Hukum Bukan Cermat Mengkritisi dan Menghukum Pihak Lain, Namun Diri Sang Pengemban Hukum Itu Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini berita menyiarkan sebuah insiden, dimana seorang pria hendak memberitahu orang lain bahwa ada kereta yang akan melintas, namun malang, pria itu sendiri yang kemudian tertabrak kereta karena dirinya sendiri ternyata tidak memperhatikan keberadaan dirinya terhadap laju kereta.
Kejadian demikian mengingatkan penulis pada peristiwa tiga orang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang justru terjerat hukum (setidaknya sempat dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum di hadapan persidangan) akibat mengadvokasi dan turut serta dalam aksi demonstrasi dengan para buruh yang menolak keberlakuan peraturan pemerintah tentang pengupahan, yang mana demonstrasi menjelma ilegal karena telah melangkah keluar dari prosedur hukum yang berlaku, sehingga ketiga pengacara publik tersebut terancam pidana bersama beberapa buruh yang dinilai sebagai provokator.
Teringat pula pada nasib pangacara senior, OC Kaligis, yang demikian sibuk mengurusi masalah orang lain sementara dirinya sendiri tidak memperhatikan masalah dirinya dirinya sendiri (yakni tidak menata dan menjaga standar etik dan moral dirinya sendiri sehingga kemudian berpraktik menyimpang tanpa suatu kaidah rambu bagi tindak-tanduknya)—kesibukan mana justru menuai petaka bagi karirnya, rusak dan roboh dalam sekejap mata.
Terkadang, membela “mati-matian” secara membuta membuat kita benar-benar buta dalam arti sesungguhnya, yang mana juga kerap kali kita sesali dikemudian hari. Entah benar, entah salah, yang penting korps kita bela—itulah yang disebut semangat dengan pikiran yang picik dan sempit.
Menjadi teringat pula pada nasib Galileo Galilei dan Copernicus, yang menghadapi hukuman gantung dari mereka yang membela secara membuta hukum suatu golongan agama. Tidak terkecuali ormas-ormas keagamaan saat ini yang menjelma diktator yang tidak dapat salah—siapapun yang bersikap seperti apapun asalkan membawa-bawa nama agama maka menjadi tidak pernah salah (anti kritik). Inilah yang disebut sebagai hukum “rimba”.
Hukum negara seakan tertutup oleh kabut tebal bernama “hukum rimba” ini. Pembiaran demikian membuat otoritatif dari hukum negara menjadi tereduksi secara makna simbolis maupun secara sosiologis di mata masyarakat. Bila hukum negara dapat diuji-materil, hukum rimba berlaku aturan "siapa mayoritas, dia yang menang". Disaat bersamaan, kemunduran negara berhukum sejatinya telah terjadi secara masif bagaikan sendi-sendi negara hukum yang kian mengeropos.
Hukum bersifat murni, namun tidaklah naif. Tujuan dalam realisasinya, sebaik apapun itu tujuannya, bila dilakukan dengan cara yang keliru atau tidak benar, maka dapat kita katakan hal tersebut bukanlah merupakan hukum, karena hukum bebas dari anasir kepentingan, dan hukum tidaklah naif. Hukum harus selangkah lebih cerdas dari pelaku yang munafik.
Kembali pada kisah pria yang hendak mengingatkan orang lain bahwa kereta akan melintas namun ternyata dirinya sendiri yang menjadi abai, sehingga terlindas kereta, merupakan kisah sederhana bagaimana setiap warga negara selaku pengemban hukum seyogianya menempatkan diri dalam pergaulan masyarakat.
Negara hukum bukan dibangun oleh mereka dengan gelar sarjana hukum, bukan pula oleh aparatur penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. Namun oleh segenap warga masyarakat Indonesia secara sinergi. Melempar semua tanggung jawab memelihara sendi-sendi negara hukum ke pundak kalangan hukum, sama artinya masyarakat telah tidak bertanggung jawab atas harkat dan martabatnya sendiri—sejatinya mereka telah merendahkan martabatnya sendiri di mata hukum.
Ketika seseorang hendak menjadi “pahlawan kesiangan”, sejatinya dirinya berdiri pada suatu zona asumsi, asumsi bahwa dirinya sedang/telah/selalu benar atau bahkan tidak pernah salah. Bahwa sang pria sedang/telah/selalu benar sehingga merasa perlu dan benar pula untuk memperingatkan orang lain akan bahaya kereta, namun dirinya menjadi lalai untuk menyimak posisi dirinya sendiri.
Begitupula ormas-ormas keagamaan yang demikian beringas dan menakutkan, seakan mereka tidak pernah salah dan adalah salah bila kita menegur mereka sebagai salah. Pihak yang menegur mereka berarti dinilai sebagai melawan kebenaran, karena mereka mengidentikkan diri mereka dengan kebenaran. Dan yang melawan kebenaran ialah kejahatan. Ketika seseorang mengidentikkan dirinya dengan "benar", maka pribadi tersebut tidak lagi dapat tertolong.
Hukum, menghindari diri dari pandangan fatalistis “hitam-putih” demikian, dengan tetap menyisakan ruang “abu-abu” sebagai zona introspeksi. Hukum bukanlah instrumen fatalistis. Hukum dapat mengakui dirinya salah dengan melakukan langkah korektif berupa upaya hukum praperadilan, banding, kasasi, peninjauan kembali, perubahan undang-undang, grasi, dsb.
Semua gambaran sederhana ini, disebut sebagai suatu contoh “budaya hukum”. Sejatinya bila “budaya hukum” ini sehat, tidak dibutuhkan seperangkat “struktur hukum” maupun “substansi hukum” yang kompleks.
Jika kita kilas balik sejarah hukum di Indonesia, tiga puluh tahun lampau peraturan perundang-undangan di Indonesia tidaklah “semeng-guritanya” seperti perangkat dan substansi hukum yang demikian canggih, masif, dan bagaikan hutan-belantara sehingga kalangan sarjana hukum itu sendiri akan bingung atas masifnya peraturan perundang-undangan di Indonesia belum lagi diperkeruh praktik putusan pengadilan yang tidak konsisten antar satu putusan dengan putusan lain meski menyinggung persoalan yang serupa dan aturan tertulis yang sama.
John Stuart Mill dalam bukunya On Liberty, mengingatkan kita akan bahaya laten asumsi: saya tak dapat salah. Mill mengupas bahaya laten dibalik asumsi yang diwariskan manusia primitif zaman purbakala demikian. Keyakinan fatalistis yang terbukti akan menyakiti warga lain maupun dirinya sendiri. Untuk itu Mill menawarkan sebuah postulat, yakni: saya dapat dan mungkin saja salah, jadi saya selalu membuka peluang akan kemungkinan telah dan sedang berbuat salah.”
Jika saja kalangan hukum memberi contoh teladan yang baik dengan sikap “mawas diri” (dalam bahasa Jawa disebut sebagai “Eling”), yang berarti waspada terhadap perilaku diri sendiri sebelum mempermasalahkan terlebih mengurusi perilaku pihak lain, maka sejatinya penjara tidak akan sepadat seperti sekarang ini.
Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang luar biasa, sehingga adalah tidak logis bila Warga Negara Indonesia melangsungkan hidup dengan merampas hak warga negara lain. Adalah bentuk kegagalan budaya hukum pada sendi-sendi struktur hukum itu sendiri yang menjadi biang keladi keruhnya fenomena sosial dan kriminalitas di Tanah Air.
Bila Lawrence Fiedman membagi sistem hukum sebagai Substansi Hukum (peraturan perundang-undangan maupun praktik peradilan), Struktur Hukum (disimbolikkan dengan aparatur penegak hukum maupun sarana dan prasarana hukum), serta budaya hukum (pola perilaku setiap warga negara dalam menghayati hukum yang mengatur pergaulan masyarakat), maka penulis melihat jejaring sistem hukum setidaknya ialah:
-        Substansi hukum;
-        Substansi hukum pada struktur hukum (hukum yang mengatur gerak-gerik dan motorik dari struktur hukum, termasuk didalamnya diskresi pejabat negara);
-        Substansi hukum pada budaya hukum (hukum kebiasaan di tengah masyarakat, hukum (yang dibentuk oleh) komunitas, hukum tak tertulis, dsb);
-        Struktur hukum;
-        Struktur hukum pada substansi hukum (regulator, baik parlemen, akademisi penyusun naskah akademik, lembaga eksekutif yang menyusun peraturan perundang-undangan);
-        Struktur hukum pada budaya hukum (petugas kelurahan, RT/RW, kepala desa, penyuluhan hukum, lembaga pemasyarakatan);
-        Budaya hukum;
-        Budaya hukum pada substansi hukum (acapkali persepsi hakim ketika memutus dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum, dimana budaya praktik koruptif bisa jadi menjadi sponsor dibalik terbitnya suatu peraturan perundang-undangan); serta
-        Budaya hukum pada struktur hukum (perilaku aparat penegak hukum tidak jarang justru menjadi agen penyalahguna hukum dan kewenangan lewat berbagai pungutan liar, pemerasan, penelantaran, dsb).
Indonesia amat kaya akan teori dan buku-buku teks hukum. Secara kasat mata kita dapat melihat jumlah terbitan buku pendidikan perguruan tinggi yang beredar di pasaran, perpustakaan hukum yang penuh dengan ribuan judul buku hukum, rasio memperlihatkan bagaimana buku-buku teks hukum menepatkan diri sebagai posisi pertama jumlah terbitan dan memakan rak pada konter displai dengan jumlah terbitan yang tinggi. Begitupula penerbit-penerbit khusus buku hukum di Tanah Air yang demikian banyak. Mengapa tidak membawa korelasi terhadap pertumbuhan indeks kesadaran hukum?
Kesadaran hukum berbeda dengan eforia hukum. Eforia hukum diilustrasikan dengan kalangan masyarakat yang mengutuk habis pemberitaan tertangkapnya koruptor, sementara dalam praktik realitanya para penonton yang sibuk berkomentar itu sendiri melakukan praktik-praktik koruptif dikeseharian. Bagaikan pemain sepak bola yang tidak ribut, namun suporter serta manajemennya yang sibuk berkelahi.
Kesadaran hukum lebih kepada praktik mawas diri. Kesadaran hukum dan eforia hukum adalah salah satu contoh budaya hukum di tengah masyarakat. Eforia hukum jamak kita jumpai, namun tidak untuk kesadaran hukum. Kalangan profesi hukum sibuk dan lantang berdebat dan berceloteh, cerminan eforia hukum semata.
Secara sederhana, negara-negara dengan indeks kebahagiaan tinggi seperti Srilanka, memiliki substansi hukum dan struktur hukum yang amat sangat minim, namun kaya akan budaya hukum yang sehat. Mengapa dan apa yang menjadi budaya hukum negara-negara tersebut? Yakni budaya hukum mawas diri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.