ARTIKEL HUKUM
Dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Pasal 1339 KUHPerdata menganut keberlakuan kepatutan dalam suatu hubungan perikatan perdata. Kepatutan dianggap selalu melekat dalam kontrak sekalipun tidak ditulis maupun tidak disepakati secara mendetail, dan kontrak tidak juga boleh bertentangan dengan kepatutan.
Sementara apakah yang disebut dengan kepatutan? Apa juga perbedaan antara kepatutan dengan kesusilaan?
Kesusilaan, lebih ke arah suatu rasa etis atau tidaknya, sementara kepatutan lebih merujuk kepada suatu perasaan empati yang bermoril. Kepatutan lebih komprehensif dari kesusilaan, karena kepatutan mengelaborasi unsur-unsur daya nalar, daya kemampuan “kecerdasan emosionil”, bahwa kemampuan dalam “emotional prediction” (istilah yang penulis pinjam dari tokoh komunikasi bernama Leil Lowndes), improvisasi terhadap kedudukan para pihak, kaya akan pengamatan mendalam, serta mengakui adanya suatu perasaan dari pihak korban atau bahkan si pelaku dalam perkara pidana maupun perdata.
Hukum adalah murni, namun tidak naif, itulah sebabnya seorang hakim harus bersikap cerdas disamping memiliki empati, dan itulah yang kemudian diberi nama sebagai “memiliki kepekaan terhadap kepatutan”.
Adalah salah kaprah ketika teori dalam teks-teks hukum mengatakan bahwa hakim harus menempatkan dirinya pada pihak ketiga yang netral. Yang benar ialah, hakim harus menempatkan dirinya untuk dapat dan mampu serta peka terhadap perasaan korban, pelaku, tergugat, maupun penggugat secara berimbang dan proporsional.
Jika seorang hakim Anda tempatkan dalam posisi netral pihak ketiga, niscaya kepada pelaku sodomi, pedofil, pemerkosa, pelaku tipikor, akan senantiasa dijatuhi hukuman yang minimum, karena hakim telah “kebal rasa” atau bahkan tidak lagi peka terhadap perasaan korban. Bisa juga sebaliknya terjadi, pelaku pembunuhan akan dihukum mati tanpa mau merasakan bahwa bisa jadi seumur hidupnya pelaku selalu di-“bully” oleh korban. Jika hakim lebih peka, bisa jadi ia akan menyadari, bahwa bisa jadi korban adalah pelaku, dan pelaku adalah korban itu sendiri.
Dalam konteks disiplin ilmu psikologi hukum, seorang hakim penting untuk mampu bersikap peka terhadap para pihak, dalam aspek perasaan yang mereka alami dan rasakan sebagaimana seolah hakim itu sendiri yang mengalami perasaan dirugikan, atau bahkan perasaan senangnya melakukan korupsi, sakitnya dianiaya, gundahnya bila lingkungan perumahan terganggu gaduhnya tetangga yang menjadikan perumahan sebagai pabrik, takutnya bila gaji upah minimum provinsi tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, rasa tidak senang di-bully, rasa depresi korban KDRT, rasa trauma karyawan yang diperas oleh atasannya, rasa marah penyedia jasa yang ditipu pengguna jasa, dsb.
Perasaan-perasaan itulah yang kemudian akan ditimbang, dan bila terdapat ketimpangan perasaan antara para pihak, disitulah terdapat ketidakpatutan, karena satu pihak telah mengambil keuntungan dengan merugikan perasaan pihak lain. Pada titik tersebut pulalah hakim akan mencoba memulihkan posisi mental dan perasaan para pihak, sehingga para pihak akan mendapatkan rasa keadilan—ketika perasaan keadilan diperoleh para pihak, maka niscaya Mahkamah Agung tidak akan lagi kebanjiran berkas perkara permohonan kasasi.
Problema utama kualitas rendah putusan pengadilan, sebagaimana dicermati oleh penulis, karena hakim cenderung menjadi apatis, masa bodoh, “mati rasa”, tidak lagi mau aktif “peka rasa”, karena memang melakukan empati dalam arti merasakan kepatutan membutuhkan sikap aktif yang menguras pikiran serta emosi mental.
Hal ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada hakim, karena banyak sarjana hukum yang justru membuat-membuat perkara yang tidak perlu menjelma "inflasi" perkara, untuk kemudian dibawa ke hadapan pengadilan sehingga terjadi penumpukan berkas perkara yang mubazir dan membuang sumber daya waktu.
Kedua, sistem peradilan di Indonesia jauh dari kata efesien dan efektif. Untuk perkara dapat memakan waktu hingga setengah tahun bahkan satu tahun. Untuk itulah, kemudian Mahkamah Agung membuat terobosan karena lambannya dan tiadanya kemauan politik parlemen bersama eksekutif untuk merevisi hukum acara di Indonesia sehingga kemudian Mahkamah Agung RI membuat surat edaran yang menyatakan bahwa sengketa non-tanah serta nilai ganti rugi materiil yang diminta tidak lebih dari dua juta rupiah, cukup diputus dalam register perkara sederhana (small claim court), dimana dalam waktu kurang dari satu bulan maka perkara gugatan sudah akan diputus.
Mengapa koruptor, orang jahat, pembuat rugi, harus dihukum? Karena mereka secara tidak patut merugikan orang lain, menculasi pihak lain, menyakiti warga negara lain, tanpa mau tahu perasaan korban atas tindakan mereka. Untuk itulah lembaga peradilan hadir untuk menjadi orang ketiga yang aktif untuk bersikap patut. Bila seluruh warga negara mau menumbuhkan sikap peka terhadap perasaan pihak lain, niscaya tiada sengketa dan pengadilan akan sepi peminat.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.