LEGAL
OPINION
Question:
Saat ini rekan kami disidangkan dengan tuntutan
pidana penipuan. Apakah ada cara agar penuntutan tersebut dapat diakhiri tanpa
harus berlanjut pada putusan pengadilan?
Brief Answer: Penipuan merupakan delik aduan,
dalam arti penyidik maupun jaksa penuntut baru akan memproses pidana terhadap
pelaku jika terdapat aduan dari korban penipuan. Bila antara korban dan pelaku
penipuan membuat dan menyepakati perdamaian yang dituangkan dalam suatu akta,
maka hubungan diantaranya menjadi bersifat perdata secara murni, sehingga baik
penyidik maupun jaksa penuntut tidak lagi dapat mengajukan tuntutan pidana
terhadap pelaku.
Sebagai contoh, jika antara korban dan pelaku telah membuat akta
perdamaian, sekalipun korban tidak mencabut laporan pidananya, hakim wajib
membebaskan pelaku dan perkara menjadi murni ranah perdata semata.
PEMBAHASAN :
Pada perkara tuntutan pidana sebagaimana diputus oleh Pengadilan Negeri
Denpasar Bali register Nomor 650/Pid.B/2015/PN.Dps tanggal 7 Desember 2015, dalam
dakwaannya, jaksa menyatakan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana penipuan,
yakni dengan rumusan delik: orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut
melakukan perbuatan itu, dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan mempergunakan sebuah nama palsu, atau
suatu sifat palsu, dengan mempergunakan tipu-muslihat ataupun dengan
mempergunakan susunan kata-kata bohong, menggerakkan seseorang untuk menyerahkan
sesuatu benda, untuk mengadakan perjanjian hutang ataupun untuk meniadakan
piutang.
Kejadian bermula pada Bulan Desember 2012 dimana salah satu terdakwa
lainnya minta pada seseorang untuk menjualkan tanahnya kepada calon pembeli. Calon pembeli mendatangi calon penjual sambil melihat lokasi
tanahnya yang kemudian saling menyepakati harga jual-beli, sedangkan untuk
pengikatannya akan dilakukan di hadapan Terdakwa selaku notaris/PPAT yang
ditunjuk oleh sang calon penjual.
Terdakwa kemudian melakukan serangkaian kebohongan, dengan menyatakan
bahwa tanah tersebut tidak ada masalah dan penerbitan sertifikatnya sudah
diurus oleh kuasa hukum dari calon penjual, padahal sebelumnya dalam waktu yang
lampau calon penjual telah hadir di hadapan Terdakwa dan calon pembeli lain
atas objek tanah yang sama dan atas transaksi tersebut Terdakwa telah
menerbitkan Akta Perikatan Jual-Beli (APJB) serta calon pembeli pertama telah
membayar uang muka kepada calon pembeli.
Calon penjual jelas dan terang telah menipu kedua calon pembeli, namun
karena Terdakwa selaku notaris/PPAT yang menyampaikan bahwa tanah objek
jual-beli “bersih”, sehingga calon pembeli kedua menjadi yakin bahwa dalam
membeli tanah milik calon penjual tersebut tidak ada masalah dan tergerak
hatinya untuk membeli serta meminta supaya Terdakwa menerbitkan akta jual-beli.
Selanjutnya Terdakwa selaku notaris/PPAT menerbitkan Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 27 Desember 2012 antara penjual dan pembeli kedua
ini, dengan uang muka berupa selembar cek giro senilai Rp. 500.000.000;- dengan
syarat: cek tersebut baru boleh dicairkan setelah adanya kepastian akan
terbitnya sertifikat dari kantor pertanahan (BPN) dan jika dalam waktu 6 bulan
sertifikatnya belum terbit, maka uang tersebut harus dikembalikan utuh kepada
pembeli.
Cek telah dicairkan oleh penjual, namun hingga Bulan Agustus 2013
sertifikat tanah tidak bisa diproses oleh pihak BPN Kota Denpasar, karena tanah
tersebut bukan milik sang penjual, akan tetapi milik orang lain yang telah
dilepaskan haknya, dan sertifikatnya telah dicabut serta dimatikan oleh BPN
Kota Denpasar karena Land Consolidation.
Mengetahui hal tersebut, pembeli kedua yang kemudian melaporkan hal
tersebut sebagai tuduhan tindak pidana meminta kembali uangnya sebesar Rp.
500.000.000;- namun hanya Rp. 300.000.000;- yang dikembalikan.
Secara hukum pertanahan, dalam hal ini pihak calon pembeli juga memiliki
kelalaian. Sudah banyak terjadi jual-beli tanah yang tidak jelas legalitasnya. Seyogianya
penjual dapat didesak oleh calon pembeli untuk terlebih dahulu mensertifikatkan
tanahnya sebelum dilakukan jual-beli. Membeli tanah bukanlah seperti membeli “kucing
dalam karung”—aspek legalitas dan asas kehati-hatian menjadi faktor utama
kelangsungan peralihan hak atas tanah.
Dengan demikian perbuatan Terdakwa dan penjual didakwa dengan ancaman
pidana Pasal 378 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan tindak
pidana antara pihak penjual dan pihak PPAT.
Dalam dakwaan alternatifnya, jaksa menuduh Terdakwa secara bersama-sama dengan
penjual, sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut melakukan
perbuatan itu, dengan sengaja menguasai secara melawan hukum, sesuatu benda
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang berada padanya
bukan karena kejahatan—alias tuduhan penggelapan Pasal 372 KUHP jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Terdakwa pada tanggal 31 Agustus 2013
telah membuat pernyataan yang isinya Terdakwa menyatakan bertanggung jawab
penuh atas pengembalian dana sebesar Rp. 500.000.000;- kepada pembeli pada
tanggal 15 September 2013, dimana baik Terdakwa maupun pembeli tersebut kemudian
menandatangani pernyataan perdamaian dimana Terdakwa akan mengembalikan
uang pembeli kedua tersebut yang ditandatangani pada tanggal 17 Oktober 2013.
Atas dasar fakta tersebut, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa: “... dengan demikian
sudah jelas masalah ini adalah bukan termasuk dalam ruang lingkup Pidana, melainkan
masuk dalam ruang lingkup Perdata.”
Tiba pada amar putusan, Pengadilan Negeri Denpasar telah memutuskan:
“MENGADILI:
1.
Menyatakan terdakwa I WAYAN
GEDE DARMA YUDA, SH. M.Kn terbukti melakukan perbuatan sebagaimana tersebut
dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tapi perbuatan tersebut bukan merupakan
perbuatan pidana;
2.
Melepaskan Terdakwa I WAYAN
GEDE DARMA YUDA, SH. M.Kn dari segala tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum
tersebut;
3.
Memulihkan hak-hak Terdakwa
dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.”
Karena telah dihentikan secara perdata, delik aduan menjadi “pupus”. Satu-satunya
yang kemudian dapat mempidana Terdakwa selaku PPAT hanyalah pembeli pertama bila
pembeli pertama tersebut mempermasalahkan jual-beli sebanyak dua kali atas
objek yang sama, sementara mengenai harga jual-beli yang telah diserahkannya
akan ditempuh secara gugatan perdata.
Bila saja pembeli kedua dalam contoh kasus diatas, tidak menandatangani
akta perdamaian, maka tuntutan pidana akan terus berlanjut dan Terdakwa akan terkena
pidana, sementara dana jual-beli tetap bisa disengketakan secara gugatan
perdata dimana putusan pidana pengadilan negeri dapat dijadikan alat bukti guna
memenangkan perkara gugatan perdata pengembalian dana jual-beli—inilah yang
SHIETRA & PARTNERS maksud dengan antara gugatan perdata dan tuntutan pidana
dapat berjalan secara paralel.
Dari contoh diatas kita dapat melihat, keliru menerapkan strategi dapat
mengarah pada terputusnya atau tertutupnya upaya hukum pidana.
Kesimpulan: Untuk menghindari penjatuhan hukuman pidana, selain meminta
pihak korban mencabut laporan pidana, dapat meminta agar antara korban dan
pelaku membuat kesepakatan bersama mengenai perdamaian. Dengan bukti akta
perdamaian tersebut, hakim akan menyatakan bahwa perkara pidana tidak lagi
relevan, sehingga menjadi murni bersifat perdata semata. Inilah yang dimaksud dengan pergeseran ranah hukum.
Baca selengkapnya juga dalam :
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.