Penyalahgunaan Wewenang Direksi Perseroan, Modus Penipuan Rekruitmen PT. AUDITSI UTAMA oleh Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia

LEGAL OPINION
Question:  Setiap pengusaha dengan pikiran sehat sadar bahwa merangkap tugas seorang karyawan diberbagai badan hukum yang berbeda adalah suatu yang tidak etis dan tidak melindungi hak karyawan sehingga tidak ada lagi batas atau porsi tanggung jawab beban tugas yang dipikulnya. Banyak terjadi praktik penyalah-gunaan wewenang oleh direksi yang seolah merasa dirinya berhak memerintah dan menghisap tenaga karyawan perseroan demi tujuan pribadi sang direksi. Hal demikian termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukumkah?
Brief Answer: Pada dasarnya secara psikologi hukum, adalah mustahil bagi karyawan untuk menyatakan keberatan meski dirinya menyadari dan mengetahui bahwa dirinya tidak dapat diperintah untuk mengerjakan pekerjaan diluar dari tugas perusahaan tempatnya terdaftar sebagai karyawan. Dalam hukum perseroan, terdapat larangan bagi direksi untuk menyalahgunakan jabatannya demi kepentingan pribadi dengan menggunakan aaset perseroan, dimana karyawan adalah salah satu aset (sumber daya manusia) perseroan terpenting. Sementara dalam hukum ketenagakerjaan, seorang karyawan suatu badan hukum bukanlah karyawan badan hukum perseroan lain, sehingga bilamana hal demikian terjadi, berarti telah terjadi penghisapan / pemerasan tenaga kerja yang dirangkap tugas tanpa memberikan haknya atas UMR atas masing-masing kepentingan badan hukum yang dibebankan tugasnya kepada karyawan bersangkutan, sehingga secara yuridis semestinya karyawan tersebut mendapat gaji berganda, dimana hal tersebut tidak lakukan maka dapat dikategorikan “penggelapan oleh direksi yang menyalahgunakan kewenangan” atas hak normatif buruh / pekerja / karyawan”.
PEMBAHASAN :
Dalam putusan sengketa gugatan perdata yang kemudian diputuskan dalam tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Register Nomor 4-/PDT/2015/PT. DKI oleh dan antara :
-        PT. Jobs DB Indonesia, sebagai Pembanding semula Penggugat; melawan
-        Eddy Santoso Tjahja, selaku pribadi, eks Direktur PT. Jobs DB Indonesia yang dipecat secara tidak hormat oleh PT. Jobs DB; dimana Eddy Santoso Tjahja juga sekaligus merupakan Direktur PT. Auditsi Utama dan serta sebagai pemegang saham pada PT. METRO PACIFIC, sebagai Terbanding I semula Tergugat I;
-        PT. AUDITSI UTAMA, perseroan dibidang recruitmen yang beralamat di Wisma 77 Slipi, Jakarta Barat, sebagai Terbanding II semula Tergugat II.
Dalam tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Barat Register Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Bar tanggal 08 September 2009, telah dijatuhkan amar putusan:
DALAM EKSEPSI
-        Menolak seluruh Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II;
-        Menyatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;
DALAM POKOK PERKARA
-        Menyatakan Gugatan Penggugat belum saatnya untuk diajukan (Prematur);
-        Menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard);
Atas putusan tersebut, Penggugat mengajukan banding, dengan argumentasi sebagai berikut:
“Bahwa menurut Pembanding/Penggugat Para Tergugat dalam kurun waktu sekitar Januari 2002 sampai 26 Mei 2008 tanpa persetujuan dan seizin Penggugat, selama jam kerja dan di tempat Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II secara bersama-sama dengan itikad buruknya sering menyalahgunakan fasilitas / asset milik Penggugat untuk kepentingan pribadi namun tidak terbatas pada website perangkat computer, tempat milik perusahaan Penggugat, dan menginstruksikan karyawan Penggugat, misalnya sekretaris Penggugat, Staf IT, Staf Administrasi, dst.”
Terhadap tudingan Penggugat, Para Tergugat / Terbanding sama sekali tidak mengajukan Kontra Memori Banding yang senyatanya dapat diasumsikan terdapat pengakuan secara diam-diam atas perilaku tidak etis demikian.
Keganjilan terdapat pada pertimbangan hukum yang tidak kongkuren dengan amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, sebagaimana tertuang dalam kutipan berikut:
“Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri menyatakan Gugatan Penggugat belum saatnya diajukan (Prematur) dengan alasan tuntutan penguasaan laptop/computer (Sony Vaio SZ-230 P) baik penguasaan maupun penggunaan dan pengambilan data yang dilakukan secara melawan hukum oleh Tergugat I belum pernah dibuktikan terlebih dahulu dalam ranah hukum lain, maka Majelis menilai bahwa gugatan tersebut belum saatnya untuk diajukan ke Pengadilan (Premateru).”
DALAM POKOK PERKARA
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Brt tanggal 08 September 2009 tersebut.
Menolak gugatan Penggugat/Pembanding untuk seluruhnya.”
Secara yuridis, antara pertimbangan hukum dan amar putusan yang tidak konkuren amat berpotensi untuk dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Pertimbangan hukum yang menyatakan “prematur”, artinya hakim hanya boleh menjatuhkan amar putusan: “Gugatan tidak dapat diterima”, sehingga ketika tidak lagi prematur, gugatan ulang dapat kembali diajukan.
Terlepas dari apakah putusan tersebut benar atau tidak, yang pasti amar putusan telah dijatuhkan. Namun bila kita tinjau dari segi dampak sosiologis bagi masyarakat, maka hal tersebut akan memberi efek contoh/teladan buruk bagi masyarakat, seolah seorang direksi boleh menyalahgunakan wewenangnya untuk menghisap waktu serta tenaga dari karyawan suatu badan hukum untuk kepentingan pribadi direksi bersangkutan.
Mari kita tinjau secara ilmiah dan dalam kacamata akademis. Dalam Arrest Lindenbaum vs. Cohen tahun 1919 di Belanda, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) menyatakan secara tegas, meski perbuatan mantan karyawan Lindenbaum tidak melanggar hukum tertulis (karena saat itu belum terdapat aturan tertulis yang melarang seorang karyawan sebuah percetakan untuk menjual informasi rahasia terkait pelanggan dari mantan perusahaan tempatnya bekerja dari Lindenbaum kepada Cohen yang juga bergerak dibidang percetakan), namun ukuran moralitas dapat menjadi parameter patut tidak patutnya tindakan seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai melakukan “Perbuatan Melawan Hukum”.
Arrest tersebut yang kemudian diakui dan diberlakukan pula di Indonesia dalam memaknai ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata jo. Pasal 1366 KUHPerdata, bahwasannya setiap pembuat kerugian, baik secara disengaja maupun karena lalai, wajib memberikan ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikannya bila perbuatan tersebut melanggar hukum.
Secara akal sehat dan akal budi manusia sehat bermartabat, memanfaatkan tenaga, waktu, serta pikiran karyawan yang digaji sebuah perseroan, kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi direksi bersangkutan, adalah merupakan bentuk kerugian bagi perseroan yang menggaji sumber daya manusia / karyawan mereka.
Dari pengalaman penulis pribadi, karakter penguasa perseroan yang memiliki dasariah “menghisap” dan “memeras” tenaga manusia akan tetap terjadi sekalipun penguasa perseroan tersebut kemudian akan berdiri sebagai penguasa pada perseroan miliknya sendiri. Hal demikian telah menjadi karakter dasar yang mendarah daging, sehingga tidak mengherankan bila direksi demikian hanya akan menjadi benalu dan duri dalam daging atas praktik-praktik curang yang menghisap tenaga serta tidak sehat demikian.
Mengapa penulis dapat mengatakan demikian, karena penulis adalah salah satu mantan pemberi jasa yang pernah mengecap sebagai “korban” dihisap dan diperas waktu, tenaga, serta pikiran selama ratusan jam kerja oleh direktur tersebut diatas dengan kompensasi hanya sebuah satu kotak nasi campur untuk jirih payah selama hampir dua ratus jam kerja yang tersita untuk riset regulasi serta preseden yurisprudensi serta pengerjaan struktur komposisi argumentasi dalam sebuah surat gugatan ke pengadilan demi kepentingan pribadi direksi tersebut. Janji tinggal sekedar janji yang dilanggar sendiri oleh direktur tersebut tanpa menunjukkan rasa bersalah.
Ketika terjadi penyelundupan hukum oleh seorang direksi, maka biarlah hukum karma yang akan mengambil alih tugas eksekusi terhadap pelaku perbuatan tidak patut demikian. Eddy Santoso Tjahja yang kini menjabat sebagai pemilik sekaligus direktur  PT. Auditsi Utama, penipuan berkedok perusahaan outsourcing yang bergerak dibidang rekruitmen tenaga kerja, saat artikel ini ditulis ternyata kembali melakukan eksploitasi tenaga manusia serupa: membuat seorang pekerja bekerja secara rodi selama 200 jam kerja, hanya dengan kompensasi berupa 1 buah kotak nasi campur tanpa upah sebagaimana dijanjikan.

Sekali diketahui berkarakter eksploitatif, kemana pun Eddy Santoso Tjahja bersama rekan penipunya di PT. AUDITSI UTAMA, Liliana Tjia, korban-korban baru akan terus berjatuhan dengan modus penipuan berkedok lowongan kerja. Penulis memiliki seluruh dokumen bukti modus penipuan dan manipulasi yang dilakukan oleh Eddy Santoso Tjahja lewat perusahaan yang bernama PT. AUDITSI UTAMA.

Agar masyarakat / para calon pencari kerja, bersikap waspada bila mendapat lowongan dari pihak-pihak yang mengatas-namakan PT. AUDITSI UTAMA, karena penulis pernah menjadi korban modus penipuan Eddy Santoso Tjahja saat bekerja bagi kepentingan PT. AUDITSI UTAMA yang dimiliki para penipu tersebut. Bekerja 200 jam kerja, dengan pengeluaran waktu, tenaga, ongkos transportasi, listrik, dan internet oleh biaya penulis pribadi, namun hanya sekotak nasi bungkus yang diberikan sebagai upahnya. Adalah sudah benar langkah tegas PT. JobsDB Indonesia yang memecat secara tidak hormat penipu tersebut. Ketika janji hanya sekedar janji, bahkan menyalahgunakan kepercayaan pegawai, maka itulah yang disebut dengan: PENIPU dan PENIPUAN.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.