Paradoks Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dan Moral Hazard sebagai Ongkos Sosialnya

ARTIKEL HUKUM
Saat ini perdebatan mengenai pengampunan pajak masih menjadi isu hangat yang tidak jelas ujung pangkal dan juga tidak jelas ujung akhirnya, meski DPR bersama Eksekutif telah mengesahkan draf rancaangan menjadi undang-undang mengenai tax amnesty. Apakah tepat tax amnesty menjadi ajang edukasi bagi kewajiban Wajib Pajak, atau justru wujud pengakuan pemerintah akan lemah bahkan “impotennya” penegakan sistem perpajakan di Indonesia?
Mengapa juga untuk perusahaan korporasi dalam kategori usaha besar atau menengah masih mengadopsi sistem self asssessment? Mengapa perusahaan Penanaman Modal Asing (PT PMA) tidak diwajibkan melaporkan neraca keuangan yang telah diaudit akuntan publik independen?
Pengampunan pajak dinilai lebih kepada wujud tidak berpihaknya pemerintah terhadap Wajib Pajak yang selama ini patuh membayar pajak. Wajib Pajak yang merasa diculasi ialah Wajib Pajak yang selama ini menjadi karyawan dimana perusahaan tempatnya bekerja sebagai wajib pungut pajak dengan memotong PPh karyawannya.
Apakah Wajib Pajak Badan Hukum merasa terculasi? Penulis justru curiga tak ada satupun Wajib Pajak Badan Hukum yang telah secara jujur mengisi dan melaporkan SPT. Sekalipun kemudian datang petugas pajak yang hendak memeriksa pembukuan, berikut trik yang acapkali dilakukan staf pajak perusahaan: sengaja membuat kesalahan kecil yang dibuat-buat, pemeriksa pajak senang mendapat “temuan” kesalahan kecil yang sejatinya sengaja dibuat tersebut, kemudian pemeriksa pajak segera pulang dengan gembira dan perusahaan pun turut gembira telah berhasil mengecoh petugas pajak dimana pelanggaran pajak yang signifikan tidak tersentuh oleh pemeriksa yang sudah merasa senang mendapat “ikan kecil”.
Dalam pandangan penulis, pengampunan pajak hanya membuat penerimaan negara atas pajak akan meningkat secara signifikan dalam jangka pendek, namun sangat kontraproduktif (bahkan berbahaya) untuk jangka panjang. Mengapa demikian?
Dalam sejarah, tax amnesty bukan hal baru di Indonesia. Indonesia pernah menerapkan tax amnesty, dan itu jugalah yang kini ditunggu kembali para pengemplang pajak. Efek dominonya, beberapa tahun berselang, Wajib Pajak kembali menyelundupkan beban pajak, menimbunnya, kemudian menunggu saat tax amnesty kembali digalakkan pemerintah.
Budaya “kucing-kucingan” demikian sangat tidak sehat dan wujud cerminan sakitnya manajemen lembaga negara yang gagal mengejar target pendapatan pajak. Negara lewat otoritas Dirjen Pajak, gagal menempuh cara cerdas dalam meningkatkan pendapatan pajak.
Dari berbagai putusan Pengadilan Pajak yang penulis teliti, berbagai praktik pelanggaran pajak dimenangkan oleh Wajib Pajak, sementara Dirjen Pajak kemudian hanya dapat “gigit jari”. Sayang sekali petugas Dirjen Pajak tumpul pada hilir aksinya.
Seyogianya Dirjen Pajak serta lembaga eksekutif introspeksi terhadap efektifitas lembaganya sendiri ketimbang merebakkan wacana tax amnesty yang merusak wibawa negara di mata para pengemplang pajak. Negara menyerah, dan memiliki rekonsiliasi dengan para mafia pengemplang pajak. Para pengemplang pajak kembali membawa masuk jarahan beban pajak yang semestinya menjadi uang rakyat, dengan langkah pongah arogansi penuh kemenangan. Mereka telah berhasil mengangkangi negara yang mengemis para pengemplang pajak lewat tax amnesty.
Sebagaimana kita ketahui, mudahnya pendirian dan pemilikan suatu badan hukum perseroan terbatas cenderung disalahgunakan oleh aksi penggelapan pajak oleh perseroan, dimana perseroan-perseroan tersebut jika dirunut dari pemilikan saham, maka kita akan melihat satu pihak yang sebetulnya berkuasa atas seluruh perseroan itu yang menjelma struktur akar yang rumit dan mengecoh, seakan masing-masing mandiri dan independen. Salah satunya ialah Panca Budi Grup, grup usaha terdiri dari lebih dari tiga puluh perseroan terbatas namun dikuasasi hanya oleh seorang bos plastik, dimana para karyawannya diforsir bekerja untuk kepentingan tiga puluh badan hukum dengan hanya diberikan gaji dari satu badan hukum semata yang tidak lain merupakan praktik penghisapan tenaga manusia.
Perseroan-perseroan tersebut bisa jadi hanya dijadikan perusahaan cangkang (shell company) guna praktik transfer pricing, baik oleh PT PMA maupun perusahaan lokal yang memanfaatkan disparitas PPh final antar bidang usaha yang biasanya dimanfaatkan pengusaha dalam satu payung bernama “group”.
Modus-modus illicit transfer pricing bukan isu baru, modus demikian telah dikenal sejak hukum perpajakan terhadap wajib pajak badan hukum pertama kali diterbitkan.
Hukum mengadopsi falsafah “reward and punishment”. Apa hadiah bagi Wajib Pajak yang selama ini patuh mengisi dan melaporkan SPT? Namun kini pemerintah justru gencar memberi “reward” kepada para pengemplang pajak. Hal demikian bertentangan dengan prinsip dasariah hukum perpajakan itu sendiri.
Mengemplang pajak adalah perbuatan “merugikan kekayaan negara”, yang tidak lain masuk dalam kategori definisi “korupsi”. Korupsi tetaplah merupakan perbuatan koruptif.
Jangan sampai nanti pun akan ada tax amnesty versi derivatifnya bagi para pelaku korupsi.
Inilah akibat belum manunggalnya definisi “korupsi”. Pengemplang pajak tidak konsisten dikategorikan sebagai korupsi, namun dalam praktiknya kemudian terbit tax amnesty yang seolah diseret menjadi lingkup bidang administrasi dan keperdataan belaka. Bagaimana menurut Anda?
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.