Kupas Tuntas Kaidah Hukum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Tahun 2015

Artikel hukum
Pada tanggal 29 Desember 2015, Hatta Ali selaku Ketua Mahkamah Agung RI menerbitkan sebuah SEMA yang telah lama ditunggu-tunggu dalam rangka unifikasi dan pembenahan hukum acara di Indonesia, yakni Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tingkat Banding serta para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama seluruh Indonesia.
Dalam prolognya, MA RI menyebutkan bahwa penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung RI salah satunya ialah bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar adalah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itu setiap Kamar di Mahkamah Agung RI secara rutin menyelenggarakan Rapat Pleno Kamar.
Sejak kapan Mahkamah Agung selaku Lembaga Yudikatif menjelma Lembaga Legislatif pembentuk regulasi? Konsep lembaga peradilan sebagai pembentuk hukum merupakan konsep negara-negara Anglo Saxon seperti Amerima Serikat dan Negara-Negara Persemakmuran yang mengedepankan praktik yurisprudensi serta preseden. Diakibatkan lambannya reformasi regulasi di Indonesia, mendesak Mahkamah Agung untuk bersikap progresif-pragmatis lewat berbagai SEMA maupun PERMA yang diterbitkannya, dan mengikat umum / publik pencari keadilan.
Adapun yang menjadi hasil dari rumusan hukum Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI Tahun 2015, antara lain:
A.   RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA
1.    Nark*tika
“Hakim memeriksa dan memutus perkara harus didasarkan kepada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Pasal 182 ayat 3, dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark*tika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti Pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark*tika yang mana pasal ini tidak didakwakan, Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan demikian praktik kriminalisasi yang kerap terjadi dapat diminimalisir, setidaknya meski terbukti melakukan suatu pelanggaran hukum, namun tidak separah kejahatan yang dituduhkan dalam dakwaan jaksa, hakim dapat menafsirkan tuntutan jaksa sebagai memiliki “ex aequo et bono” dengan memakai pasal pemidanaan dengan ancaman yang lebih kecil dari tuntutan jaksa bilamana terbukti perbuatan terdakwa masuk dalam pasal pidana lain yang tidak menjadi dakwaan jaksa.
2.    Titik Singgung Antara Perkara Tata Usaha Negara dan Tindak Pidana Korupsi.
“Di dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan. Ketika proses perkara Tindak Pidana Korupsi berjalan dana diajukan pula permohonan tentang ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maka proses pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi tetap berjalan sedangkan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus merujuk kepada PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.”
Note SHIETRA & PARTNERS: wibawa hakim PTUN runtuh ketika KPK menangkap tangan tindak pidana korupsi yang menyeret kepala daerah Sumatera Utara ketika menyuap hakim PTUN lewat seorang pengacara senior, OC Kaligis.
3.    Perikanan (Illegal Fishing)
“Dalam perkara Illegal Fishing di wilayah ZEEI terhadap terdakwa hanya dapat dikenakan pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda.”
Note: Lantas bagaimana dengan aksi Menteri Kelautan RI yang menenggelamkan kapal-kapal pelanggar Zona Ekonomi Esklusif Indonesia? Apakah ini termasuk pengganti pidana denda?
4.    Penyitaan Terhadap Aset Negara
“Dalam hal ada permohonan izin penyitaan terhadap Aset Negara maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menerbitkan izin penyitaan dalam hal Aset Negara tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana, atau merupakan hasil dari tindak pidana atau berhubungan langsung dengan tindak pidana yang bersangkutan. Barang bukti tersebut dapat dipinjam pakai untuk kepentingan lembaga yang bersangkutan.”
B.   RUMUSAN HUKUM KAMAR PERDATA
1.    Perdata Umum
a.    “Putusan dapat dijatuhkan secara verstek apabila para pihak telah dipanggil secara sah dan patut sesuai ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR, namun apabila gugatan dikabulkan maka harus didukung dengan bukti permulaan yang cukup.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Kaidah yang dirumuskan ulang oleh MA RI tersebut patut diapresiasi, sebab selama ini dalam praktiknya terjadi kerancuan mengingat HIR dalam perkara putusan verstek (putusan atas tidak hadirnya salah satu pihak dalam perkara perdata, terutama bila Tergugat yang tidak hadir, maka hakim begitu saja mengabulkan gugatan Penggugat dengan alasan Tergugat tidak hadir untuk melakukan bantahan.
b.    Khusus perkara perceraian berlaku ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal keluarga dijadikan saksi dapat disumpah sepanjang tidak ada bukti lain.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Hasil rumusan tersebut merupakan terobosan terhadap sifat kaku hukum acara perdata, mengingat anggota keluarga menjadi pihak-pihak yang berkepentingan itu sendiri dalam perkara perceraian maupun hak asuh atas anak.
c.     “Dalam hal putusan pengadilan tingkat banding menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima karena Pemohon terlambat mengajukan permohonan banding, maka isi amar Putusan Kasasi adalah : MENOLAK KASASI, karena putusan putusan pengadilan tingkat pertama telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum yang tersedia terhadap putusan tersebut adalah Peninjauan Kembali.”
d.    “Untuk perkara kasasi, Hakim Agung sepakat bahwa terhadap permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat formil, maka isi amar putusan adalah permohonan kasasi tidak dapat diterima. Untuk perkara Peninjauan Kembali isi amar putusan Peninjauan Kembali terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang tidak memenuhi syarat formil adalah: MENYATAKAN PERMOHONAN PEMOHON PK TIDAK DAPAT DITERIMA.”
2.    Perdata Khusus
a.     Dalam hal amar putusan Kasasi / PK yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit, Majelis Hakim Kasasi / PK menunjuk Kurator sesuai dengan permohonan Pemohon dan memerintahkan Ketua Pengadilan Niaga untuk menunjuk Hakim Pengawas.”
b.    “Tidak ada upaya hukum apapun terhadap:
-      Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (Pasal 235 UU Kepailitan);
-      Putusan PKPU Tetap (Pasal 235);
-      Putusan PKPU Tetap tidak disetujui oleh Kreditor, kemudian Debitor dinyatakan Pailit (Pasal 290);
-      Putusan Penolakan Perdamaian dalam PKPU (Pasal 285 ayat (4));
-      Putusan atas permohonan Rehabilitasi terhadap Debitor (ahli waris) setelah berakhirnya kepailitan (Pasal 220).
c.     Jika terhadap putusan kepailitan / PKPU yang tidak tersedia upaya hukum apapun sebagaimana dimaksud dalam huruf A di atas tetap diajukan ke MA, maka isi amar putusan adalah TIDAK DAPAT DITERIMA.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Bagaimana jika diajukan upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali? Yang dimaksud ialah “huruf A” ataukah “huruf B” ? Mahkamah Agung RI dalam berbagai SEMA yang diterbitkannya acapkali terdapat kekeliruan redaksional yang mencerminkan betapa tidak telitinya jajaran tenaga ahli di lingkungan MA RI, sehingga merusak kredibilitas intelektual jajarannya sendiri.
d.    “Gugatan pembatalan terhadap merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain untuk barang atau jasa yang tidak sejenis maka amar putusan adalah GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA. Sesuai dengan prinsip legistik, ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek belum berlaku efektif, karena Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut belum berlaku efektif, karena Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut belum diundangkan.”
Note SHIETRA & PARTNERS: MA RI telah melakukan kekeliruan fatal dalam merumuskan kaidah hukum. Hal ini patut disayangkan, mengingat dalam rapat pleno terdapat Hakim Agung Kamar PTUN yang semestinya dapat memberikan sumbang saran. Seyogianya MA RI justru membentuk hukum lewat putusan-putusannya sehingga yang kemudian terjadi ialah “hukum yurisprudensi”. Pandangan legalistik-formil Hakim Agung demikian bersifat fatalistis, cenderung dangkal, kaku, dan konservatif. Hingga kini, UU Hak tanggungan yang diterbitkan tahun 1996 belum juga memiliki Peraturan Pelaksana Parate Eksekusi HT, sehingga apakah itu berarti kreditor preferen tidak diperkenankan melakukan Parate Eksekusi? Bandingkan dengan kaidah yang mencoba menerobos kekakuan tersebut dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan: “Apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, peraturan pemerintah yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini belum terbit, hakim atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menjatuhkan putusan atau sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang ini.”
e.     “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK Nomor 012/PUU-1/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).”
Note SHIETRA & PARTNERS: Ketentuan tersebut telah diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi RI pada tahun 2003—2004, dimana yang menjadi salah satu argumentasi Pemohon Uji Materiil ialah:
“... ketentuan Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah bersifat Diskriminatif secara hukum, melakukan kesalahan berat masuk kualifikasi tindak pidana, yang menurut Pasal 170 Undang-undang Ketenagakerjaan prosedurnya tidak perlu mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu dapat melakukan pemutusan hubungan kerja langsung tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sehingga ketentuan ini telah melanggar prinsip pembuktian, terutama asas praduga tidak bersalah dan kesamaan didepan hukum sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945. Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat Pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana.”
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 yang disinggung dalam SEMA, antara lain:
“Menimbang bahwa meskipun Pasal 159 menentukan, apabila buruh/pekerja yang telah di-PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak menerima pemutusan hubungan kerja, buruh/pekerja yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka di samping ketentuan tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan letidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan memcampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya;”
Perhatikan ketentuan berikut yang merupakan bentuk pembangkangan lembaga Mahkamah Agung RI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI maupun terhadap regulasi Lembaga Eksekutif cq. Kementerian Ternagakerja, sebagaimana telah diatur secara eksplisit serta tegas dan jelas dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005:
Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember 2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakat, dipandang perlu menerbitkan Surat Edaran sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat "....bukan atas pengaduan pengusaha"; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat "...Pasal 158 ayat (1) ..."; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat ....Pasal 158 ayat (1) ... " Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat "...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) .... " tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.,
2. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 maka Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.
3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.
4. Dalam hal terdapat "alasan mendesak" yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 07 Januari 2005
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Ada apa dengan Mahkamah Agung RI? Mengapa MA RI tidak belajar dari berbagai kekeliruan rumusan kaidah hukum yang sebelumnya pernah mereka bentuk dalam SEMA No. 7 Tahun 2012?
f.      “Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan waktu dalam proses Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para Pihak.”
g.    “Dalam hal terjadi perkawinan yang dilakukan di luar negeri yang tidak dicatatkan di kantor pencatat perkawinan di Indonesia, maka perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Selesai sudah polemik secara yuridis, namun menjadi polemik baru secara teoretis dan sosiologis. Undang-Undang Administrasi Kependudukan tahun 2013 menyatakan, selama perkawinan terjadi sah secara agama, maka anak dari hasil perkawinan tersebut adalah anak sah yang dapat diakui. Perkawinan menurut hukum Indonesia dilangsungkan dalam dua tahapan: secara agama (filter I) dan secara hukum negara (pencatatan di catatan sipil, filter II). Bagaimana jika perkawinan secara agama dilangsungkan di luar negeri namun secara catatan sipil di lakukan di Indonesia? Bagaimana juga dengan status anak yang tidak tahu-menahu mengenai hukum karena ia pun tidak pernah memilih dilahirkan dalam keadaan demikian. Biarlah para akademisi yang sibuk mendebatkan.
Rumusan tersebut juga tampak diskriminasi dengan Rumusan Hukum Kamar Agama bagi warga negara yang beragama Muslim,
C.   RUMUSAN HUKUM KAMAR AGAMA
1.    Permohonan peninjauan kembali yang tidak memenuhi ketentuan formil, maka bunyi amarnya “Menyatakan permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima”;
2.    Perkara kumulasi antara persoon recht dan zaken recht dapat diajukan bersama-sama atau setelah terjadi perceraian.”
3.    “Pemeriksaan secara verstek terhadap perkara perceraian tetap harus melalui proses pembuktian (Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), sedangkan pemeriksaan perkara selain perceraian harus menunjukkan adanya alas hak dan tidak melawan hukum (Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg).”
4.    “Dalam perkara permohonan peninjauan kembali dengan alasan telah ditemukan bukti baru (novum), maka yang disumpah adalah pihak yang mengajukan permohonan peninjauan kembali atau yang menemukan novum.”
5.    “Alasan/risalah peninjauan kembali harus diserahkan pada tanggal yang sama dengan pendaftaran permohonan peninjauan kembali di pengadilan pengaju sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.”
6.    “Putusan Pengadilan Agama yang tidak menempuh proses mediasi yang dimintakan banding dinyatakan batal demi hukum oleh Pengadilan Tinggi Agama sebagai putusan akhir.”
7.    “Perkawinan bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri yang tidak didaftarkan setelah kembali ke Indonesia lebih dari satu tahun, maka dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Pemohon.”
8.    Pengukuran terhadap objek pemeriksaan setempat (descente) berupa tanah tidak harus dilakukan oleh petugas dari Kantor Badan Pertanahan Nasional, akan tetapi dapat dilakukan oleh pegawai pengadilan agama bersama aparat desa/kelurahan setempat.”
9.    “Amar mengenai pembebanan nafkah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan.”
D.   RUMUSAN HUKUM KAMAR MILITER
1.    Penjatuhan Pidana Tambahan Pemecatan
a.     “Secara yuridis landasan untuk menjatuhkan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim adalah Pasal 26 KUHPM yang menegaskan Terdakwa dipandang tidak layak dan tidak pantas lagi sebagai prajurit TNI. KUHPM tidak menentukan parameter / ukuran seseorang dipandang tidak layak/pantas, tetapi dalam praktek disrahkan pada pendapat dan penafsiran Hakim.”
b.    “Untuk menghindari subyektifitas Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecata, dapat dijadikan tolok ukur pada aspek pelaku (subyektif), perbuatan (obyektif) aspek akibat, dan keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan Pelaku.”
c.     “Aspek subyektif, yaitu kepangkatan dan jabatan pelaku ketika melakukan tindak pidana, yaitu apakah dalam level kepangkatan dan jabatan tersebut Terdakwa layak/pantas melakukan tindak pidana in casu.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Ini merupakan rumusan progresif yang menarik. Semakin tinggi kedudukan, jabatan, ataupun pangkat, maka semakin berat tanggung jawab pidananya sesuai dengan proporsional kewenagannya. Itulah sebabnya perlu juga diterapkan dalam kasus perdata maupun pidana korupsi. Semakin tinggi kedudukan, semakin besar kekuasaan, tanggung jawab pidana maupun perdata harus diperbesar sesuai dengan seberapa besar kekuasaan yang dimilikinya. Begitupula bila korporasi besar melakukan penggelapan pajak, maka ancaman hukuman pidana harus diperberat lebih kentara lagi.
d.    “Aspek obyektif, yaitu tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, lama pidana yang dijatuuhkan dan dampak yang mungkin ditimbulkan menjadi ukuran penjatuhan pidana tambahan pemecatan.”
e.     “Dampak terhadap nama baik satuan dan pembinaan disiplin prajurit di kesatuan apakah perbuatan Terdakwa berdampak pada citra kesatuan dan menyulitkan dalam pembinaan prajurit di kesatuan.”
f.      “Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan Terdakwa sebagai pengulangan atau sebelumnya pernah melakukan pelanggaran.”
2.    Nark*tika
a.     Bahwa apabila seorang Terdakwa / Anggota TNI berulang kali mengkonsumsi nark*tika dan menunjukkan ada indikasi ketagihan, Hakim dalam pemeriksaan di persidangan dapat memerintahkan agar Terdakwa dilakukan pemeriksaan oleh seorang Dokter ahli, dan apabila hasil pemeriksaan dapat membuktikan bahwa kondisi Terdakwa sudah memasuki tahap kecanduan (ketagihan), Hakim dalam putusannya dapat memerintahkan Terdakwa dilakukan rehabilitasi dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 127 Ayat (1) juncto Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penerapan rahabilitasi terhadap prajurit TNI merupakan hak konstitusional dari Terdakwa untuk mendapatkan penyembuhan, tetapi pidana tambahan penghentian dari dinas keprajuritan/pemecatan, harus tetap diterapkan keapda Anggota TNI yang terlibat kejahatan Nark*tika.”
b.    “Bahwa apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sekedar berupa alat test pack dari penyidik atau oleh hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri, diketahui urin seorang Terdakwa positif (+) mengandung Metamph*tamine, tetapi Terdakwa menyangkal dengan keras bahwa Terdakwa tidak pernah menghonsumsi Nark*tika, dan tidak ada saksi atau bukti lain yang menguatkan bahwa Terdakwa benar telah mengkonsumsi Nark*tika, dan seorang dokter/ahli telah diminta keterangannya untuk menjelakan bahwa apa yang ada dalam urin Terdakwa adalah benar menunjukkan yang dikonsumsi Terdakwa adalah Nark*tika, Terdakwa tidak dapat dipersalahkan melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark*tika, karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP yakni sekuarng-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah. Keterangan seorang dokter/ahli, lebih merupakan asumsi atau dugaan semata. Kesaksian Dokter ahli harus dilengkapi ahli farmakologi yang mengetahui proses peracikan zat-zat kimia, dan bila terdapat keraguan atas hasil keterangan ahli tersebut, dapat dilanjutkan kepada pemeriksaan BNN/BNN Daerah karena BNN/BNN Daerah mempunyai ukuran-ukuran tertentu untuk memastikan apakah dalam tubuh seseorang telah terpenuhi ukuran-ukuran nark*tika yang dikategorikan sebagai seorang pengguna.”
3.    Pernikahan
a.     Bahwa prajurit/anggota TNI yang akan melangsungkan perkawinan, sesuai Peraturan Panglima TNI nomor : Perpang/11/VII/2007, harus mendapatkan izin dari atasan yang berwenang, dan bila seorang Prajurit akan melangsungkan perkawinan pertama dengan calon istrinya tanpa mendapat izin dari atasannya terlebih dahulu, tidak berarti prajurit tersebut telah melanggar Pasal 103 Ayat (1) KUHPM, yakni militer yang dengan sengaja tidak menaati perintah dinas, karena berdasarkan Peraturan Panglima TNI tersebut, perkawinan pertama tanpa izin komandan satuan, dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin atau bukan merupakan suatu tindak pidana.”
b.    “Bahwa apabila seseorang sebelum masuk menjadi prajurit/anggota TNI melakukan perkawinan pertamanya secara kawin siri, perkawinan tersebut tidak dianggap memenuhi syarat formil dalam hukum administrasi personil TNI, dan apabila setelah menjadi prajurit/anggota TNI melangsungkan perkawinan kedua menurut agama dan atas izin atasan yang berwenang, perkawinan terdahulu (perkawinan siri) bukan merupakan penghalang (melanggar Pasal 279 KUHP) baginya, karena perbuatan melangsungkan perkawinannya sebelum masuk menjadi prajurit TNI, dan selanjutnya bila prajurit TNI tersebut melangsungkan perkawinan secara sah menurut agama dan Satuan, prajurit tersebut tidak dapat dipersalahkan melanggar Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHP tetapi perbuatan telah melanggar hukum administrasi personil dan secara administrasi harus diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas keprajuritan.”
c.     “Bahwa perbuatan seorang prajurit yang melangsungkan perkawinan secara siri lebih dari 1 (satu) kali (tanpa dicatat oleh pejabat yang berwenang), perkawinan-perkawinan siri yang telah dilakukannya tersebut harus dipersalahkan melanggar Pasal 279 Ayat ke-1 KUHP. Melakukan perkawinan-perkawinan siri harus dianggap perkawinan tersebut sah secara agama Islam dan apabila perkawinan-perkawinan siri tersebut dapat dibuktikan di pengadilan maka putusan Pengadilan harus menganggap bahwa telah terjadi kawin ganda yang tidak dibenarkan dalam kehidupan prajurit TNI, dan prajurit tersebut harus diberhentikan dari dinas keprajuritan/dipecat.”
4.    Ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
Dalam hal seorang Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan pertama melanggar Pasal 281 ke-1 KUHP, atau Kedua melanggar Pasal 284 Ayat (1) ke-1 huruf a KUHP. Terhadap perkara tersebut dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi, untuk diperiksa dan diputus kembali oleh Majelis kasasi meskipun Judex Facti menyatakan Terdakwa terbukti melanggar dakwaan kedua Pasal 284 Ayat (1) ke-1 huruf a KUHP yang ancaman hukumannya paling lama 9 (sembilan) bulan, karena dalam hal perkara in casu, ada kemungkinan Judex Facti salah dalam menerapkan hukum.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan dan bandingkan kedua contoh pasal KUHP berikut:
Pasal 281 Ayat (1): “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;”
Pasal 284 Ayat (1): “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Dalam contoh diatas, sesuai kaidah dalam rumusan SEMA tersebut, jika Pengadilan Negeri/Tinggi menjatuhkan amar putusan pidana penjara 9 (sembilan) bulan, maka ternyata Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat memilih dakwaan alternatif dengan ancaman pidana yang lebih berat, yakni sebagai contoh, Pasal 281 Ayat (1): “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Sebenarnya kaidah dalam rumusan SEMA tersebut tumpang tindih dengan SEMA-SEMA sebelumnya yang diterbitkan oleh MA RI sendiri pada tahun 2012 dan tahun 2014.
5.    Kesusilaan
a.     “Bahwa apabila seorang prajurit yang telah beristri melakukan perzinahan dengan seorang prajurit perempuan/WANTNI dan bila kemudian istri prajurit tersebut mengadukan prajurit perempuan tersebut / WANTNI tersebut kepada pihak yang berwenang, dan kemudian dipidana, bila terjadi pencabutan pengaduan oleh istri prajurit yang mengadukan semula, tidak menjadikan perkara prajurit pria tersebut dihentikan, tetapi harus tetap dilanjutkan, karena kedua perkara tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisahkan.”
b.    “Komitmen Panglima TNI terhadap pelanggaran kesusilaan yang melibatkan Keluarga Besar TNI (KBT) yakni antara sesama prajurit TNI, dengan isteri anggota TNI, dengan anak anggota TNI, yang tertulis dalam Surat Telegram Panglima TNI adalah menjatuhkan hukuman yang berat dengan pemecatan dari dinas militer. Surat Telegram tersebut merupakan kebijakan dalam pembinaan prajurit di kesatuan, bukan merupakan landasan hukum untuk menghukum Tedakwa atau sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan pidana tambahan pemecatan di Pengadilan. Oleh karenanya Terdakwa yang melakukan tindak pidana susila dengan Keluarga Besar TNI tidak serta merta harus dijatuhi pidana tambahan pemecatan tetapi dilihat semuanya secara kasuistis.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Dalam doktrin dan praktik hukum di Negara Uni Eropa, konsep hukum yang bersifat “kasuistis” telah lama dikenal dan dipraktikkan oleh Pengadilan Uni Eropa. Konsep melihat hukum secara kasuistis, dikenal dengan istilah “the margin of  appreciation”.
E.   RUMUSAN HUKUM KAMAR TATA USAHA NEGARA
1.    Tentang Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan ke PTUN
Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung “sejak yang bersangkutan merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tata usaha negara tersebut: diubah menjadi dihitungsejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya.”
2.    Tentang Keputusan Hasil Uji Kemampuan dan Kelayakan (Fit and Proper Test)
Keputusan hasil fit and proper test merupakan keputusan tata usaha negara, akan tetapi Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk menguji keputusan tersebut karena:
-        Keputusan tata usaha negara tersebut diterbitkan utusan tata usaha negara tersebut diterbitkan oleh lembaga independen, dan
-        Substansinya tidak hanya berisi tindakan hukum semata akan tetapi juga aspek-aspek lain non hukum seperti moralitas, profesionalitas, akademis, integritas, rekam jejak (track record) dan prinsip kehati-hatian.”
3.    Tentang Legal Standing dalam Sengketa Tata Uasha Negara Pemilihan
Yang mempunyai Legal Standing untuk mengajukan gugatan adalah:
a.    Peserta yang dinyatakan tidak lolos sebagai pasangan calon;
b.    Peserta yang lolos dan telah ditetapkan sebagai pasangan calon akan tetapi masih mempersoalkan pasangan calon lain, karena pasangan calon yang dimaksud tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon.”
4.    Tentang Sumpah Ditemukannya Bukti Baru (Novum)
Dalam hal permohonan peninjauan kembali dalam sengketa Tata Usaha Negara didasarkan karena adanya novum, yang disumpah adalah pihak yang menemukan novum atau Pemohon Peninjauan Kembali.”
5.    Tentang Pengajuan Peninjauan Kembali
Lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biaya yang dapat diajukan hanya satu kali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, namun dalam hal terdapat dua putusan Peninjauan Kembali yang saling bertentangan terhadap satu objek sengketa yang sama dapat diajukan permohonan peninjauan kembali untuk membatalkan putusan peninjauan kembali yang kedua, karena dalam sengketa tata usaha negara menganut asas erga omnes sehingga peninjauan kembali yang kedua itu tidak diperlukan lagi.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Banyak terjadi, terbit dua sertifikat hak atas tanah atas satu bidang tanah yang sama. Kedua pihak yang merasa berhak atas tanah tersebut masing-masing bersikeras mengaku sebagai pemilik berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga terdapat dua putusan pengadilan yang telah inkracht namun dengan dua nomor perkara yang saling berbeda, sehingga timbul persoalan, putusan mana yang bisa dieksekusi bila masing-masing saling bertentangan/tumpang-tindih.
Oleh sebab itu, para pihak yang memiliki putusan yang telah inkracht tersebut dapat mengambil jalan tengah dengan mengajukan Peninjauan Kembali terhadap kedua putusan yang telah inkracht tersebut agar terbentuk kepastian hukum bagi masing-masing pihak.
Demikian hasil rumusan Rapat Pleno berbagai Kamar Mahkamah Agung RI yang telah disepakati dan ditandatangani oleh seluruh anggota kamar.
Sebagian substansi SEMA tersebut diatas patut mendapat apresiasi karena terobosan yang coba diangkat, dirumuskan, dan disepakati. Namun berbagai kecerobohan dalam penafsiran hukum ternyata luput dari pengamatan para Hakim Agung, sehingga mengulang kekeliruan yang sama seperti SEMA-SEMA sebelumnya.
Terdapat kesan rapat pleno dilakukan tanpa persiapan, tanpa inventarisasi masalah hukum yang demikian masif namun tidak tersentuh dalam hasil rumusan rapat pleno MA RI. Dengan demikian dapat pula kita asumsikan, Mahkamah Agung RI tidak pernah mendokumentasikan ataupun menginventarisir berbagai permasalahan hukum laten yang selama ini menjadi polemik dalam teoretis maupun praktik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.