ARTIKEL HUKUM
Pada mulanya, ketika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan diterbitkan, penulis merasa terkejut, apakah
perbuatan aparatur pemerintahan yang dinilai menyalahgunakan wewenang dapat
kembali dijadikan alasan gugatan di hadapan Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN)
seperti pertama kali Undang-Undang PTUN diterbitkan pertama kalinya pada tahun
1986.
Namun asumsi tersebut meleset. Terdapat ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan
yang dapat menjadi blunder baru: apakah sebelum seorang pejabat negara didakwa
telah melakukan kolusi, sebagai contoh, maka Inspektorat Jenderal
lembaga/instansi tempat aparatur tersebut tercatat sebagai anggota harus
mengajukan permohonan pernyataan aparatur tersebut telah melakukan perbuatan
menyalahgunakan wewenang sebelum kemudian KPK dapat mendakwa aparatur tersebut?
Kini, mari kita bahas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (PERMA No. 4
Tahun 2015).
Ketentuan Pasal 21 UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan, bahwa PTUN berwenang
untuk menerima, memeriksa, dan memutus ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Namun, bukan
berarti dibuka hak bagi warga negara untuk menggugat Badan atau Pejabat
Pemerintahan yang melakukan penyalahgunaan wewenang tersebut—di situlah keganjilannya
terletak.
Dalam membahas PERMA tersebut, akan kerap dijumpai beberapa peristilahan,
antara lain:
1.
Wewenang ialah hak yang dimiliki oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
mengambil Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2.
Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan
pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
3.
Keputusan Administrasi
Pemerintahan (atau juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara) yang selanjutnya disebut “Keputusan” adalah ketetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
4.
Tindakan Administrasi
Pemerintahan yang selanjutnya disebut “Tindakan” adalah perbuatan
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau
tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan.
5.
Permohonan adalah permintaan yang diajukan
secara tertulis kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
6.
Majelis Hakim yang selanjutnya disebut
Majelis adalah susunan hakim yang memeriksa dan memutus Permohonan sekuarng-kurangnya
3 (tiga) orang hakim.
7.
Jadwal Persidangan adalah pembagian waktu
berdasarkan tahapan persidangan secara berurutan mulai dari sidang pertama
hingga pengucapan putusan akhir yang ditetapkan oleh Majelis.
PTUN berwenang menerima, memeriksa, dan memutus Permohonan penilaian ada
atau tidak ada penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan
Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana. Demikian Pasal 2 ayat
(1) dari PERMA No. 4 Tahun 2015 menyatakan secara eksplisit. Namun, timbul
perdebatan baru. Apakah yang dimaksud dengan “sebelum adanya proses
pidana”? Mungkinkah PERMA No. 4 Tahun 2015 menjadi alat guna menjegal proses persidangan pidana?
Dalam teori hukum acara pidana, baik penyelidikan, penyidikan, ataupun
penuntutan adalah bagian dari proses pidana. Artinya, apakah ketika oknum
tengah diselidiki, maka PTUN tak lagi berwenang menerima Permohonan?
Apakah artinya oknum pejabat harus mengajukan Permohonan bahkan sebelum
dirinya ditetapkan sebagai tersangka? Apakah tidak akan mengundang kecurigaan
bila seorang pejabat negara mengajukan Permohonan ini ke hadapan PTUN meski
tiada satu pihak berwenang pun yang mulai melakukan penyelidikan?
Diatur pula dalam PERMA No. 4 Tahun 2015, PTUN baru berwenang menerima,
memeriksa, dan memutus penilaian Permohonan tersebut, setelah adanya hasil
pengawasan aparat pengawas internal instansi pemerintahan.
Hingga sampai disini, perlu kita sepakati bersama, bahwa hak seorang pejabat
negara untuk mengajukan Permohonan, adalah ketika terbit hasil pengawasan BPK
ataupun Itjen dari instansinya yang menyatakan bahwa dirinya telah kolusi atau
lalai terhadap tanggung jawab, namun hak mengajukan Permohonan tersebut
kadaluarsa ketika dirinya telah ditetapkan sebagai tersangka ataupun ketika
pihak berwajib mulai melakukan penyelidikan terhadap dirinya—paling tidak sejak
oknum pejabat tersebut dipanggil sebagai saksi oleh pihak berwajib.
Selanjutnya Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2015 mengatur:
“Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh hasil pengawasan aparat
pengawasan intern pemerintah dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang
berwenang berisi tuntutan agar Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan
dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang.”
Menjadi menarik, bahwa ketika BPK atau Irjen suatu instansi menyatakan
bahwa suatu pejabat negara telah melakukan kolusi atau korupsi, maka laporan
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) ataupun Itjen (Inspektorat Jenderal) tersebut dapat
dianulir oleh pejabat negara yang dinyatakan KKN.
Sebaliknya, bila BPK atau Itjen menyatakan seorang aparatur negara tidak kolusi
dan tidak korupsi, maka Direktur Jenderal suatu instansi pada Direktorat
Jenderal (Dirjen) pemerintahan dapat mengajukan Permohonan pada PTUN guna
menganulir laporan BPK ataupun Itjen, sehingga oknum pejabat negara yang
kolusif tidak dapat lagi berlindung dibalik laporan BPK ataupun Itjen yang
sesat demikian. Konsepsi ini menyerupai konsep praperadilan dalam hukum pidana.
Permohonan diajukan secara tertulis, dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon
atau kuasanya dalam lima rangkap, yang memuat:
a.
Identitas Pemohon;
b.
Uraian secara singkat dan jelas mengenai objek Permohonan berupa
Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan yang dimohonkan penilaian;
c.
Uraian yang menjadi dasar Permohonan, meliputi: kewenangan Pengadilan,
kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon, dan alasan Permohonan yang diuraikan secara jelas dan rinci.
d.
Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam Permohonan:
1.
Dalam hal Pemohon adalah Badan Pemerintahan, yaitu:
-
Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
-
Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan ada
unsur penyalahgunaan Wewenang;
-
Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan.
2.
Dalam hal Pemohon ialah Pejabat Pemerintahan, yaitu:
-
Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
-
Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan tidak ada
unsur penyalahgunaan Wewenang;
3.
Memerintahkan kepada Negara untuk mengembalikan kepada Pemohon uang yang
telah dibayar, dalam hal Pemohon telah mengembalikan kerugian negara. (Note
SHIETRA & PARTNERS: bila percobaan tindak pidana pencurian tetap dihukum
pidana, maka adalah hukum yang koruptif bila seorang koruptor lolos dari jerat
pidana hanya karena mengembalikan uang hasil korupsi. Percobaan korupsi telah
sempurna, terlepas si pelaku menikmati atau mengembalikan dana korupsi yang
telah digenggamnya.)
Permohonan diajukan kepada PTUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Pejabat Pemerintahan yang menerbitkan Keputusan dan/atau melakukan
Tindakan melalui Kepaniteraan PTUN. Bila Pemohon berkedudukan atau berada di
luar negeri, maka Permohonan hanya dapat diajukan kepada Pengadilan di PTUN Jakarta.
Selanjutnya Panitera pengadilan melakukan penelitan administrasi dan
memeriksa kelengkapan alat bukti pendahuluan sekurang-kurangnya berupa:
a.
Bukti yang berkaitan dengan identitas Pemohon, yaitu:
1.
Fotokopi keputusan dan/atau peraturan perundang-undangan pembentukan
Badan Pemerintahan yang bersangkutan, dalam hal Pemohon ialah Badan
Pemerintahan; dan/atau
2.
Fotokopi KTP atau identitas diri lain, keputusan pengangkatan jabatan
Pemohon pada saat Keputusan dan/atau Tindakan Pemohon yang dimohonkan penilaian
itu diterbitkan dan/atau dilakukan, dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan.
b.
Fotokopi Keputusan yang dimohonkan penilaian dan hasil pengawasan aparat
pengawasan intern pemerintah serta fotokopi bukti surat atau tulisan yang
berkaitan dengan alasan Permohonan;
c.
Daftar calon saksi dan/atau ahli, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan
saksi dan/atau ahli; dan
d.
Bukti-bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik,
bila diperlukan.
Panitera menyampaikan berkas perkara yang telah lengkap dan sudah
diregistrasi kepada Ketua PTUN paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
Permohonan tersebut diregistrasi, dan Ketua PTUN akan menetapkan susunan
Majelis yang akan memeriksa dan memutus Permohonan tersebut paling lambat 2
(dua) hari kerja sejak berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan.
Ketua Majelis Hakim menetapkan sidang pertama dan jadwal persidangan
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak berkas perkara
diterima oleh Majelis.
Penetapan sidang pertama dan jadwal persidangan kemudian diberitahukan
kepada Pemohon. Jadwal persidangan tersebut bersifat mengikat, dan tidak
ditaatinya jadwal tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan atau hak bagi
Pemohon untuk berproses kecuali terdapat alasan yang sah.
Panggilan sidang pertama disertai keterangan mengenai:
a.
Penetapan Ketua Majelis yang memuat jadwal persidangan;
b.
Perintah untuk melengkapi bukti-bukti lain;
c.
Perintah untuk mempersiapkan saksi dan/atau ahli yang akan diajukan dalam
persidangan sesuai dengan jadwal persidangan yang telah ditetapkan, dalam hal
Pemohon bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli.
Panggilan sidang disampaikan secara langsung oleh Jurusita atau melalui
telepon, faksimili, dan/atau surat elektronik yang dibuktikan dengan berita
acara penyampaian atau pengiriman—dan harus sudah dikirim kepada Pemohon atau
kuasa hukumnya dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum
hari persidangan.
Pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh Majelis tanpa melalui proses
dismissal maupun pemeriksaan persiapan. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang yang
terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Tahapan pemeriksaan di persidangan, antara lain:
a.
Pemeriksaan pokok Permohonan—dimulai dengan memberikan kesempatan kepada
Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok Permohonan;
b.
Pemeriksana bukti surat atau tulisan;
c.
Mendengarkan keterangan saksi;
d.
Mendengarkan keterangan ahli;
e.
Pemeriksaan alat-alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen
elektronik.
Adapun yang menjadi klasifikasi
Alat Bukti dalam penilaian ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan Wewenang,
meliputi:
a.
Surat atau tulisan;
b.
Keterangan saksi;
c.
Keterangan ahli;
d.
Pengakuan Pemohon;
e.
Pengetahuan hakim;
f.
Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.
Yang menarik, Pasal 14 PERMA No. 4 Tahun 2015 menyatakan sebagai berikut:
“Saksi dan/atau
ahli dapat diajukan oleh Pemohon atau dipanggil atas perintah Pengadilan.”
Ketentuan diatas mengadopsi konsep “sub-poena” dalam negara hukum dengan
tradisi sistem Anglo Saxon.
Alat bukti informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat berupa
rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka yang
memiliki makna.
Alasan hukum yang menjadi dasar putusan dalam penilaian ada atau tidak
ada unsur penyalahgunaan Wewenang, meliputi:
a.
Maksud dan tujuan Permohonan;
b.
Kewenangan Pengadilan;
c.
Kedudukan hukum Pemohon;
d.
Pendapat Majelis;
e.
Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan.
Yang menjadi bunyi dari amar putusan:
a.
“Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal
Permohonan tidak memenuhi syarat formal, Pengadilan tidak berwenang, dan/atau
Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum.
b.
Dalam hal Pemohon Badan Pemerintahan:
-
“Mengabulkan Permohonan Pemohon”;
-
“Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan ada unsur
penyalahgunaan Wewenang”;
-
“Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan”.
c.
Dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan:
-
“Mengabulkan Permohonan Pemohon”;
-
“Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan tidak ada
unsur penyalahgunaan Wewenang”;
-
“Memerintahkan kepada Negara untuk mengembalikan kepada Pemohon yang
telah dibayar”, dalam hal Pemohon telah mengembalikan kerugian negara.
d.
“Menolak Permohonan Pemohon”, dalam hal Keputusan dan/atau Tindakan
Pejabat Pemerintahan tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang apabila
Pemohon-nya ialah Badan Pemerintahan, atau dalam hal Keputusan dan/atau
Tindakan Pemohon ada unsur penyalahgunaan Wewenang apabila Pemohon-nya ialah
Pejabat Pemerintahan; atau
e.
“Menyatakan Permohonan gugur”, dalam hal Pemohon tidak hadir dalam
persidangan 2 (dua) kali berturut-turut pada sidang pertama dan kedua tanpa
alasan yang sah atau Pemohon tidak serius.
Pengadilan wajib memutus Permohonan ada atau tidaknya unsur
penyalahgunaan Wewenang paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak sidang
pertama dilakukan.
Pemohon dapat mengajukan upaya hukum “banding” terhadap putusan PTUN kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang diajukan melalui Kepaniteraan PTUN yang
memutus Permohonan, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender
dihitung keesokan hari setelah putusan diucapkan, bagi pihak yang hadir.
Bila pihak yang bersangkutan tidak hadir pada saat pembacaan putusan,
tenggang waktu pengajuan banding dihitung setelah pemberitahuan amar putusan
dikirimkan. Bila hari keempat belas jatuh pada hari libur, penentuan hari
keempat belas jatuh pada hari kerja berikutnya.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus Permohonan banding
paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak peentapan susunan Majelis—dan putusan
banding ini seketika bersifat final dan mengikat (final and binding).
Yang menjadi bahaya laten sebagaimana dibuka oleh UU Administrasi
Pemerintahan, ialah skenario berikut: ketika seorang pejabat negara merasa
dirinya mulai ter-“endus” oleh penyidik KPK ataupun oleh penyidik kepolisian, oknum
pejabat tersebut segera melakukan affirmative
action dengan mengajukan Permohonan ke hadapan PTUN yang mana reputasi dan
kredibilitas institusi PTUN telah amat sangat diragukan, dan bilamana hakim PTUN
mengabulkan permohonan terdakwa dengan menyatakan bahwa terdakwa tidak
melakukan kolusi ataupun korupsi, maka dapat dipastikan upaya KPK ataupun Jaksa
Penuntut Umum ataupun juga pihak Kepolisian akan majal, berhenti di tempat, dan
seketika itu juga anti klimaks.
Disini, beban kewenangan memutus korupsi atau tidaknya bukan lagi
terletak pada hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), namun menjadi “lahan
basah” bagi para hakim PTUN dengan menawarkan negosiasi-negosiasi terhadap
pejabat negara yang bermasalah, layaknya Kepala Daerah Sumatera Utara yang
menyuap hakim PTUN Medan dengan perantara pengacara senior, OC Kaligis.
UU Administrasi Pemerintahan adalah alat sempurna bagi pelaku tindak
pidana korupsi untuk menjegal upaya penegakan pemberantasan korupsi—law as a tool of perfect crime.
UU Administrasi Pemerintahan mengandung bahaya laten, karena bukan masyarakat
umum yang diberi kesempatan untuk menggugat penyelenggara negara yang
menyelewengkan kekuasaan, namun memberi kesempatan bagi oknum pejabat negara
untuk menjegal upaya pemberantasan korupsi terhadap diri sang pejabat.
UU Administrasi Pemerintahan dalam produk kemunduran hukum dalam konteks
semangat pemberantasan korupsi.
Yang ter-fatal dari UU Adminitasi Pemerintahan: tiada Termohon dalam
Permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang—yang ada
hanyalah Pemohon. Jika Pemohon adalah oknum pejabat, praktis penyidik maupun
penuntut KPK atau kepolisian tidak dapat mengajukan sanggahan ataupun alat
bukti yang dimilikinya. Praktis Pemohon (oknum pejabat) berada diatas angin,
karena dalam proses ini tidak berlaku asas audi
et alteram partem.
Jikalaupun terdapat pihak Termohon, bila Pemohonnya ialah oknum pejabat
pemerintah, maka yang menjadi Termohon ialah kepala instansi pemerintahan
tempat oknum tersebut bernaung, ataukah kepolisian, ataukah KPK? PERMA No. 4
Tahun 2015 tidak menyebut adanya replik, duplik, atau semacam itu. Mengapa begitu terkesan terburu-buru dengan wajib diputus dalam tempo kurang dari satu bulan?
Mengapa juga “ada atau tidaknya” korupsi menjadi bergeser menjadi ranah PTUN?
UU Administrasi Pemerintahan memiliki substansi yang overlaping dengan UU Tipikor.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.