Hingga Taraf Tertentu, Hukum dapat Ditegakkan dengan Cara Melanggar Hukum

ARTIKEL HUKUM
Apakah hukum dapat ditegakkan dengan cara melanggar hukum? Apakah alat bukti dapat diperoleh dengan cara ilegal?
Untuk menjawab pertanyaan klasik tersebut, dapat kita bertanya kembali, apakah memenjara seorang terpidana yang juga merupakan seorang manusia adalah perbuatan yang melanggar konstitusi dengan alasan telah merampas kemerdekaan warga negara?
Mengapa pelaku kejahatan dan korupsi dipidana penjara? Karena mereka telah melanggar hak pihak lain, sehingga hukum akan menyeimbangkan dengan cara merampas hak dari pelaku. Falsafah hukum ini mendasar, induk dari segala asas hukum umum yang berlaku universal, dan falsafah ini juga dapat kita jumpai pada sendi hukum perdata.
Saat ini seorang mantan ketua DPR yang dikenal dengan julukan “papa minta saham” mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI dengan alasan bukti rekaman suara dimana dirinya ditengarai mencatut nama presiden demi kepentingan pribadi yang dijadikan alat untuk “menjatuhkan” ataupun mengancam sanksi pidana terhadap dirinya diperoleh oleh suatu pihak tanpa izin dari si “papa minta saham”. Tindakan Setya Novanto mengajukan uji materiil membenarkan spekulasi bahwa dirinya memang telah mencatut nama kepala negara demi kepentingan tertentu.
Jelas semua pelaku korupsi tidak sudi direkam aksi pemerasannya. Akan tetapi, pelaku kejahatan tidak berhak bicara terlebih menuntut hak privasi, karena ketika ia merenggut hak pihak lain, sejatinya berlakukah falsafah hukum: hak dan kewajiban tiap warga negara adalah seimbang dan setara, sehingga ketika hak salah satu pihak menjadi timpang, maka hukum akan menyeimbangkan hak tersebut. Ketika ia melanggar hukum, maka disaat bersamaan ia telah mencabut perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepadanya.
Artinya, sang “papa minta saham” telah memperkaya dirinya dengan hak-hak secara ilegal, sehingga hak atas privasinya pun dilepas secara bersamaan secara implisit.
Ingat, tangan kita hanya ada dua, kita tak dapat memegang semuanya secara rakus atas setiap previledge yang diberikan negara. Undang-undang sendiri secara hemat dan efesien melindungi pihak-pihak yang hanya beritikad baik. Untuk mengambil hal lain, kita harus melepas apa yang saat ini ada di genggaman tangan kita.
Bila uji materiil yang dimohonkan sang “papa minta saham” dikabulkan MK, maka semua pelaku korupsi bisa mendalilkan hal yang sama, yang sama klisenya dengan teriakan para pelaku kejahatan lainnya: kami punya HAM, dan rekaman KPK itu pun dilakukan tanpa izin dari saya! Senada dengan jeritan para pengedar nark*ba, bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Adalah tindakan pengecut dengan merampas hak hidup para korban nark*ba dan kemudian melindungi dirinya dengan dalil hak asasi. Mereka yang meremehkan dan menginjak hak asasi pihak lain, tidak berhak berbicara perihal hak asasi.
Mengapa penyidik tidak dibenarkan melakukan siksaaan psikis maupun fisik terhadap tersangka? Karena tersangka belum terbukti telah merampas hak pihak lain, sehingga hak-haknya masih utuh dan penuh, sehingga hak untuk tidak disakiti ataupun dianiaya masih melekat utuh pada sang tersangka. Namun ketika terbukti seorang warga negara melakukan korupsi ataupun pengedaran nark*tika, maka negara dapat merampas hak hidup pelaku karena imunitas untuk tidak dieksekusi telah raib dari pribadi warga negara tersebut. Itulah sebabnya, hukum mengenal istilah "pengemban hukum secara penuh", dimana kewajiban bersifat rigid sementara hak dapat teramputasi ketika perbuatan melanggar hukum dilakukan olehnya.
Sederhananya, ketika seseorang merampas hak pihak lain secara tidak patut terlebih secara melawan hukum, maka disaat bersamaan ia membuat rentan hak dirinya sendiri bagaikan kerang yang terbuka cangkangnya sehingga tiada lagi perlindungan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.