Ganti Rugi akibat Penangkapan, Pemenjaraan, maupun Penuntutan Pidana yang Tidak sesuai Prosedur dalam Hukum Acara maupun Tanpa Alasan yang Memadai

LEGAL OPINION
Question: Korban tangkap oleh aparat kepolisian secara sewenang-wenang, apa benar dapat meminta ganti kerugian? Berapa besaran nilai ganti-rugi yang dapat diminta oleh keluarga saya selaku korban kriminalisasi?
Brief Answer: Dapat, tapi hukum Indonesia yang tidak adil menjadikan warga negara sipil yang dilakukan secara sewenang-wenang dimana masyarakat awam hukum kemungkinan besar tidak mengetahui bahwa hak warga negara yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang sesuai hukum, memang dapat menuntut ganti-rugi. Hanya saja, tuntutan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.
PEMBAHASAN :
Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP No. 92 Tahun 2015):
(1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.
(2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.
Penjelasan Resmi Pasal 7 Ayat (1) menyatakan: “Pembatasan jangka waktu pengajuan ganti kerugian dimaksud agar penyelesaian tidak terlalu lama sehingga menjamin kepastian hukum.” Benarkah demikian ???
Berapa besar ganti rugi yang dapat diminta oleh keluarga korban salah prosedur pihak berwajib?
Pasal 9 PP No. 92 Tahun 2015:
(1) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(3) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 10 PP No. 92 Tahun 2015:
(1) Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan.
(2) Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Pasal 11 PP No. 92 Tahun 2015:
(1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran ganti kerugian diatur dengan Peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Sebagai kesimpulan, pembayaran ganti kerugian dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, siapa yang tahu bahwa tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima ?
Apakah itu wujud keberpihakan pemerintah terhadap sipil atau justru sebaliknya, niat yang patut dipertanyakan. SHIETRA & PARTNERS menduga peraturan tersebut dibentuk dan dipublikasi secara luas kepada masyarakat dengan suatu modus pencitraan serta gimmick semata.
Apakah ini wujud keberpihakan Kementerian Hukum dan HAM (selaku perumus) dibawah kepemimpinan Yasona Laoly yang “berkoar-koar” bahwa itu sebagai wujud keberpihakan Kementerian Hukum terhadap hukum? Jangan lupa, selang beberapa bulan kemudian terbit surat Yasona Laoly yang mengobrak-abrik kepemimpinan dua partai politik tanah air yang notabene rumah tangga organissasi sipil yang bukan ranah Kementerian. Apakah ini motif politik guna menghimpun opini/empati publik menyongsong potensi gugatan pengurus kedua parpol tersebut sebagaimana surat keputusan Kementerian Hukum yang mengusung salah satu pimpinan parpol kemudian dianulir Mahkamah Agung RI?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.