Audi Alteram Partem, Asas Keseimbangan dengan Mendengarkan Keterangan dan Kehendak Seluruh Pihak yang Berkepentingan

LEGAL OPINION
Question: Kami heran dan cukup geram akan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK RI) yang dengan mudahnya mengabulkan permohonan uji materiel sehingga suatu ketentuan pasal hukum dinyatakan tidak berlaku lagi. Padahal, kami adalah salah satu dari ribuan kalangan seprofesi serupa yang selama ini punya kepentingan terhadap pasal yang dibatalkan MK tersebut, lantas mengapa keterangan dan kehendak kami tidak diikutsertakan dan sekonyong-konyong MK membatalkannya begitu saja? Tidak adakah mekanisme dalam praktik hukum selama ini agar hak-hak konstitusi setiap warga negara betul-betul dilindungi dan diperhatikan hakim, tidak hanya mengakomodasi hak konstitusi pemohon uji materil saja. Jika saja MK mau meminta masukan dari kami, mungkina akan lain ceritanya. MK terlampau sok tahu.
Brief Answer: Sebenarnya sudah terdapat asas hukum umum yang mengatur hukum acara persidangan, namun asas hukum umum tersebut tampaknya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya ialah asas audi alteram partem, yang seyogianya perlu ditafsirkan atau dimaknai ulang, bukan saja sebagai “mendengarkan pihak Penggugat dan Tergugat, Penuntut dan Terdakwa”, namun juga mendengarkan suara dan kehendak pihak-pihak lain yang paling berkepentingan secara langsung.
PEMBAHASAN :
Berdasarkan litelatur yang diakses dari Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Audi_alteram_partem), kita akan menemukan definisi berikut:
Audi alteram partem (or audiatur et altera pars) is a Latin phrase meaning "listen to the other side", or "let the other side be heard as well". It is the principle that no person should be judged without a fair hearing in which each party is given the opportunity to respond to the evidence against them.
"Audi alteram partem" is considered to be a principle of fundamental justice or equity or the principle of natural justice in most legal systems. This principle includes the rights of a party or his lawyers to confront the witnesses against him, to have a fair opportunity to challenge the evidence presented by the other party, to summon one's own witnesses and to present evidence, and to have counsel, if necessary at public expense, in order to make one's case properly.
Definisi “hear the both side” tersebut merupakan definisi klasik yang sudah tidak dapat diberlakukan dalam sistem hukum modern, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara falsafah maupun ide hukum kontemporer.
Dalam praktik litigasi, acapkali terjadi itikad buruk Penggugat dengan cara hanya menggugat pihak-pihak yang kurang signifikan peranannya, dengan harapan putusan pengadilan dapat membelenggu hak-hak pihak yang paling berkepentingan namun tidak turut disertakan sebagai tergugat sehingga tidak heran bila kita kerap kali mendengar adanya istilah “Tergugat Intervensi” dalam persidangan—itu jikalau pun pihak ketiga mengetahui adanya gugatan tersebut; bagaimana jika gugatan tersebut tidak diketahui oleh sang pihak ketiga yang sebenarnya juga berkepentingan?
Diakui atau tidaknya, hukum acara peradilan terutama terkait judicial review oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah Konstitusi menyimpan sebuah bahaya laten. Para hakim ketika memutus dengan membatalkan suatu pasal peraturan perundang-undangan mendasari dirinya dengan asumsi bahwa mereka tahu betul isi kepala dan pikiran juga kepentingan dari pihak-pihak yang tidak dapat turut serta memberikan suara dalam persidangan uji materil tersebut.
Disinilah celah hukum acara terletak demikian terbuka lebar. Acapkali kuasa hukum dari pihak Lembaga Eksekutif maupun Lembaga Legislatif hanya bertahan dengan argumentasi sekedarnya menghadapi gempuran argumentasi pihak Pemohon Uji Materiil, sementara dalam hukum acara uji materiil di Indonesia tidak dikenal adanya “Termohon Intervensi” terlebih sifat putusan uji materil ialah final and binding.
Secara falsafah, hanya dibenarkan menjadikan pihak Termohon Uji Materiil sebagai pihak Pemerintah RI dan DPR RI bila objek Uji Materiil ialah berupa hukum administrasi belaka dimana tersangkut paut pelayanan publik oleh pemerintah. Bila suatu pasal peraturan perundang-undangan menyangkut hubungan sipil terhadap sipil lain, baik hubungan kontraktual, hubungan perikatan perdata pada umumnya, dsb, maka pihak Termohon Uji Materiil tidak cukup hanya direpresentasikan oleh pihak Pemerintah dan Parlemen saja.
Sebagai contoh, bila suatu pasal pada UU Perlindungan Konsumen diajukan Uji Materil oleh salah satu kalangan pengusaha, lantas tiada satupun representasi kalangan konsumen yang dilibatkan untuk didengarkan aspirasi maupun kehendaknya, sama artinya hakim telah mengamputasi hak-hak konstitusional warga negara selaku konsumen.
Mungkin sebagai salah satu alternatif lain, ketika warga negara mengetahui suatu pasal peraturan perundang-undangan diajukan Uji Materil oleh suatu pihak, dirinya dapat mengajukan diri secara sukarela sebagai saksi maupun saksi ahli yang mendukung pihak Pemerintah ataupun DPR RI untuk maju memberi keterangan dan aspirasi.
Disayangkan pula, banyak kalangan profesor maupun akademisi top di Indonesia yang hanya berkenan dimajukan sebagai saksi ahli guna memberikan keterangan selaku pakar dibidangnya, bila hal tersebut didasari suatu “sponsor”—dalam arti disewa oleh pihak Pemohon Uji Materil. Jarang ditemui pakar hukum maupun mereka yang mengaku sebagai intelektual hukum mengajukan diri sebagai pihak yang memberikan keterangan bagi pihak Termohon Uji Materiil. Akademisi menjelma “tentara bayaran” dalam panggung drama Uji Materiil.
Ini pula yang menjadi cermin kegagalan sistem yang bernaung dalam lembaga akademisi yang mana para pelakunya lebih banyak bersangkar pada menara gading atau hanya sekadar sibuk berkomentar dan cukup puas menjadi pengamat dan komentator belaka.
Dalam kasus pidana, kerap kita dengar bagaimana Terdakwa tindak pidana asusila menyatakan bahwa korban tidak merasa keberatan telah lecehkan olehnya. Sekalipun saksi korban dihadirkan ke persidangan untuk didengar keterangannya, dan menyatakan betul hubungan tersebut antara korban dan pelaku adalah atas dasar “suka sama suka”, namun bagaimana dengan orang tua sang korban? Bagaimana dengan gadis-gadis lainnya yang bisa jadi mangsa para pelaku asusila?
Disinilah perlu adanya pembenahan pola berpikir falsafah hukum mengenai apa yang dimaksudkan dengan audi alteram partem menjadi “dengarkan suara semua yang berkepentingan”. Hukum acara bersifat demikian prosedural, sehingga menjadi kaku dan tumpul dalam menghadapi situasi yang demikian dinamis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.