Ketika Korban Menjadi Pelaku dalam Perspektif Psikologi Hukum

ARTIKEL HUKUM
Seorang Terdakwa kasus pemerk0saan anak dibawah umur, kini resmi menjadi Terpidana dalam dua putusan terpisah, yang konon telah memerk0sa 48 anak di Kediri, dan anak-anak lain di Tulungagung yang masih belum disidik.
Pelaku adalah seorang pengusaha, dimana sang terdakwa oleh hakim dinyatakan terbukti melakukan tipu muslihat serta serangkaian kebohongan dengan sadar dan sengaja sehingga terjadinya perset*buhan dengan anak dibawah umur.
Meski stelsel hukum pidana di Indonesia tidak menganut sistem hukuman penjara secara akumulasi layaknya Amerika Serikat yang dapat men-total vonis hukuman hingga ribuan tahun terhadap seorang terpidana, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media massa, namun Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, dimana sebelumnya Pengadilan Negeri Kota Kediri menjatuhkan vonis 9 tahun penjara terhadap pelaku.
Terdapat rumor, pelaku membujuk rayu calon korban dibawah umur dengan menggunakan perantara yang juga adalah anak dibawah umur. Siapakah perantara tersebut? Dikabarkan, sang perantara berjumlah dua orang gadis, yang kini merupakan siswi pada bangku SMP, dimana keduanya ketika duduk dibangku Sekolah Dasar juga merupakan korban pencab*lan pelaku.
Anehnya, kedua korban tersebut kini menyatakan dirinya jatuh cinta pada pelaku, sehingga rela menjadi perantara bagi pelaku untuk menjerumuskan gadis-gadis belia lain ke dalam jeratan pelaku.
Mengapa korban bisa menjelma menjadi pelaku turut serta? Apakah ini fenomena baru?
Suatu kejadian irrasional, ketika korban menjelma pelaku, telah lama dikenal dalam ilmu victimologi, kriminologi, maupun ilmu psikologi, yang mana hingga kini masih menjadi objek telaah yang kontroversial, namun real dan kerap kali ditemukan tinggi prevalensinya.
Ditemukan fakta, pelaku sod*mi kerap kali merupakan korban sod*mi pada masa belia, yang ketika tumbuh menjelma dewasa, berangsur-angsur menjelma terjadi perubahan mental dari korban menjadi pelaku.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah medis sebagai “syndrome stockholm”. Sebagaimana namanya, fenomena ini pertama kali disadari pada kasus penculikan dan pemerk*saan terhadap seorang gadis bangsawan di Stockholm. Keluarga sang gadis terbunuh oleh gerombolan penyamun tersebut.
Beberapa waktu kemudian, gerombolan penyamun tersebut kembali beraksi, merampok dan membantai warga, dimana pihak berwajib kemudian menemukan fakta mengejutkan: salah satu anggota penyamun yang menyerang warga adalah sang gadis yang dahulu merupakan korban penculikan dan pemerk*saan sang gerombolan.
Syndrome Stockholm” sukar untuk dijelaskan tanpa bantuan disiplin ilmu neurosains yang mengupas struktur fungsi dan anatomi otak. Tanpa terlampau jauh membahas neurosains, artikel ini akan membahas peran hukum dalam persepsi psikologi hukum.
Sedikit menyinggung perihal neurosains, peneliti menemukan sebuah keunikan perilaku yang disebut sebagai “anjing Paflov”. Berikut kisahnya: suatu ketika sang majikan memberi makan anjing peliharaannya sambil mendentingkan suara gemerincing. Hal tersebut terus dilakukan, hingga suatu ketika, tanpa makanan disuguhkan dalam kotak makan sang anjing, anjing tersebut meneteskan air liur ketika bunyi gemerincing didentingkan.
Prinsip yang sama dilakukan dalam mendidik anjing dalam membuang kotoran, sistem reward and punishment. Hewan sejatinya dalam ranah tertentu tidak jauh berbeda dengan manusia perihal perilaku, mengingat otak limbik pada manusia adalah peninggalan evolusi itu sendiri.
Kembali pada persoalan “mengapa korban dapat menjelma menjadi pelaku?” Jawaban atas pertanyaan klasik tersebut mungkin dapat kita temukan pada pertanyaan berikut ini: “Apakah masih dapat disebut hukum bila hukum tidak dapat mengajarkan rasa sakit pada pelanggarnya?”
Dalam skala tertentu, hukum menjadi standar moral itu sendiri, bila alam sadar maupun alam bawah sadar serta nalar tidak mampu menjangkau kejadian yang menimpanya namun tidak mampu ditafsirkan secara memadai oleh si penderita. Dengan kata yang lebih sederhana, si korban tidak dapat menerjemahkan derita yang diterimanya, tidak mampu menjangkaunya secara akal sehat, dan memilih untuk menerima perbuatan tersebut agar tidak timbul luka batin yang lebih jauh.
Teori ini memang dibangun atas dasar asumsi, asumsi mana dapat kita rasakan sendiri ke-relevan-nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebuah psikologi dikabarkan pernah menerbitkan sebuah hasil riset, dimana anak-anak sekolah dasar yang lebeih pandai memahami serta mengidentifikasi perasaan mereka sendiri cenderung mempunyai karakter yang lebih solid.
Cobalah kita mengevaluasi kembali kejadian-kejadian tidak adil memerihkan yang pernah menimpa kita. Kemarahan serta luka batin akan menjelma “infeksi” karena ketidakberdayaan kita untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Sebagian orang akan memilih untuk melupakannya dan melanjutkan hidup. Namun sebagian orang lainnya gagal untuk menerjemahkan kejadian yang menimpanya, dan melihat pelaku tetap melenggang tanpa suatu standar moral yang jelas. Dalam taraf ini, terjadi bias dan pergeseran standar moral pada diri sang korban.
Seseorang yang tengah kebingungan, membutuhkan pegangan hidup. Dan ketika ia tidak menemukan pegangan itu, ia akan terseret oleh arus moralitas yang ada di lingkungannya. Inilah sebabnya lingkungan pergaulan demikian signifikan membentuk pola karakter.
Dalam ilmu psikologi, alam bawah sadar akan terbuka bagi sugesti ketika sang subjek berada dalam beberapa kondisi spesifik, antara lain: sang subjek yang sedang terkejut, atau subjek sedang dalam kondisi pikiran kosong, kenyang sehabis makan, atau ketika habis bangun tidur. Mungkin “syndrome stockholm” bermain dalam ranah keterkejutan korban yang berujung pada perubahan alam bawah sadar.
Seorang suami pelaku KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) terhadap sang istri, besar kemungkinan sang suami memiliki rasa amarah yang tidak terlampiaskan kepada ibunya—kemarahan mana kemudian dilampiaskan kepada istrinya sendiri. Alam bawah sadar acapkali mengambil kendali dan mengecoh alam sadar seseorang lewat mekanisme manipulatif internal diri seseorang, lewat berbagai pembenaran-pembenaran dan argumentasi-argumentasi yang terdengar logis bagi benaknya sendiri.
Apakah mungkin korban kemudian menjadi pelaku dilakukan atas latar belakang kemarahan sehingga hendak membuat orang lain juga mengalami derita yang sama dengan dirinya seperti yang dilakukan para pelaku bully-ing? Perploncoan adalah salah satu masalah klasik yang tidak akan putus bila perploncoan itu sendiri tidak secara tegas dinyatakan sebagai perbuatan yang tidak dapat dibenarkan secara etika maupun moralitas oleh komunitas masyarakat itu sendiri. UPDATE: Kini Kementerian Pendidikan telah melarang bentuk-bentuk perploncoan, dimana masa orientasi telah tegaskan sebagai beban tanggung jawab guru, bukan sesama siswa yang menonjolkan senioritas.
Dalam berbagai jurnal riset bidang neurosains yang penulis himpun, terdapat fakta mengejutkan atas berbagai eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh kalangan ilmuan, bahwa manusia memiliki potensi laten untuk mengelabui dirinya sendiri oleh berbagai pembenaran-pembenaran yang diolah oleh belahan otak kiri manusia yang bertanggung jawab atas fungsi logika dan bahasa.
Dalam eksperimen, peniliti memberikan setumpuk kartu yang kemudian diperlihatkan kepada seorang subjek. Kartu-kartu tersebut menggambarkan aktifitas kehidupan sehari-hari. Ketika sang peneliti menunjukkan kartu-kartu yang dahulu pernah diperlihatkan, dan menyelipkan beberapa kartu baru yang sebelumnya tidak pernah dipertunjukkan padanya, sang subjek menyatakan semua kartu tersebut pernah diperlihatkan kepadanya dahulu kala—meski senyatanya tidak.
Sebagian besar dari kita berupaya keras memaksakan sugesti-sugesti dan logika-logika pembenaran diri, meminjam istilah kalangan ilmuan neurosains, yang disebut sebagai “rasionalisasi” diri. Kita sangat pandai mengenai hal tersebut, tanpa pernah kita sadari.
Sebagian besar manusia digerakkan oleh asumsi, bukan oleh fakta. Meski fakta menyatakan diri seseorang adalah korban, namun sang korban dapat jatuh pada spekulasi bahwa mungkin benar perkataan sang pelaku bahwa pelaku mencintai korban. Korban menjatuhkan harapan pada asumsi tersebut, dan meyakini kebohongan tersebut sebagai kebenaran guna menutupi luka batin. Berbagai pertanyaan dalam batin bagaikan duri dalam daging yang perih, oleh karenanya perlu diakhiri sesi pertanyaan-pertanyaan diri tersebut dengan membuat asumsi dan bergantung pada asumsi tersebut. Sebuah self defence mechanism.
Tanpa membahas terlampau jauh dalam ranah neurosains, dispilin ilmu masa depan sebagai evolusi psikologi hukum modern, kita akan menitik-beratkan pada fungsi hukum untuk mencegah euforia “stockholm syndrome”.
Pada penegak hukum kerap kali dibuat repot oleh berbagai kejahatan yang tiada habisnya, bagaikan menjamur di musim hujan yang tak berkesudahan. Bukan hanya penegak hukum, dalam dunia politik pun kita kerap dikejutkan oleh terpilihnya kembali pejabat daerah yang sebelumnya pernah divonis bersalah karena korupsi—dan sang pemilih adalah masyarakat itu sendiri!
Ketika seseorang menjadi korban suatu kejahatan, dirinya sedang mamasuki taraf/fase “rapuh”. Fase ini demikian kritis dan krusial, karena secara laten dapat melahirkan benih anomali mental yang dapat tumbuh dikemudian hari tanpa disadari lingkungan bahkan oleh dirinya sendiri. Bagaikan sel tumor atau autoimun yang menjelma sindrom lupus.
Dalam taraf “rapuh”, seseorang membutuhkan pegangan atau rambu “standar moral”, dan ketika standar moral ini tidak didapatkan sebagaimana mestinya dari lingkungan komunitasnya sendiri, hukum negara perlu dan wajib menampilkan supremasinya dengan menghukum sang pelaku.
Mengapa demikian? Karena dengan demikian sang korban akan melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa perbuatan pelaku yang diganjar sanksi pidana dinyatakan sebagai perbuatan tak bermoral dan tak patut. Itulah standar moral yang dapat dijadikan pegangan oleh korban!
Kelemahan utama sistem pemidanaan di Indonesia, atau mungkin juga di negara-negara lain, ialah hanya semata dalam amar putusan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah memerk*sa anak dibawah umur, dan penjara selama sekian tahun. Selesai, tidak ada pernyataan moral apapun secara eksplisit dari putusan tersebut.
Mungkin akan berbeda bila putusan juga menyatakan dalam amar putusan, bahwa perbuatan Terdakwa adalah tidak patut, tercela, tidak wajar, tidak manusiawi, tidak bermartabat, dsb. Hukum telah menjelma demikian mekanistis layaknya robot yang menerima input lalu mengeluarkan output—keringnya sentuhan “manusiawi” di dalamnya. Melakukan demikian maka penjara sekian tahun. Program demikian terus berlangsung hingga saat kini.
Adalah sebuah kemunduran atas berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan seorang bekas Terpidana mencalonkan kembali dirinya sebagai kepala daerah, apapun alasannya. Akan lebih parah lagi, secara mental psikologi masyarakat, jika mantan Terpidana tersebut mengakui dan menyatakan bahwa dirinya benar pernah mendekam di penjara namun kini hendak kembali ikut Pilkada, sebagaimana disyaratkan Mahkamah Konstitusi RI, dan masyarakat melihat serta mendengar praktik demikian, akan lahir dan terbentuk mindset sugesti baru dalam alam bawah sadar masyarakat luas: korupsi itu tidak se-memalukan itu rupanya. Standar moral baru terbentuk secara sempurna dalam fase final indoktrinasi secara implisit ini.
Itulah sebabnya, hukum itu sendiri dalam praktik peradilan menjadi biang keladi utama merosotnya standar moral masyarakat, membiasnya mana yang baik dan mana yang buruk.
Masyarakat akan menjadi tidak malu akan aksi koruptif, bahkan dengan bangga dipertontonkan, dan meyakini bahwa tindakan koruptif tidak sedemikian fatalnya. Toh buktinya Mahkamah Konstitusi selaku penjaga moral konstitusi menyatakan bahwa mantan pelaku kejahatan boleh mengajukan diri kembali dalam Pemilukada asalkan sang calon menyampaikan pada publik perbuatan kriminilnya tersebut dahulu kala.
Kembali pada kasus “korban yang menjelma mucikari”, mengapa fenomena demikian dapat terjadi?
Hingga kini, “vaksin” dalam ranah hukum tampaknya belum menemukan solusi sejak kejadian di Stockholm terjadi berabad-abad lampau. Sebuah kegagalan fungsi hukum? Tampaknya yang menjadi jawaban untuk itu ialah: Ya.
Adalah naif bila semua hal ditumpukan kepada sendi-sendi hukum negara tanpa melibatkan sendi-sendi primer kehidupan masyarakat itu sendiri seperti peran teladan tokoh masyarakat, guru, orang tua, panutan seorang senior, dsb.
Kembali pada konsep ilmu psikologi, seorang remaja gadis belia dan memiliki wajah alami yang menawan, karena kurangnya perhatian orang tua dan pengakuan lingkungan sekitar, akan berani untuk mengekspos diri dalam dunia digital dengan penampilan menor dan seronok demi mengundang perhatian dan pengakuan diri.
Mungkinkah pelaku mucikari yang sebetulnya korban tidak mendapat perhatian dan pengakuan dari lingkungan primer tempat ia tumbuh besar sehingga memilih untuk menaruh segenap keyakinan dirinya kepada sang pelaku?
Hubungan emosi dan mental antar anggota masyarakat maupun internal pribadi itu sendiri bersifat metafisika: tampak tak ada namun senyatanya ada bagaikan medan magnet yang sebenarnya masih dapat di-"raba" lewat kajian ilmiah. Benang-benang relasi, hubungan persahabatan, permusuhan, kerja sama, emosi penipuan, perampokan, dan segala jenis hubungan hukum antar manusia, sejatinya berdiri diatas fondasi tak tampak bernama: psikologi masyarakat itu sendiri.
Hukum tidak akan dapat berhasil menghadapi lawan yang “tidak tampak” demikian tanpa menyadari kebutuhannya dan dengan segala kerendahan hati mengakui urgensi bantuan dispilin ilmu lain untuk men-support-nya dengan segala daya. Di Indonesia sendiri, sarjana hukum yang menekuni spesialisasi bidang dispilin ilmu psikologi hukum amatlah langka. Jika demikian, siap-siaplah kita menemui kegagalan hukum yang kian kompleks menjelma benang kusut.
Bagaimana menurut pendapat Anda?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.