Upaya Unifikasi Praktik / Pedoman Beracara di Pengadilan terkait Keberatan terhadap Besaran dan/atau Bentuk Ganti-Rugi akibat Proyek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

LEGAL OPINION
Question: Apakah benar, bila kami selaku pemilik tanah yang terkena gusur akibat proyek pembebasan lahan oleh pemerintah, lantas jika tidak mengajukan gugatan atas besaran nilai ganti rugi maka ganti rugi akan dititipkan tim pemerintah dan kami dianggap telah menerima ganti-rugi tersebut?
Brief Answer: Secara yuridis memang demikian adanya. Hanya saja hingga Legal Opinion ini dibentuk, belum terdapat unifikasi / kodifikasi hukum terkait praktik pedoman beracara di pengadilan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh besaran nilai ganti-rugi tim pembebasan lahan bagi kepentingan umum.
PEMBAHASAN :
Pada prinsipnya, penetapan bentuk dan/atau besarnya nilai ganti-kerugian pada proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan pemerintah, didasarkan pada musyawarah antara Lembaga Pertanahan dengan Pihak yang Berhak atas tanah tersebut.
Jika musyawarah penetapan besarnya nilai atau bentuk ganti-kerugian tidak mencapai kesepakatan, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri maupun pengadilan tata usaha negara setempat dalam bentuk gugatan ataupun verzet, untuk memutus bentuk dan/atau besarnya ganti-kerugian. Masih rancu pula yurisdiksi pengadilan yang berwenang memutus sengketa Surat Keputusan Penetapan Ganti Rugi, apakah menjadi kewenangan/kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara ataukah Pengadilan Negeri, mengingat regulasi perihal pembebasan lahan saling tumpang tindih (overlaping)
Bila Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti-kerugian berdasarkan hasil musyawarah, tetapi tidak mengajukan keberatan ke pengadilan negeri setempat, ataupun bila pihak tersebut tetap menolak amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ganti-kerugian dititipkan tim pembebasan lahan di pengadilan negeri setempat.
Untuk itu Mahkamah Agung merasa perlu untuk mengatur prosedur penitipan ganti-kerugian tersebut, lewat Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 07/KMA/SK/I/2016 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pemberian Ganti Kerugian Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, meski SHIETRA & PARTNERS menilai sudah jauh terlambat sejak Undang-Undang tentang Pembebasan Lahan terbit tiga tahun lampau. Tampaknya legislatif yang gagal untuk mengantisipasi kekosongan hukum sehingga MA RI terdesak untuk membentuk hukum otonom melalui lembaganya yudikatif sendiri.
Tujuan dari pembentukan Kelompok Kerja binaan Mahkamah Agung tersebut, ialah guna menyusun pedoman beracara mengajukan keberatan atas musyawarah penetapan bentuk dan/atau besarnya ganti-kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan penitipan ganti-kerugian di pengadilan.
Dalam pengamatan penulis, masih terdapat kesimpang-siuran praktik pengadilan tentang yurisdiksi atau kompetensi absolut pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa nilai atau bentuk ganti-rugi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sendiri menyatakan pengadilan yang berwenang ialah PTUN, sementara dalam praktik kerap kali Pengadilan Negeri yang memutus sebagaimana disebutkan oleh Peraturan Pemerintah selaku peraturan pelaksana undang-undang pembebasan lahan.
Kerancuan ini tampaknya juga ditangkap oleh Mahkamah Agung, dengan membentuk Kelompok Kerja dengan susunan dari hakim Pengadilan Negeri serta hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) guna mempersiapkan kebijakan Ketua Mahkamah Agung dalam rangka pengkajian, penelitian, dan pengembangan pedoman beracara mengajukan keberatan atas penetapan bentuk dan/atau besarnya ganti-kerugian penetapan tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.