Kota Manado, dianggap telah melakukan, menyuruh lakukan, dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yaitu korban SISKA MAKATEY.
Ketiga Terdakwa sebagai dokter pada rumah sakit tersebut, dituduh melakukan operasi CITO SECSIO SESARIA terhadap korban, yaitu pada saat korban sudah tidur terlentang diatas meja operasi, kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septi pada dinding perut dan sekitarnya. Selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Kemudian dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah. Selanjutnya dinding perut milik korban dijahit.
Saat operasi dilakukan, dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) sebagai asisten operator I dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) sebagai asisten operator II membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong, menggunting, dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah dr. DEWA AYU SASIARY (Terdakwa I) alam melakukan operasi.
Pada saat sebelum operasi CITO SECSIO SESARIA terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga (calon) korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi CITO SECSIO SESARIA tersebut dilakukan terhadap diri korban.
Para Terdakwa sebagai dokter yang melakukan operasi CITO SECSIO SESARIA terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya, sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. HERMANUS J. LALENOH, Sp. An. Pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan, yakni setelah dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI melaporkan kepada saksi NJOAN NAN WARAOUW sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 x per menit dan saat itu saksi NAJOAN NAN WARAOUW menanyakan kepada dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI jika telah dilakukan pemeriksaan jantun/EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban.
Selanjutnya dijawab oleh dr. DEWA AYU SASIARY tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi NAJOAN NAN WARAOUW mengatakan bahwa denyut nadi 180 x per menit bukan Ventrikel Tachy Kari (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung).
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041060 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. ERWIN GIDION KRISTANTO, bahwa pada saat korban masuk Rumah Sakit Umum Kandao Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
Ketiga Terdakwa yang melakukan operasi terhadap korban, lalai dalam menangani kobran pada saat masih hidup dan saat pelaksanaa operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Korban dinyatakan meninggal sesudahnya. Perbuatan Para Terdakwa diancam pidana berdasarkan pasal 359 jis. Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan Alternatif Kedua, tuduhan terhadap Para Terdakwa karena dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP).
Uraian berikut memberikan gambaran betapa rumah sakit telah lalai dengan membiarkan pelaku melakukan operasi meski belum memiliki ijin praktik. Para Terdakwa hanya memiliki sertifikat kompetensi tetapi Para Terdakwa tidak mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran dan tidak terdapat pelimpahan/persetujuan untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang memiliki SIP kedokteran/yang berhak memberikan persetujuan sedangkan untuk melakukan tinadkan praktik kedokteran termasuk operasi CITO yang dilakukan Para Terdakwa terhadap diri korban, Para Terdakwa harus memiliki SIP kedokteran, sehingga perbuatan Para Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan Alternatif Ketiga, Para Terdakwa dituduh telah melakukan, menyuruh lakukan, dan turut serta melakukan perbuatan membuat secara palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) untuk ditanda-tangani oleh korban tersebut ternyata berbeda dengan tanda tangan asli korban sebagaimana yang ada di dalam KTP dan Kartu Askes. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar, dinyatakan bahwa tanda tangan atas nama SISKA MAKATEY pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan / “spurious signature”. Oleh karenanya Para Terdakwa diancam pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan Ketiga Subsidair, dinyatakan bahwa Para Terdakwa telah melakukan perbuatan memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, dan jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa kemudian membacakan tuntutan pidana berupa pidana penjara selama 10 bulan kepada Para Terdakwa, suatu ancaman yang sangat minimum karena kurang dari satu tahun untuk satu nyawa yang hilang.
Terhadap tuntutan tersebut, Pengadilan Negeri Manado dalam register perkara Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011 menjatuhkan amar putusan:
1.    Menyatakan Terdakwa I dr. DEWA AYU ASIARY PRAWANI, Terdakwa II dr. HENDRY SIMANJUNTAK dan Terdakwa III dr. HENDY SIAGIAN, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair, dakwaan Kedua dan dakwaan Ketiga Primair dan Subsidair;
2.    Membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa III oleh karena itu dari semua dakwaan (vrijspraak);
3.    Memulihkan hak Para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
Atas putusan tersebut, Jaksa mengajukan kasasi. Dikemukakan kembali, bagaimana air ketuban korban telah pecah sebelum operasi dilakukan, dan bukannya memberi tahu keluarga pasien/korban akan aksi medis yang akan dilakukan, justru Terdakwa III menyerahkan “informed consent” (lembar persetujuan tindakan kedokteran) tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh Terdakwa I dari jarak kurang lebih tujuh meter, Terdakwa II dari jarak kurang lebih tiga sampai empat meter, juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr. HELMI tetapi ternyata tanda-tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda-tangan karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik.
Sebab kematian korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan janutng yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung—dengan demikian Jaksa meyakini bahwa Para Terdakwa telah lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien pada situasi dan kondisi tertentu, disamping Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, telah menimbulkan suatu hubungan sebab-akibat yang nyata.
Keadaan korban dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan di puskesmas yang kemudian merujuknya ke rumah sakit ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik, keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat, dimana ketuban korban telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis, terdapatnya “25 informed consent” (lembar persetujuan tindakan kedokteran) sedangkan Para Terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan darurat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan, atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian, dan moral yang dimiliki oleh Para Terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur.
Tiba pada pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dapat dibenarkan karena dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.    Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. ERWIN GIDION KRISTANTO, SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU Prof. R. F. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat;
2.    Para Terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban;
3.    Perbuatan Para Terdakwa yang melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;
4.    Perbuatan Para Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. ..., tanggal 26 April 2010;
MENGADILI
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011;
MENGADILI SENDiRI
-        Menyatakan Para Terdakwa: dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II), dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”;
-        Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa: dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II), dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan;”
Putusan kasasi yang diputus oleh Majelis Hakim Agung Artidjo Alkostar (Ketua Majelis), Sofyan Sitompul, dan Dudu D. Machmudin ini kemudian mendapat reaksi keras berwujud demonstrasi besar-besaran oleh kalangan kedokteran dengan asprirasi berupa ancaman akan mogok mengobati bila terdakwa tidak dibebaskan.
Alhasil, Mahkamah Agung merasa gentar, kemudian Majelis Hakim Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali menganulir putusan kasasi sebagaimana tertuang dalam putusan MA No. 79 PK/PID/2013 tanggal 07 Februari 2014 oleh Hakim Agung Mohammad Saleh, Surya Jaya, dan Syarifuddin—dimana hanya Hakim Agung Surya Jaya dalam tingkat PK ini yang mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion) terhadap dibebaskannya Para Terdakwa olah putusan PK ini.
Hakim Agung dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) mendasarkan pertimbangan hukumnya pada Penjelasan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan.
Hakim Putusan PK pun mendalilkan, bahwa yang berhak menilai Standard Profesi Medis adalah Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, bahwa dalam operasi darurat tidak mungkin dilakukan pemeriksaan penunjang karena sifatnya cepat/segera/darurat. Dikutip pula pendapat saksi ahli bahwa operasi Cito (darurat) tidak perlu persetujuan pasien atau keluarganya, kecuali operasi terencana wajib persetujuan pasien dan keluarga dengan penjelasan resiko operasi. Bahwa kondisi pasien secara umum tidak dapat diantisipasi—antisipasi bisa dilakukan dalam operasi terencana, dimana masuknya udara dalam bilik jantung korban dalam perkara ini diluar dugaan.
Alhasil, putusan PK ini menganulir putusan kasasi, dengan amar putusan: membebaskan Para Terdakwa dari segala dakwaan serta memulihkan hak Para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.
Adapun yang menjadi argumentasi “dissenting opinion” oleh Hakim Agung Surya Jaya dalam tingkat PK ini,, antara lain:
-        ... Kesimpulan Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana tersebut menyatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk operasi Cito Secsio Sesaria dilakukan Para Terdakwa / Para Terpidana sudah sesuai SOP. Kesimpulan tersebut keliru sebab tanpa mengemukakan dan menguraikan seperti apa ukuran SOP para dokter dalam menangani proses operasi Cito Secsio Sesaria dihubungkan dengan perbuatan materiil Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana saat terjadinya Operasi Cito terhadap korban SISKA MAKATEY. Dalam memori peninjauan kembali Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para Terpidana tidak menguraikan usaha dan ikhtiar apa yang dilakukan Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana dalam menjalankan dan menegakkan SOP. Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana hanya menyatakan telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur;”
-        “Bahwa alasan memori peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana, perbuatan a quo telah sesuai SOP, adalah kurang beralasan dijadikan dasar pembenaran untuk membebaskan Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana. Seharusnya memori peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana menjelaskan bagaimana substansi SOP yang sebenarnya dan apakah telah dipenuhi oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana dalam proses penangangan operasi Cito Secsio Sesaria. Tujuan SOP adalah sebagai pengukur tindakan profesi, misalnya apakah upaya, tindakan serta keputusan yang dilakukan sesuai standar pelayanan medis atau Kode Etik Kedokteran. Contoh SOP, dokter tidak boleh melakukan operasi dalam keadaan posisi pasien dengan tekanan darah terlalu tinggi disertai dengan denyut nadi sangat cepat;”
-        Fakta hukum di persidangan, pada jam 9.00 WITA korban masuk rumah sakit atas rujukan dari Puskesmas untuk melahirkan. Di kamar bersalin, korban diperiksa USG, hasilnya dalam keadaan baik, dan diusahakan melahirkan keadaan normal. Infus dipasang sejak pasien berada di kamar UGD rumah sakit umum. Pada jam 18.00 WITA sore pembukaan untuk melahirkan sudah lengkap, tetapi posisi bayi masih tetap tinggi. Setelah Para Terpidana berkonsultasi, Konsuler menyarankan supaya melahirkan secara normal dengan posisi korban harus dimiringkan. Setelah dilakukan, namun tidak berhasil. Pada pkl 18.30 WITA dikonsul lagi ke bagian anastesi dan ahli anastesi memberikan persetujuan untuk operasi. Ketika korban masuk rumah sakit, tekanan darah pasien saat itu menurut ahli Johanis F. Mallo yang dibaca dalam rekam medis adalah 160/70, menurut ahli termasuk tinggi, sedangkan kecepatan denyut nadi korban 180 per menit. Kemudian pada jam 20.55 WITA, “operasi dimulai”. Beberapa kejadian yang terjadi dalam proses operasi yaitu pada sayatan pertama keluar darah warna hitam, ini berarti secara medis salah satu penyebabnya adalah “korban kekurangan oksigen”.
-        Bahwa bisa saja terjadi sebaliknya, kalau sekiranya operasi dilakukan lebih awal atau lebih cepat, saat pasien baru masuk ke Rumah Sakit;”
-        “Fakta hukum tersebut menunjukkan bahwa pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kandouw Malalayang Kota Manado berada dalam kondisi baik saat masuk rumah sakit. Korban hanya kesulitan melahirkan, keadaan sadar. Beberapa jam setelah berada dalam penangangan Para Terpidana dan Rumah Sakit, pasien yang tadinya akan melahirkan secara normal kemudian dinyatakan dilakukan secara operasi Cito Secsio Sesaria.”
-        “Seharusnya tindakan operasi Cito tersebut harus dilakukan lebih awal dimana kondisi pasien masih relatif baik dan tidak dilakukan operasi pada saat korban pasien berada dalam keadaan yang sangat terpuruk atau kondisi pasien berada dalam keadaan gawat atau genting. Bahwa ketepatan dan kecepatan Para Terpidana dalam mengambil keputusan dan tindakan merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan operasi. Hal inilah yang merupakan hal penting mengenai standar pelayanan yang harus dilakukan oleh Para Terpidana.”
-        “Terjadi keadaan yang paradoksal, keterangan ahli di persidangan operasi Cito termasuk dalam pengertian operasi yang dilakukan dalam keadaan darurat/emergency, yaitu operasi yang harus dilakukan secepat atau sesegera mungkin. Sebagai konsekuensi dari tindakan medis darurat tersebut, sehingga tidak diperlukan lagi pemeriksaan penunjang. Namun dalam kenyataannya bertolak belakang, operasi Cito Secsio Sesaria tidak dilakukan lebih awal tetapi operasi dilakukan kurang lebih 12 jam kemudian saat kondisi pasien dalam keadaan gawat, genting, atau sangat terpuruk.
-        Kalau operasi Cito dilakukan lebih awal hasilnya bisa lain, terlebih ketuban korban telah pecah sejak dirujuk Puskesmas;
-        “Fakta persidangan tidak mengungkap secara rinci dan mendalam, obat dan suntikan apa saja yang diberikan kepada pasien, di persidangan tidak diajukan rekam medis korban sebagai alat bukti. Hal ini penting untuk mengetahui, apakah ada obat-obatan yang diberikan kepada pasien, tidak sesuai dengan yang seharusnya, sehingga udara masuk dan terjadi pelebaran atau pembesaran pembuluh darah sebagai akibat reaksi tubuh pasien?”
-        “Berdasarkan fakta persidangan pasien SISKA masuk rumah sakit sejak jam 9.00 WITA sedangkan operasi di mulai pada jam 20.55 WITA, ini berarti terdapat rentang waktu kurang lebih 12 jam pasien menunggu tindakan operasi, sehingga terjadi fakta bahwa pasien meminta dirinya untuk segera dioperasi namun Para Terpidana belum melakukannya. ... Padahal pasien sudah berada dalam keadaan harus segera operasi, tetapi ternyata Para Terpidana menunggu hingga 12 jam. Kalau sekiranya operasi dilakukan lebih awal atau lebih cepat setelah pasien masuk rumah sakit, hasilnya bisa berbeda. Bahwa katerlambatan dan ketidak tepatan Para Terpidana mengambil tindakan dan keputusan berakibat pasien SISKA MAKATEY meninggal dunia.”
-        “Kesalahan / kelalaian berikutnya yang dilakukan Para Terpidana dalam melakukan tindakan medik terhadap pasien SISKA MAKATEY yaitu pasien masuk rumah sakit dengan posisi tekanan darah cukup tinggi yaitu 160/70 disertai kecepatan denyut nadi pasien sangat tinggi 180 per menit (normal 90 per menit), dan sepanjang persidangan tidak ditemukan adanya upaya yang dilakukan Para Terpidana untuk melakukan tindakan medis menormalkan tekanan darah pasien dan menurunkan denyut nadi yang sangat cepat, padahal keadaan semacam ini sangat beresiko bagi pasien (dapat menyebabkan kematian) apabila dilakukan operasi Cito. Bahwa sikap Para Terpidana Para Pemohon Peninjauan Kembali seperti dijelaskan tersebut, menurut pendapat Pembaca I dapat menjadi faktor relevan dan signifikan.”
-        “Alasan-alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Para Terpidana bahwa SOP untuk bidang kedokteran berada pada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sehingga tindakan penanganan sampai dilakukannya operasi Cito telah sesuai dengan SOP berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Alasan ini tidak dapat dibenarkan sebab putusan MKEK bisa saja dikesampingkan karena sifatnya pendapat (bukan fakta) karena itu tidak mengandung kebenaran absolut. Hakim boleh saja menolak atau tidak menerima pendapat ahli yang berada pada MKEK, apabila menurut pendapat dan keyakinan Hakim yang bisa diterima dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teori dan ahal sehat (common sence) serta keyakinan. Hakim bisa saja menggunakan pendapat ahli lain yang berbeda (second opinion) sebagai pendapat sendiri seperti dalam perkara a quo.”
-        Nalar sehat adalah SOP itu sendiri.
Catatan Penutup oleh Penulis :
Apakah Mahkamah Agung dalam tingkat PK telah membuat pelanggaran hukum terhadap profesi etik Hakim Agung? Setiap putusan pengadilan memiliki kelemahannya tersendiri, terutama bagi hakim yang tidak memahami teknis medis dan tidak melihat kejadian secara langsung. Namun sikap transparansi Mahkamah Agung dalam mempublikasi putusan-putusannya secara utuh dalam situs resminya, menjadi faktor penentu tingkat akuntabilitas serta keterbukaan dan profesionalisme para Hakim Agung, terutama ketika mempublikasi putusan PK atas perkara ini, lengkap dengan argumentasi Dissenting Opinon salah seorang hakim agung tingkat PK yang menguraikan segala gamblang “bukti petunjuk” yang demikian komprehensif.
Selebihnya adalah hak masyarakat untuk menilai secara cerdas dan imparsial terhadap suatu profesi tertentu.
Sebagai penutup, perlu kita ketahui bersama, bahwa amat sangat langka putusan Mahkamah Agung menampilkan argumentasi Dissenting Opinon dalam publikasi putusannya.
Apakah ini cara Mahkamah Agung meredam aksi demo para kalangan dokter di Indonesia terhadap putusan kasasi ketiga dokter tersebut, namun disisi lain menghadirkan dissenting opinion secara terpublikasi agar masyarakat tahu yang “sebenarnya”?
Mahkamah Agung RI telah bermain dengan sangat “cantik”. Hingga saat Legal Opinion ini diterbitkan, Mahkamah Agung tetap memasang putusan PK atas ketiga dokter tersebut dalam beranda situs resminya meski perkara pidana ini telah diputus bertahun-tahun lampau. Adakah ini sebagai bentuk pertanggunganjawaban moril instansi MA RI terhadap keluarga korban?
Membaca sebuah peraturan maupun putusan ternyata memang tidak lepas dari kondisi situasi politik maupun sosial masyarakat yang tengah terjadi pada masa itu. Hukum yang cerdas ternyata memang bukan hukum yang naif. Hukum memang murni, namun ia tidaklah naif.
Namun satu hal yang masih belum terjawab: mengapa kalangan profesi dokter menentang putusan kasasi yang menjatuhkan hukuman pidana terhadap ketiga dokter tersebut bahkan melakukan demo dan ancaman demo secara masif? Hukuman 10 bulan penjara untuk sebuah nyawa yang hilang apakah terlampau mahal? Begitu murahkah nilai nyawa seorang pasien? Apakah menelantarkan pasien dengan ketuban pecah hingga dua belas jam memang menjadi SOP para kalangan kedokteran di Indonesia?
Banyak rumor yang beredar, mengatakan bahwa profesi hukum, politikus, dan bisnisman adalah profesi yang paling kotor. Umn ... , nampaknya tidak juga. Bagaimana menurut Anda?

Update SHIETRA & PARTNERS (30 Juli 2016): Saat ini pemberitaan mengenai vaksin palsu tengah semarak. Tampaknya istlah "rumah sakit" perlu dikoreksi dalam perbendaharaan kamus menjadi "rumah sakit", agar setiap pelaku medis menyadari tanggung jawab serta etika profesi mereka. Menjadi dokter adalah upaya yang keras serta panjang, namun manusia-manusia yang kemudian menjadi korban juga telah berjuang hidup sekian lama dan  sekian kerasnya. Setidaknya profesi non medis tidak bersikap munafik dengan menyatakan bahwa diri mereka bersih dari perbuatan tidak etis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.