LEGAL
OPINION
Question:
Rasanya sanak keluarga kami kini dikriminalisasi.
Polisi telah menangkap dan menuduh keluarga kami tersebut secara
sewenang-wenang tanpa adanya bukti yang memadai. Adakah langkah hukum yang
dapat kami lakukan?
Brief Answer: Guna menghindari “peradilan
sesat” semacam kriminalisasi, Mahkamah Konstitusi RI telah membuat putusan,
bahwa proses penyidikan maupun penuntutan minimum harus didasarkan pada dua
jenis alat bukti. Kurang dari itu, maka status tersangka atau tersidik dapat
dibatalkan melalui mekanisme uji materiil. Baik dalam kasus Tipikor maupun non Tipikor.
Namun dalam hemat SHIETRA & PARTNERS, demi menghindari blunder,
putusan MK RI tersebut wajib ditafsirkan secara kasuistis. Dalam perkara khusus
seperti tindak pidana pemerkosaan, amatlah sukar bagi pihak penuntut ataupun
penyidik untuk mencari dua alat bukti, sehingga terhadap tindak pidana
spesifik, satu alat bukti yang memiliki kekuatan signifikan seharusnya sudah
memadai. Begitupula dalam kasus pemberantasan korupsi yang bukan ditangani KPK,
acapkali menyulitkan kepolisian maupun Jaksa Penuntut Umum bila hanya memiliki
bukti berupa rekaman pembicaraan tanpa adanya arus dana non tunai yang terlacak
PPATK atau sebaliknya.
PEMBAHASAN :
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor Register 21/PUU-XII/2014
tanggal 28 April 2015 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh seorang karyawan PT.
Chevron Pasific Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah hukum prosedural
dalam menegakkan hukum pidana, dimana prosedur hukum ini mengikat para aparatur
negara, sehingga diharapkan tidak akan terjadi kesewenangan ataupun
penyalahgunaan kewenangan.
Pemohon uji materiil mempermasalahkan istilah-istilah yang rancu dan
multitafsir dalam KUHAP, seperti “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup” dan “bukti yang cukup” sehingga menjadi demikian subjektif bagi aparatur
penegak hukum.
Parameter yang ambigu terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP: “Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana.”
Begitupula kerancuan dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup? Seberapa banyak yang
dimaksud dengan telah “cukup”? Relatif, dan relatif berarti subjektifitas
memainkan peranan utama.
KUHAP memiliki ketidakpastian hukum, berbeda dengan pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mengatur secara tegas parameter tersebut dengan diatur dalam Pasal
44 ayat (2) UU Tipikor:
“Bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekuarng-kurangnya
2 (dua) alat bukti termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data
yang diucapakan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun
elektronik atau optik.”
Sebenarnya Pemohon Uji Materiil telah mementahkan argumentasinya dengan
mengemukakan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana keapda seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dikarenakan yang menjadi filter akhir proses pidana ialah hakim (majelis hakim yang memeriksa persidangan pidana, bukan hakim tunggal praperadilan), dan
hakim terikat pada ketentuan Pasal 183 KUHAP diatas, sejatinya alasan Pemohon
menjadi mentah dengan sendirinya.
Pemohon juga meminta uji materil terhadap ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP
yang sebelumnya pernah diuji materiil dalam nomor perkara terdahulu. Namun Pemohon
mendalilkan, suatu pasal undang-undang dapat dimohonkan pengajuan kembali
sepanjang “materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda” (vide Pasal 60 ayat (2) UU MK).
Pemohon mengajukan uji materiil juga terhadap ketentuan Pasal 77 KUHAP
yang berbunyi:
“Pengadilan negeri berwenang
untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
ini tentang:
a.
sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian, penyidikan, atau penghentian penuntutan;
b.
ganti kerugian dan/atau
rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.”
Menurut Pemohon, konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 butir (a) yang
terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, tidak
sepenuhnya dapat memberikan perlindungan yang cukup kepada seorang Terdakwa
terhadap kemungkinan kesewenangan yang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut
umum, bahkan hakim.
Untuk itu Pemohon meminta agar Pasal 77 butir (a) KUHAP harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD RI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
Pemohon mempermasalahkan pula keberlakuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang
berbunyi:
“Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau
mengulangi tindak pidana.”
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi kemudian membuat
pertimbangan hukum, antara lain:
-
ketika seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka, maka penyidik harus
melalui proses rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti
yang dengan bukti tersebut penyidik menemukan tersangkanya, bukan secara
subjektif penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti (pernyataan MK
RI tersebut menjadi kontradiktif dengan pertimbangan hukum berikutnya dibawah
ini);
-
negara hukum meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak
asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya
negara, untuk menghormatinya. Masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan
penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta
asas lex stricta sebagai asas hukum
umum dalam stelsel pidana guna melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang
penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan
yang cukup” dan “bukti yang cukup”. KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai
batasan jumlah dari maksud frasa-frasa tersebut.
-
MK RI menyatakan bahwa yang dimaksud “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti
yang cukup” harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali
terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa
kehadirannya (in absentia). MK RI abai,
bahwa proses penyelidikan ataupun penyidikan adalah dalam rangka “proses” itu
sendiri, belum masuk pada ranah “menyuguhkan” tersangka sebagai terdakwa ke
hadapan hakim;
-
MK RI menilai. apabila hakim secara rutin mengecualikan / mengesampingkan
alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka hal itu menjadi pesan yang
sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaat yang bisa
diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar
hukum akan menurun drastis—namun ketika MK RI menyatakan “bukti permulaan yang
cukup” haruslah minimum dua alat bukti, maka akan menjadi motivasi bagi
penyidik untuk mencari-cari dan membuat-membuat alat bukti sekenanya;
-
Salah satu bentuk penetapan tersangka oleh penyidik ialah berbentuk
pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu
yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima
status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya
hukum guna menguji legalitas dan menurnian tujuan dari penetapan tersangka
tersebut;
-
Penetapan sebagai tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di
dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang;
-
Penetapan sebagai tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang
merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia. Upaya hukum berupa
praperadilan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang
penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan
sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tiada
pranata yang dapat ditempuh warga negara selain pranata praperadilan yang dapat
memeriksa dan memutusnya;
-
Meski demikian MK RI membuat pernyataan berikut dalam pertimbangan hukumnya:
“Namun demikian, perlindungan terhadap
hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah,
dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap
dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang
berlaku secara ideal dan benar.”
-
Ketika ditetapkan sebagai tersangka, sebagian hak-hak sipilnya pasti
teramputasi, seperti pencekalan, kehilangan hak untuk menjadi pejabat publik,
ditundanya hak untuk naik pangkat bagi PNS maupun TNI/POLRI, dan mulai saat itu
pula langkah-langkahnya terbatas.
-
Sebagai tersangka, dalam praktiknya tidak sedikit diantaranya terkatung-katung
status tersangka yang dilekatkan padanya sampai waktu tahunan namun berkasnya
tidak kunjung dilimpahkan untuk proses peradilan.
Tren kedepannya, pihak berwajib akan terus menjadikan status seseorang yang dicurigasi sebagai "saksi" sampai setidaknya dua alat bukti mencukupi menaikkan statusnya sebagai tersangka. Tiba pada amar putusan, MK RI telah memutuskan:
“MENGADILI
“Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian:
1.1.
Frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti
yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana;
1.2.
Frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,
dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.3.
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
1.4.
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan
penyitaan;
2.
Menolak permohonan Pemohon
untuk selain dan selebihnya.”
Meski demikian, tiga dari sembilan Hakim Konstitusi menyatakan pendapat
berbeda (dissenting opinion).
Hakim Konstitusi Dewa Gede Palguna, dalam dissenting opinion-nya menyatakan bahwa bila proses penetapan
seseorang sebagai tersangka timbul keberatan atau keraguan (misalnya karena
tidak ditemukan bukti yang cukup), jalan keluarnya bukanlah praperadilan,
melainkan penghentian penyidikan. Selanjutnya, apabila penuntut umum atau pihak
ketiga menganggap penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tidak
sah, mereka dapat mengajukan permohonan praperadilan untuk memeriksa keabsahan
tindakan penyidik tersebut.
Idealnya memanglah seperti diutarakan oleh Hakim Konstitusi tersebut
diatas, namun dalam praktiknya banyak terjadi status tersangka terkatung-katung
hingga bertahun-tahun dan belum pernah terdengar terjadinya praperadilan oleh
jaksa penuntut terhadap pihak penyidik ataupun sebaliknya.
Yang benar-benar menjadi jalan tengah, sejatinya ialah direvisinya undang-undang
mengenai hukum acara pidana, dimana diberikan tempo waktu yang definitif,
semisal jika dalam satu tahun kalender belum ada peningkatan status dari
tersangka menjadi terdakwa, status tersangka otomatis gugur demi hukum dan
pihak penyidik wajib memberi surat keterangan terhadap tersangka bahwa status
tersangkanya telah digugurkan. Tiada dibenarkan status warga negara disandera oleh terkatungnya status pemidanaan.
Sementara itu Hakim Konstitusi Aswanto menyatakan, bahwa menjadikan
penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang tidak tercantum
dalam KUHAP, merupakan tindakan ilegal karena membuat norma baru yang bukan
merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan kewenangan pembentuk undang-undang.
Putusan MK RI bukan tidak memiliki cela argumentasi. Penyidikan adalah
rangkaian kegiatan penyidik guna mencari serta mengumpulkan bukti secukupnya
dimana dengan bukti yang telah terhimpun tersebut mampu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Bagaimana penyidik mampu
menghimpun alat bukti sebagai urgensi pencekalan kepergian tersidik keluar negeri dengan menetapkan statusnya sebagai tersangka, bila tersangka langsung mengajukan praperadilan dan
seketika itu juga menjegal penyidik untuk menghimpun alat bukti yang mana
bila penyidikan tersebut tidak diintervensi proses praperadilan, bisa jadi
penyidik akan mampu menghimpun banyak alat butki relevan. Sejatinya secara falsafah pembuktian, terdapat dua kualitas alat bukti: alat bukti penentu, dan alat bukti sekundair. Sakalipun hanya berbekal satu alat bukti, namun alat bukti tersebut demikian kuat, akankah alat bukti itu dinilai tidak memadai?
Bila penyidik memulai penyidikan dengan dimulai dari satu alat bukti
konkret yang signifikan, adalah wajar bila penyidik akan memulai proses
penyidikan lebih lanjut untuk menemukan bukti tambahan. Namun tersangka yang
nakal akan melakukan aksi praperadilan, sementara proses praperadilan itu
sendiri sejatinya prematur karena penyidik baru saja akan mulai aktivitas
penyidikan. Praperadilan dalam konteks tiadanya dua alat bukti membuat
seseorang sebagai tersangka, rawan disalahgunakan pihak-pihak yang dengan cepat
menjegal aksi penyidik agar berbagai alat bukti menjadi tertutup untuk
selamanya.
Tampaknya terjadi kerancuan atas isitlah “penyelidikan” dan “penyidikan”
oleh Pemohon. “Penyelidikan”, ialah aksi penegak hukum untuk menentukan apakah
suatu kejadian hukum merupakan tindak pidana atau bukan (bila kemudian kasus dikategorikan sebagai ranah perdata, maka tak berlanjut pada penyidikan). Sementara aksi
“penyidikan” adalah serangkaian aksi untuk mengumpulkan bukti sekaligus membuat
terang kejadian dan pelakunya yang sebenarnya—sehingga bukanlah tugas penyelidik untuk
mengumpulkan alat bukti.
Sebagai contoh, mayat tergeletak di jalan dengan sebuah pisau ditemukan
tak jauh dari mayat tersebut. Dapatlah penyelidik menyatakan bahwa hal tersebut
merupakan tindak pidana, dan seketika itu pula status pemeriksaan menjadi tugas
penyidik untuk menghimpun bukti saksi, dan dengan berbagai bukti tersebut
membuat terang siapa pelaku.
Dalam sudut pandang tersebut, putusan MK RI merupakan bentuk kemunduran.
Meski demikian, dalam praktik, pihak kepolisian selaku penyidik memainkan
sebuah trik: tidak menetapkan status seorang “saksi” untuk ditingkatkan sebagai
“tersangka” yang sebenarnya sudah ditarget sebagai “terdakwa” guna menghindari praperadilan, disamping fakta hukum bahwa saksi tak wajib didampingi penasehat ukum dan seorang saksi wajib menjawab setiap interogasi petugas pembuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Dengan kata lain, trik penyidik yang tidak juga meningkatkan status seorang saksi
menjadi tersangka, meski dirinya merupakan tersangka utama, ialah agar tidak
terdapat kewajiban bagi saksi tersebut untuk didampingi pengacara dan juga
tidak memiliki imunitas untuk memilih diam. Saksi yang menolak untuk kooperatif
dalam sesi tanya-jawab (interogasi) dengan pihak berwajib, dapat
dikriminalisasi dengan alasan “menghambat tugas pihak berwajib”—berbeda dengan
tersangka yang memiliki hak untuk diam sebagaimana diatur dalam prinsip pidana “Miranda
Rules”: you have right to remain silent !
Baca selengkapnya dalam: GANTI RUGI AKIBAT PENANGKAPAN, PEMENJARAAN, MAUPUN PENUNTUTAN PIDANA YANG TIDAK SESUAI PROSEDUR DALAM HUKUM ACARA MAUPUN TANPA ALASAN YANG MEMADAI
Baca selengkapnya dalam: GANTI RUGI AKIBAT PENANGKAPAN, PEMENJARAAN, MAUPUN PENUNTUTAN PIDANA YANG TIDAK SESUAI PROSEDUR DALAM HUKUM ACARA MAUPUN TANPA ALASAN YANG MEMADAI
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.