Hak Penemu suatu Desain Industri dalam Kaitan Hak Pihak yang Memfasilitasi Penemuan, Studi Kasus Hak Kekayaan Intelektual

LEGAL OPINION
Question:  Siapakah yang akan memjadi pemilik dari suatu penemuan desain industri, apakah karyawan yang menemukan desain tersebut ataukah pemberi kerja yang akan dinyatakan hukum sebagai pemilik hak atas desain industri tersebut?
Brief Answer: Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas (instansi pemerintah) dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan. Sementara jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja (sipil terhadap sipil) atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak. Demikian undang-undang telah mengatur. Namun SHIETRA & PARTNERS memiliki pandangan lain sebagaimana tertuang dalam sub bab kesimpulan di bawah ini.
PEMBAHASAN :
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Dalam perkara gugatan perdata khusus hak atas kekayaan intelektual jenis Desain Industri, sebagaimana diputus dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI register perkara Nomor 453 K/Pdt.Sus-HKI/2013 tanggal 30 Desember 2013, dalam sengketa antara:
-     PT. Perusahaan Gas Negara (Persreo) Tbk., selaku Pemohon Kasasi I / Termohon Kasasi II, dahulu Tergugat; melawan
-     M. Rimba Aritonan, selaku Termohon Kasasi I / Pemohon Kasasi II, dahulu Penggugat.
Sengketa bermula ketika Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat ke hadapan Pengadilan Niaga pada  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Penggugat mengklaim bahwa dirinya merupakan penemu “sock adaptor” yang terbuat dari besi, kuningan, atau alumunium / babet dengan beberapa jenis ukuran, yang pada pada tanggal 28 Agustus 2006 hasil penemuan tersebut telah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM RI dan telah diberikan Hak Desain kepada Penggugat tanggal dengan judul “Desain Sambungan Pelindung Pipa”. Atas dasar pendaftaran tersebut, sesuai dengan pengaturan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, maka Penggugat memiliki hak eksklusif atas kreasi desain tersebut untuk selama jangka waktu tertentu, guna melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
Tergugat telah mengetahui dan mengakui secara tersurat bahwa Penggugat adalah pemegang hak eksklusif tersebut, namun Tergugat dengan tanpa izin dari Penggugat telah memproduksi produk dengan desain tersebut untuk keperluan usahanya sendiri secara terus-menerus. Tergugat pun hendak membeli hak Desain Industri tersebut, namun Penggugat menolak tawaran tersebut.
Namun posisi Penggugat membuat daya tawar Penggugat lemah, mengingat hanya Tergugatlah pemakai satu-satunya atas desain sambungan pelindung pipa tersebut sehingga produksi dan penggunaan desain tersebut sangat tergantung pada permintaan atau order dari Tergugat.
Tergugat, dalam eksepsinya (tangkisan atas gugatan Penggugat) menyatakan terlah terjadi keliru kompetensi absolut yurisdiksi pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus, oleh sebab Penggugat meminta sejumlah nilai ganti rugi dalam gugatannya, dimana konsep mengenai permintaan ganti-rugi diajukan berdasarkan konsep Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUHPerdata yang merupakan perbuatan perdata yang bersifat umum dan tunduk pada hukum acara perdata biasa, sehingga pelanggaran terhadap ketentuan perdata yang bersifat umum seharusnya diajukan ke hadapan Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Niaga.
Tergugat juga mendalilkan bahwa gugatan Penggugat rancu (obscuur libel), karena telah mencampuradukkan konsep perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata dengan pelanggaran Desain Industri, yang mana keduanya adalah permasalahan hukum yang saling berbeda.
Tergugat mengutip pendapat Yahya Harahap yang menyatakan bahwa tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk kepada hukum acara yang berbeda, dimana meski antara gugatan terdapat hubungan erat, faktor ini harus disingkirkan apabila masing-masing gugatan tunduk pada ketentuan hukum acara yang berbeda.
Dikutip pula contoh bagaimana berbedanya hukum acara konsep KUHPerdata yang mengenal upaya hukum banding sementara sengketa HKI hanya mengenal upaya hukum kasasi. Selain itu, gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) atas pembatalan merek baru dapat diajukan ke hadapan Pengadilan Negeri setelah putusan pembatalan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dari Pengadilan Niaga.
Bila saat ini, yang terjadi ialah penggabungan antara pembatalan merek dengan gugatan gugatan PMH, yang dihadapkan kepada Pengadilan Niaga yang dipandang hanya berwenang sebatas untuk membatalkan merek saja.
Tergugat mengajukan pula gugatan balik (rekonvensi) terhadap Penggugat, dengan tujuan membatalkan hak Desain Industri milik Penggugat, dengan alasan tidak adanya kebaruan dalam desain yang diklaim dan diajukan oleh Penggugat ketika mendaftarkannya. Sehingga desain yang diklaim Penggugat dinilai tidak memenuhi adanya syarat kebaruan (novelty) dimana UU Desain Industri telah menegaskan bahwa Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
Pasal 12 UU Desain Industri menyatakan: “Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.”
Tergugat lantas mengajukan dalil pamungkasnya, dengan menyatakan bahwa desain industri sock adaptor yang didaftarkan oleh Penggugat sesungguhnya dibuat oleh Penggugat dalam dalam hubungan dinas dengan Tergugat dalam lingkungan pekerjaannya, dimana desain tersebut didaftarkan Penggugat selama Penggugat tercatat sebagai karyawan Penggugat sejak tahun 1965.
Lahirnya desain industri sock adaptor tersebut berawal dari adanya instruksi dari Direksi PGN dan ditindaklanjuti dengan penggambaran desain oleh karyawan PGN lainnya dan dirancang oleh Penggugat yang saat itu menjabat selaku kepala pelaksana teknis proyek di Sumut, maka secara hukum, seharusnya pemegang hak desain industri itu adalah Tergugat selaku pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan.
Oleh karenanya, Tergugat balik menyatakan bahwa tindakan Penggugat yang telah mendaftarkan Desain Industri sock adaptor tersebut pada tahun 2006, dinilai tidak beritikad baik, sehingga sertifikat Desain Industri tersebut patut dinyatakan cacat hukum.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberi putusan dalam Regiter Nomor 73/Desain Industri/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 3 April 2013 dengan amar putusan:
-        Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
-        Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menggunakan desain industri Penggugat pada kurun waktu Tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 tanpa ijin Penggugat;
-        Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat uang sejumlah Rp. 180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta Rupiah) secara tunai dan sekaligus;
-        Menolak tuntutan yang lain dan selebihnya.
Adapun pertimbangan hukum Pengadilan Niaga ketika memutus, tertuang dalam hlm. 53—54 putusan, dengan bunyi:
Menimbang, bahwa dari surat-surat bukti yang diajukan oleh para pihak beserta contoh fisik produk, Majelis berpendapat bahwa desain industri berupa sambungan pipa yang didaftarkan oleh Penggugat tersebut tidak sama dengan yang dikemukakan oleh Tergugat karenanya desain tersebut adalah baru.”
“... di dalam hukum desain industri hanya mengenai pengertian “sama”, oleh karena itu suatu desain yang tidak sama, meskipun ada kemiripan dengan desain yang sudah ada sebelumnya masih dapat dikategorikan sebagai desain yang baru.”
“Menimbang, bahwaa terhadap bantahan tersebut Majelis berpendapat bahwa hukum desain industri memang menekankan pada segi estetika bentuk atau konfigurasi desain, namun oleh karena di dalam sertifikat Desain Industri atas nama Penggugat tersebut telah disebutkan klaimnya adalah untuk bentuk dan konfigurasi meskipun kenyataannya juga memiliki tambahan fungsi sebagai pelindung sinar matahari, maka Majelis berpendapat adanya tambahan fungsi yang sedemikian rupa pada desain tersebut tidak menyebabkan suatu desain kehilangan hak atas desain industrinya.”
Merasa tidak puas, baik Penggugat maupun Tergugat sama-sama mengajukan kasasi. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung RI menyatakan:
“Bahwa terbukti Penggugat telah menggunakan Desain Industri Tergugat dalam masa antara tahun 2005 sampai dengan 2007 karenanya harus dibebankan untuk membayar ganti kerugian. Adapun besarnya sesuai pertimbangan Judex Facti dinilai telah tepat, sesuai fakta yang terbukti dipersidangan. Pertimbangan dan putusan Judex Facti telah sesuai hukum, ...”
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I; PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan Pemohon Kasasi II: M. Rimba Aritonang tersebut harus ditolak;”
MENGADILI :
1.    Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan Pemohon Kasasi II: M. Rimba Aritonang tersebut;
2.    Menghukum Para Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Mahkamah Agung telah menjatuhkan hukuman, menolak Kasasi yang diajukan baik oleh Penggugat ataupun Kasasi yang diajukan oleh Tergugat. Artinya, putusan Pengadilan Niaga telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
UU Desain Industri sebetulnya mengatur, dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 7:
(1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Sementara itu Penjelasan Resmi Pasal 7 UU Desain Industri:
Ayat (1): “Yang dimaksud dengan “hubungan dinas” adalah hubungan kepegawaian antara pegawai negeri dan instansinya.”
Ayat (2): “Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan prinsip bahwa Hak Desain Industri yang dibuat oleh seseorang berdasarkan pesanan, misalnya dari instansi Pemerintah, tetap dipegang oleh instansi Pemerintah tersebut selaku pemesan, kecuali diperjanjikan lain. Ketentuan ini tidak mengurangi hak Pendesain untuk mengklaim haknya apabila Desain Industri digunakan untuk hal-hal di luar hubungan kedinasan tersebut.”
Ayat (3): “Yang dimaksud dengan “hubungan kerja” adalah hubungan kerja di lingkungan swasta, atau hubungan akibat pemesanan Desain Industri oleh lembaga swasta, ataupun hubungan individu dengan Pendesain.”
Tedapat dua kerancuan dan kelemahan utama dari pengaturan diatas, pertama karena BUMN/B memiliki sifat ambigu, semi swasta namun juga semi milik negara. Kedua, tidak selamanya dalam lingkungan swasta akan otomatis akan membawa akibat pihak karyawan yang menjadi pemilik Desain Industri, sebagai contoh bila karyawan tersebut dipekerjakan untuk memang merancang dan berinovasi menemukan desain industri baru, maka memang itulah tugas utama dari karyawan tersebut dipekerjakan.
Kesimpulannya, mungkin berbeda bila konteksnya ialah seorang karyawan diperkerjakan khusus untuk melakukan inovasi penemuan demi penemuan, maka hasil penemuan itu menjadi hak mutlak pemberi kerja yang menggaji karyawan tersebut untuk berinovasi. Namun bila konteksnya ialah seorang karyawan kemudian secara insidentil menemukan suatu penemuan, entah itu paten, desain industri, hak cipta, dsb, maka hak atas penemuan itu menjadi hak sepenuhnya dari pribadi individu si penemu—karena tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari karyawan tersebut memang bukan "digaji" secara khusus untuk melakukan berbagai riset dan penemuan-penemuan.
Oleh karenanya, kaidah yang terkandung dalam putusan Mahkamah Agung diatas tidak dapat “dipukul rata” secara general, namun kasuistis yang perlu dicermati latar belakang dan karakteristik peristiwa yang melingkupinya.
Mungkin akan berbeda bila karyawan tersebut menggunakan sumber daya materiil maupun laboratorium milik perusahaan, atau bila riset dilakukan berbadasarkan pendanaan perusahaan, bisa jadi putusan pengadilan akan berkata lain.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.