Pelaku Kejahatan oleh Anak terhadap Anak dalam Perspektif Psikologi Hukum

ARTIKEL HUKUM
Pemberitaan kian gencar mengudarakan berita-berita suram mengenai berbagai fenomena kejahatan yang dilakukan oleh para remaja maupun anak-anak. Alokasi anggaran pendidikan telah memakan hingga 20% anggaran dalam APBN, namun kualitas intelektual masyarakat justru diberitakan kian merosot—tidak linear dengan jumlah kucuran anggaran pendidikan.
Memang, adalah naif membedakan masyarakat antara tempo dulu dengan masa kini dimana arus informasi gadget maupun internet tak lagi dapat dibendung. Namun modus kejahatan klasik tetap menghantui seakan tidak mampu diatasi oleh kemajuan zaman, justru kian mengkhawatirkan.
Sebelum kita bahas secara utuh dalam kacamata psikologi hukum maupun filsafat hukum, penulis hendak menggaris-bawahi: bahwa SHIETRA & PARTNERS bukan dalam posisi memihak, namun secara murni berdiri ditengah sebagai peneliti dan pengamat secara ilmiah yang mengadopsi asas keseimbangan pandangan dan persepsi.
Dalam kasus tindak pidana anak, dimana pelaku pemerk*sa dan korbannya adalah juga sama-sama belum genap delapan belas tahun, apakah benar sang pelaku yang juga anak-anak/remaja itu dihukum selama hampir belasan tahun? Bukankah artinya putusan pengadilan telah memasung harapan sang anak (Terpidana) untuk menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat saat dewasa kelak? Stigma dan rasa harga diri Terpidana anak ini telah mencapai titik nadir, dan tidak akan mengejutkan bila Terpidana anak ini kelak akan menjadi penjahat keji dan psikopat ketika lepas dari masa hukumannya di penjara.
Dalam ilmu psikologi, acapkali terdapat luka batin yang berada dalam taraf alam bawah sadar pelaku, sehingga terjadilah tindakan-tindakan irasional yang bahkan tidak dipahami sendiri oleh sang pelaku. Alam bawah sadar seringkali menguasai alam sadar, sehingga setiap individu dapat bertindak sesuatu yang akan disesalinya sendiri dikemudian hari. Semua pribadi mengalami anomali ini, dengan kadar/takaran yang saling beragam.
Dalam ilmu pidana, dikenal teori conditio sine quanon—dan bila kita menganut teori tersebut dalam kasus anak-anak yang memerk*sa dan membunuh korbannya yang juga anak-anak, maka yang paling patut disalahkan ialah gagalnya fungsi guru dalam pendidikan formil maupun peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan disamping juga tak lepas dari kegagalan fungsi pemuka agama dalam memberi teladan yang baik untuk menghormati kegadisan anak dibawah umur.
Menjadi pertanyaan utama, mengapa semua kegagalan sistem tersebut dibebankan kepada anak (baca: pelaku) yang bisa jadi juga merupakan korban kegagalan sistem?
Jika ditarik lebih jauh, adalah kesalahan utama terletak pada beban POLRI, sebab membiarkan berbagai keping cakram video p*rno dijajakan secara terbuka. Kesalahan utama juga ditujukan kepada Kementerian Informasi dan Komunikasi karena membiarkan keran aliran data digital berupa akses video p*rno tersebut dapat diakses anak dibawah umur.
Bila kita tarik secara makro, adalah kegagalan sistem komunitas pergaulan yang mana acapkali seorang anak polos berubah menjadi anak jahat yang menjadi musuh masyarakat. Masyarakat itu sendiri yang telah membentuk anak tersebut. Lantas, mengapa masyarakat tersebut tidak pernah ditunjuk untuk dimintai tanggung jawab?
Sejauh ini, penulis setidaknya telah terdapat kegagalan logika hukum dalam konteks ini. Ada sesuatu yang "hilang" disini.
Dahulu kala, hakim Bismar Siregar membuat bobot kegadisan sebagai “barang” belaka. Kini, bandul mengayun kencang: merampas kegadisan sama artinya dengan membuhuh jiwa (baca: nyata) gadis korbannya itu sendiri.
P*rn*grafi adalah mencandu, demikian para pakar menyebutkan. Lantas mengapa stelsel pemidanaan bersifat diskriminatif? Pecandu nark*ba mendapat sanksi pidana berupa dikirimnya pemadat pada pusat rehabilitasi, sementara pecandu p*orn*grafi yang kemudian merusak akal sehatnya hingga melakukan perbuatan pemerk*saan kemudian dibiarkan mendekam di penjara?
Secara konteks sosiologi hukum, pemakai nark*tika bisa jadi lebih buruk dari pengedar nark*ba. Mengapa? Pengedar nark*tika hanyalah mensuplai barang jahat tersebut kepada pemakai. Sementara pemakai nark*tika, acapkali menjadi sumber utama dalam pergaulan yang membuat teman-teman dalam lingkungan pergaulannya turut terjerumus dalam dunia hitam serta nark*tika. Sehingga dalam konteks ini, agen nark*tika utama pelakunya ialah pemakai itu sendiri, sehingga tidak mengherankan bila pada zaman sebelum era reformasi di Indonesia, para pemakai nark*ba dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan. Ironisnya pula, pemakai nark*tika yang dijebloskan ke LP justru berpotensi menjadi pecandu berat karena lingkungan pergaulan yang rusak hingga ke akar. Sebuah kegagalan sistem dimana tanggung jawab pemerintah itu sendiri wajib digugat.
Adalah mengherankan serta masih belum mampu terjawab dalam berbagai disiplin ilmu hukum, baik psikologi hukum, filsafat hukum, maupun sosiologi hukum, sementara pemberitaan baik radio, televisi, surat kabar, memborbardir kita dengan berita duka korban pemerk*saan, korban nark*tika, korban k*rupsi, namun justru ditemukan lebih banyak lagi pelaku pemerk*saan, pelaku nark*tika, pelaku k*rupsi, seakan tidak takut terhadap berbagai ancaman hukuman pemidanaan terhadap kelakuan tersebut, ataukah justru secara kontraproduksi pers telah mereproduksi input sinyal ke dalam otak dan alam bawah sadar para audiens untuk terpicu saraf-saraf dalam otak mereka untuk mencoba-coba? Terlebih bila itu anak dibawah umur yang masih dalam taraf besar rasa ingin tahunya. Psikolog mensarankan agar kita tidak banyak mendengar kabar buruk, berita miris, informasi pedih, atau sejenisnya. Pers Jepang dengan prinsip "Ganbaru" sangat memahami konsep psikologi audiens.
Kini, pemakai nark*tika paling berada diatas angin dari ketiga jenis kejahatan tersebut. Mengapa? Ancaman hukuman hanya dikirim ke pusat rehabilitasi. Tidak pernah terangkat wacana dalam stelsel pemidaanaan di Indonesia dalam era reformasi ini, bahwa bisa jadi pemakai tersebutlah yang selama ini menjadi agen tren/budaya dalam lingkungan pergaulannya.
Memang bukan pemakai nark*otika itu sendiri yang berprofesi sebagai pengedar, pengedar tampaknya hanya menyasar pasar berupa pemakai, karena adalah riskan untuk mempromosikan nark*tika bagi umum. Lantas bagaimana prevalensi pemakai barang madat tersebut kemudian dapat bertumbuh signifikan tiap tahunnya?
Itulah missing link-nya!
Hendaknya stelsel pemidanaan hukum kita tidak lupa, lingkungan pergaulan bisa jadi adalah conditio sine quanon dari segala perbuatan tindak pidana yang mengancam kelangsungan keluarga sehat yang merupakan tempat tumbuh berkembang calon generasi penerus bangsa yang juga akan sehat serta baik. Lingkungan pergaulan, keluarga, serta pendidikan formil maupun non formil menjadi aspek yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
Bila para kalangan profesi guru telah menyerah dan angkat tangan atau karena dinyatakan telah gagal, bila para kalangan rohaniawan telah menyerah dan angkat tangan atau bahkan dituding munafik, bila para kalangan orangtua telah menyerah dan angkat tangan atau karena dinyatakan telah lalai mendidik anak mereka, maka kalangan profesi dan praktisi hukum adalah terlarang untuk menyerah dan angkat tangan meski terbukti telah bergerak secara tidak efektif atau malah memperkeruh.
Mengapa kalangan profesi hukum menjadi pilar terakhir yang tidak dibenarkan untuk “mengangkat tangan”?
Disiplin ilmu hukum adalah disiplin ilmu yang demikian kaya. Berikut penulis paparkan betapa menyerupai rimba belantaranya disiplin ilmu hukum. Forensik Hukum mendalami ilmu sains kedokteran dalam konteks hukum. Kriminologi Hukum mendalami akar fenomena kriminalitas. Victimologi Hukum mendalami akar anomali dan penyebab timbulnya korban. Sosiologi Hukum mengupas dinamika dan interaksi sosial kemasyarakatan dalam konteks hukum serta tendensi-tendensinya. Psikologi Hukum mengiris sendi-sendi hakiki jiwa dan batin setiap pelaku kejahatan. Neurosains Hukum mengurai hingga skala sel-sel otak pelaku kejahatan dan hormon stimulus untuk melakukan kejahatan atau kenakalan. Filsafat Hukum berbicara mengenai ideal-ideal perilaku suatu anggota komunitas pengemban hukum secara makro maupun secara mikro.
Bahkan terdapat pula Hukum Bisnis, Hukum Kedokteran, Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Perlindungan Anak, Hukum Perdata, Hukum Pidana, dan berbagai sub-dispilin ilmu hukum lainnya.
Praktis semua dikuasai oleh kaum sarjana hukum. Namun terbukti pula, disiplin ilmu yang demikian kaya telah berpraktik demikian tidak efektif, karena menjadi tidak efesien.
Sistem hukum modern telah menjelma demikian kompleks, penuh deskriptif namun kurang “membumi”. Tidak terhitung lagi jumlah akademisi dan profesor dibidang hukum dengan bergudang-gudang arsip dan jurnal hukum yang mengupas kejahatan dari berbagai sudut.
Memang diakui, sumbangsih perkembangan dan kemajuan oleh kalangan hukum patut diapresiasi—sebagai contoh, dahulu KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) bukan menjadi domain publik (pidana) namun dianggap sebagai masalah domestik dimana negara tidak ikut campur.
Dibentuk pula lewat naskah akademik yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang tengang Perlindungan Anak guna melindungi anak. Kini, secara overacting hendak dibentuk regulasi yang mengatur hukuman mati bahkan “kebiri” bagi pelaku tindak pidana se*sual alias tipid asusila.
Benarkah cara demikian?
Profesi hukum hendaknya menyadari limitasi hukum, dimana pada suatu titik kalangan profesi hukum janganlah melangkahi apa yang sebenarnya menjadi beban tanggung jawab kalangan profesi lain.
Yang seyogianya “disentil” dan didesak untuk didorong, ialah deregulasi undang-undang tentang pendidikan dan undang-undang tentang peran orang tua, jika perlu. Dengan demikian fungsi pilar keluarga dan pendidikan formil akan terdesak untuk melakukan pembenahan dan reformasi diri, bukan di-“nina-bobokan” oleh kaum sarjana hukum yang demikian “kepo”.
Meng-kebiri pelaku tipid asusila, sama artinya menutup harapan pelaku untuk bertobat, bagaikan memotong tangan seorang pencuri sebagai hukuman, akan membuat pelaku tidak menghargai arti tobat karena tidak akan membuat tangan mereka yang terpotong kembali.
Hukum tidak bersifat fatalistis. Apa yang dapat dipulihkan, akan dikerahkan segenap sumber daya untuk memulihkan. Menjadi pertanyaan mendasar dalam hukum, apa, bagaimana, dan dalam bentuk apakah kejahatan tersebut dikonversikan untuk merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan korban?
Adalah hukum yang harus bersifat “kreatif”. Ambil contoh, pasangan suami-istri yang bercerai diwajibkan untuk memberi nafkah bagi istri dan anaknya. Mengapa tidak mewajibkan pelaku kejahatan asusila untuk memberi sokongan dana hidup untuk seumur hidup sang pelaku sehingga putusan demikian tidak melulu memuaskan rasa amarah dan dendam korban, tapi juga benar-benar membawa faedah ditengah fenomena ancaman hukuman penjara atau bahkan hukuman mati tak lagi membuat gentar calon pelaku yang telah rusak akal sehatnya.
Masalah utamanya, amat sangat langka para profesional hukum yang mampu bersikap kreatif dan arif dalam menyusun strategi regulasi dan deregulasi. Lagi-lagi kita berbicara mengenai gagalnya fungsi pendidikan tinggi hukum yang lebih banyak mendoktrin dan mendogma isi kepala para mahasiswa hukum untuk menjadi kaya-raya secara materi dengan menjadi sarjana hukum dengan fee ratusan juta ketika menangani klien bermasalah. Bangku pendidikan tinggi hukum di Indonesia bukan mencetak ilmuan maupun intelektual hukum, tapi mencetak bussinessman dengan title sarjana hukum yang disematkan dibelakang nama lulusannya.
Pernah suatu ketika, bahkan sering terjadi, ketika penulis berbincang dengan kalangan sarjana hukum lainnya, respons mayoritas kaum sarjana hukum di Indonesia sangat amat mengejutkan: “Jika pengusaha di Indonesia lurus-lurus, dalam arti tidak melanggar hukum, itu artinya tenaga saya tak terpakai lagi. Justru karena para pengusaha itu suka melanggar hukum, maka jasa saya terpakai dan mereka butuh saya. Jadi kita memang harus membutuhkan pengusaha-pengusaha busuk agar dapat memiliki materi yang melimpah!”
SHIETRA & PARTNERS tidak bermaksud untuk menjadi “pendekar moral”. Bagaimana pun profesi konsultasi hukum adalah sumber penghasilan dari konsultan hukum, yang mana adalah wajar dan patut untuk memungut besaran tarif atas jasa profesional yang diberikan. Namun dari berbagai pengalaman SHIETRA & PARTNERS, adalah sukar untuk memahami konteks “korban” dan “pelaku”. Acapkali klien mengaku sebagai “korban”, namun setelah ditelisik ternyata klien tersebut lebih cocok dipandang sebagai “pelaku”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.