Pencemaran Nama Baik, Ditinjau dari Sudut Pandang Psikologi Hukum

ARTIKEL HUKUM
Apa yang sebenarnya disebut dengan pencemaran nama baik?
Bila kita merujuk secara yuridis, baik KUHPerdata, KUHP, maupun undang-undang ITE memiliki definisinya sendiri. Namun artikel ini tidak akan membahas substansi dari ketiga undang-undang tersebut. Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas “pencemaran nama baik” dalam sudut yang lebih abstrak, yakni falsafah hukum.
Sehingga apa yang dimaksud dengan “pencemaran nama baik” dalam konteks falsafah hukum?
Secara hakiki, terdapat paling tidak tiga derivatif dari “tercemarnya nama baik”, antara lain:
-        Dengan itikad buruk pihak lain dengan sengaja mencemarkan nama seseorang;
-        Dengan itikad ganjil seseorang mencemarkan nama dirinya sendiri;
-        Dengan itikad rancu seseorang memang telah memiliki nama yang buruk sejak dari dahulunya alias namanya telah rusak sejak semula.
Apakah dapat dikatakan telah terjadi “pencemaran nama baik” bila sedari awal nama orang yang merasa dicemari tersebut memang “sudah buruk”?
Apakah dapat dikatakan telah terjadi “pencemaran nama baik” bila tujuan si pembicara ialah untuk memperingatkan masyarakat agar waspada terhadap ia yang merasa namanya dicemarkan? ß Lihat kasus Rumah Sakit OMNI vs. Prita Mulyasari, dimana Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa perbuatan Prita Mulyasari bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum, karena disampaikan dalam rangka maksud batin untuk memperingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam berhubungan dengan rumah sakit tersebut.
Apakah terjadi “pencemaran nama baik” oleh pihak lain ataukah mungkin saja yang terjadi adalah “pencemaran nama baik” oleh dirinya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan kita kupas satu per satu, dengan jabaran sebagai berikut.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mengajukan pertanyaan lanjutan, seorang artis Korea pernah didapati mabuk dalam keadaan tanpa busana di muka umum, kemudian pers meliputnya. Lahir pertanyaan baru, apakah pers tersebut telah mencemarkan nama sang artis karena kemudian semua sponsor membatalkan kontrak dengan artis Korea tersebut?
Lahir kembali pertanyaan baru, bukankah meminum alkohol dapat menurunkan kesadaran, sehingga sedari awal seyogianya menyadari resiko dibalik minuman keras tersebut sehingga conditio sine quanon sang artis yang mencemarkan nama baiknya sendiri? Bukankah "kesengajaan sebagai kemungkinan" terjadi oleh ulah dirinya sendiri? Bukankah karena aksi "bugil" akibat mabuk membuat seketika nama sang artis menjadi buruk sehingga pers hanya meliput dan menyiarkan nama buruk sang artis karena memang pada saat diliput keadaan sang artis tidak lagi dapat dikatakan memiliki nama baik?
Mari kita telaah lebih dalam lagi. Seorang terdakwa korupsi diliput pers dengan bahasa pemberitaan seakan tersangka tersebut benar-benar telah korupsi, sebuah pembunuhan karakter? Bagaimana jika tersangka tersebut kemudian benar-benar divonis berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana tipikor kemudian dapat dikatakan masih memiliki nama baik?
Apakah langkah progresif Mahkamah Agung yang mempublikasi seluruh putusan pengadilan baik pengadilan negeri hingga kasasi yang membuat terbuka segala informasi setiap pelaku yang pernah digugat ataupun dipidana dapat juga disebut mengumumkan di muka umum (internet yang dapat diakses secara terbuka oleh warga negara sebagai bagian dari informasi publik) sebagai pencemaran nama baik? Ataukah hal tersebut dikategorikan sebagai peringatan bagi warga negara untuk waspada terhadap tergugat dan terpidana tersebut?
Pembahasan menjadi kian menarik dan memanas. Mari kita lanjutkan retorita dan dialektika yang klasik yang tidak pernah habisnya ini.
Mari kita ambil contoh kasus baru. Ketika seseorang pemberi jasa tidak dibayar secara patut dan layak atas jasa yang telah diberikannya secara profesional kepada pengguna jasa, maka sang pemberi jasa yang “sakit hati” apakah dilarang untuk menjerit karena sakit digigit “anjing” (pengguna jasa) yang tidak membayar jasa yang digunakannya secara patut dan layak?
Jika orang yang terculasi kemudian menjerit dan dibungkam dengan ancaman pasal pemidanaan pencemaran nama baik, bukankah pasal pemidanaan mengenai pencemaran nama baik justru menjadi “law as a tool of crime” itu sendiri? Pepatah mengatakan, jangan salahkan asap yang mengepul, salahkan api yang membakarinya.
Pers memiliki imunitas dalam pemberitaan dan yang dicemari namanya hanya dapat komplain dengan hak jawab. Pertanyaannya, apakah tidak mungkin pers menggunakan formalitas dan imunitas tersebut untuk aksi memeras dan digunakan untuk kompetitor yang menyewa pers untuk meliput berita rumor buruk kompetitornya untuk merusak image atau citra dari kompetitornya?
Ilustrasi berikut menjadi contoh konkret. PT. Jobs DB Indonesia pada tahun 2012—2013 diberitakan telah bersikap tidak transparan terhadap pemegang saham minoritas, PT. Metro Pacific, sehingga PT. Metro Pacific kemudian mengajukan audit investigasi ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Indikasi praktik modus pencemaran nama baik oleh PT. Metro Pacific terhadap PT. Jobs DB Indonesia terkesan amat vulgar, dengan bukti argumentasi:
1.    Demikian banyak pers yang meliput, sehingga disinyalir kuat disponsori oleh PT. Metro Pacific;
2.    Penetapan Audit Investigasi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan digunakan untuk mencari tahu kebenaran tuduhan PT. Metro Pacific, dimana sifatnya baru tuduhan semata, sehingga peliputan pers menjadi demikian mubazir disamping prematur, sementara dalam benak masyarakat umum / publik telah terlanjur tercipta kesan buruk mengenai PT. Jobs DB Indonesia di mata publik yang membaca pemberitaan tersebut, seakan benar PT. Jobs DB Indonesia adalah pelaku kejahatan yang akan digerebek dan disidik, disita, digeledah oleh pengadilan;
3.    Adakah terdapat hasil audit investigasi yang menyatakan PT. Jobs DB Indonesia bersalah telah menggelapkan, merugikan, atau melakukan perbuatan melawan hukum semacamnya?
4.    Jika memang ada pelanggaran yang terbukti dari hasil audit investigasi tersebut, mengapa tiada berita lebih lanjut?
5.    Jika memang tidak ada pelanggaran, mengapa PT. Metro Pacific tidak meminta maaf dan memulihkan nama baik PT. Jobs DB Indonesia? Jika PT. Jobs DB Indonesia kemudian menderita kerugian usaha akibat pencemaran nama baik oleh PT. Metro Pacific, apakah PT. Metro Pacific bersikap gentle untuk mengganti kerugian usaha PT. Jobs DB Indonesia? 
Bukankah praktik tersebut diatas dapat digunakan sebagai modus untuk merusak citra pihak lain? Bukankah audit investigasi dapat digunakan sebagai sarana jahat Pemohon Audit Investigasi untuk mencuri rahasia usaha dari pihak Termohon, mengingat PT. Metro Pacific hanyalah pemegang saham minoritas yang bergerak dalam bidang usaha yang sama dengan PT. Jobs DB Indonesia?
Pada prinsipnya seseoang dapat mencemari nama baiknya sendiri dengan praktik-praktik tidak “fair” dan tidak “gentle” semisal membayar tenaga karyawan secara tidak patut, memanfaatkan aset dan sumber daya perseroan demi kepentingan pribadi sang direksi. Dapat dikatakan pula, PT. Metro Pacific telah mencemari nama baiknya sendiri karena “gembar-gembor” menuduh, dengan pers yang terlanjur meliput secara gegap-gempita, namun anti-klimaks tiada klarifikasi kepada publik akan hasil dari audit investigasi tersebut. Alhasil, PT. Jobs DB Indonesia terlanjur tercoreng namanya di mata masyarakat akibat ulah pemegang saham minoritas yang “usil” dan “kelewat hiperaktif”.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.