Transfer Pricing, Modus Korporasi Penanam Modal Asing dalam Mengeruk Kekayaan dari Iklim Bisnis di Indonesia

ARTIKEL HUKUM
Beberapa waktu lampau SHIETRA & PARTNERS menemukan sebuah jawaban atas pertanyaan salah seorang klien yang menjadi pemegang saham minoritas pada suatu Perseroan Terbatas berbentuk Penanaman Modal Asing (PMA), dimana pemegang saham mayoritas adalah badan hukum asing di luar negeri.
Modus yang akan penulis urai berikut besar kemungkinan dialami banyak perusahaan PMA di Indonesia, dimana pihak asing mengeruk keuntungan dengan berusaha menjadikan PT PMA di Indonesia sebagai "sapi perahan" bagi kepentingan pemegang saham mayoritas di luar negeri ini, sehingga PT PMA di Indonesia rawan untuk disalahgunakan lewat penyalah-gunaan wewenang pemegang saham asing.
Kantor Berita Antara pada tanggal 29 September 2015 menurunkan berita berjudul “Ditjen Pajak Berhasil Hentikan Tren Merugi Perusahaan Multinasional”,[1] dengan bunyi:
“"Salah satu isu perpajakan perusahaan multinasional yang dinilai strategis adalah transfer pricing. Isu ini dipicu oleh transaksi perusahaan multinasional di Indonesia ke afiliasinya di luar negeri," ujar  Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah DJP Kalbar Taufik Wijiyanto.  
Perusahaan afiliasi adalah perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain, antara lain karena kesamaan pemilik perusahaan dalam bentuk prosentase kepemilikan saham.   
Alih-alih menggunakan transaksi wajar, perusahaan multinasional seringkali menetapkan harga jual di bawah harga wajar, dan menetapkan harga beli dan biaya di atas harga wajar guna mengecilkan pajak yang harus dibayar di Indonesia.
   Praktik inilah yang sering disebut sebagai penyalahgunaan transfer pricing. Umumnya, tujuan dari transaksi ini adalah penghindaran pajak melalui profit shifting atau "pemindahan keuntungan" dari perusahaan di Indonesia ke perusahaan afiliasinya di luar negeri yang bertempat di negara dengan tarif pajak rendah atau low tax rate country (LTRC).
Praktik profit shifting lazim digunakan oleh perusahaan multinasional yang memiliki cabang di berbagai negara untuk menggelembungkan keuntungannya dengan cara mengecilkan pajak yang harus dibayar.
    Caranya adalah dengan merancang agar perusahaan grup yang ada di LTRC menjadi perusahaan dengan laba terbesar.
Dengan menggunakan transaksi yang tidak wajar, Wajib Pajak diminta untuk membeli barang atau jasa dari perusahaan LTRC dengan harga di atas wajar, sehingga terus menerus merugi. Transaksi seperti inilah yang lazim disebut sebagai transfer pricing.
    Lalu bagaimana Wajib Pajak dapat terus beroperasi jika merugi? Jawabannya adalah dengan diberikan hutang terus menerus sehingga Wajib Pajak berada dalam situasi hidup segan mati tak mau.
    Jadi, tidak perlu heran apabila di Indonesia banyak dijumpai perusahaan multinasional yang terus menerus merugi namun sebaliknya tetap beroperasi sepanjang tahun.
Perhatikan ketentuan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan:
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga (Note Penulis: hak negara atas pajak termasuk dalam kategori “merugikan pihak ketiga”); atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh:
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
Transfer Pricing termasuk dalam ranah tindak pidana perpajakan yang besar kemungkinan merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dapat kita temui dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 2239 K/PID.SUS/2012 terkait penyelewengan kekayaan perseroan demi menghindari kewajiban pajak, Asian Agri Group (AAG) dihukum oleh Mahkamah Agung dengan sangat keras.
Seorang pengurus dari grub usaha ini didakwakan telah melakukan beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atas nama PT. Dasa Anugrah Sejati, PT. Raja Garuda Mas Sejati, PT. Saudara Sejati Luhur, PT. Indo Sepadan Jaya, PT. Nusa Pusaka Kencana, PT. Andalas Intiagro Lestari, PT. Tunggal Yunus Estate, PT. Rigunas Agri Utama, PT. Rantau Sinar Karsa, PT. Sispra Matra Abadi, PT. Mitra Unggul Pusaka, PT. Hari Sawit Jaya, PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Gunung Melayu yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara sebesar Rp. 1.259.977.695.652,-.
Adapun modus yang diajukan AAG, antara lain: (penulis mengutip dari sinopsis perkara yang bersumber dari http://www.rct.or.id/index.php/berita/opini/78-made-ali )
Mengecilkan penjualan antara lain berupa rekayasa penjualan. Teknik manipulasi ini dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer), tapi dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi (oleh shell company alias perusahaan cangkang ini) ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer.
Dalam kejahatan korporasi multinasional, tidak jelas lagi mana perusahaan induk dan mana perusahaan anak. Bisa jadi, pemegang saham mayoritas di luar negeri hanya menjadi perusahaan cangkang yang hanya menjadi medium seakan dirinya yang menjual barang yang diterima dari PT PMA di Indonesia kepada end user. Holding bukanlah subjek hukum, karena secara hukum, masing-masing badan hukum adalah subjek hukum independen, dan pemegang saham bukanlah dan tidak memiliki kewenangan layaknya organ perseroan bernama direksi. Namun dalam praktik, penulis menilai banyak terjadi penyalahgunaan kewenangan pemegang saham mayoritas dalam menyetir jalannya perseroan dengan menyingkirkan direksi yang tidak menurut dan menempatkan direksi boneka pada perseroan.
Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company (mengingatkan kita pada modus sejenis, panama papers) atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator atau medium semata untuk secara dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga jual—dimana kemudian yang mencetak keuntungan besar adalah perusahaan asing yang tidak lain adalah pemegang saham mayoritas.
Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG.
Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak badan hukum terutang yang dilaporkan dalam SPT menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya.
Menggelembungkan Biaya antara. Pertama, Biaya Jakarta, berupa penggelembungan biaya dibuat dengan Memo Voucher di kantor AAG di Jakarta oleh Suwir Laut, orang kepercayaan AAG. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi ekonomi yang sebenarnya, hanya menampung pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas -Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.
Dari rekening perantara tersebut dikonversi ke dalam mata uang US$. Lalu dikirim ke rekening GOALLEAD Ltd di Banca Intesa Spa Cabang Hong Kong. Rekening GOALED Ltd di Banca Intesa Spa Cabang Hong Kong tersebut juga digunakan untuk menampung dividen yang diterima oleh FITCL dan TRESTON dari Asian Agri Abadi International Limited. Rekening HAREL dipakai tahun 2002 dan 2003 sementara rekening ELDO dipakai tahun 2004 dan 2005.
Atas rekening HAREL dan ELDO dikuasakan oleh Eddy Lukas, Djoko S. Oetomo dan Haryanto Wisastra kepada orang yang tidak mereka kenal yaitu Iman Pangestu dan Rudy. Pengeluaran uang yang dilakukan dari rekening-rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG tidak sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) di AAG karena dilakukan secara bertahap dengan cek tunai.
Pengeluaran secara tunai agar pengeluaran sulit terlacak, lalu uang disetorkan ke rekening perantara HAREL dan ELDO, untuk mengcover pengeluaran uang tersebut dibuatlah account Biaya Jakarta. Biaya Jakarta ini dibuat tiap akhir tahun pajak dan dialokasikan sebagai Biaya pada Harga Pokok Penjualan (HPP) sebagai biaya mendalamkan parit, grading, garuk/piringan, sirtu, rawat gawangan dan buat & refiab gorong-gorong sehingga mengurangi jumlah pajak penghasilan yang seharusnya dibayar oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung daiam AAG.
Istrumen hukum yang direkayasa sedemikian canggih sehingga mengaburkan pandangan pihak luar terhadap niat batin ataupun modus sebenarnya dari jalan berliku yang sengaja dirancang oleh AAG—dengan harapan dapat mengecoh penegak hukum di Indonesia. Namun beruntung, perampokan pendapatan negara ini terkuak berkat keberanian Vincentius Amin Sutanto selaku Whistle Blower yang merupakan karyawan (yang memilih untuk tidak menggadaikan jiwanya pada harta materi dengan menghadapi rasa takut dan tekanan mental) dari pihak internal AAG sendiri!
Kedua, Biaya Hedging. Yakni biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya "washout / hedging loss". Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi.
Selisih harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss. Transaksi ini dilakukan dengan cara membuat dokumen pendukung atas transaksi tersebut dengan mencantumkan tanggal mundur (back dated).
Besarnya kerugian atau biaya dari transaksi tersebut telah diketahui atau dihitung sebelumnya oleh pihak AAG. Selain itu dokumen-dokumen pendukung berupa Purchase Contract, Sales Contract dan Sewement Letter yang seolah-olah dibuat dan dikirim dari pihak lawan transaksi yaitu perusahaan-perusahaan di Hong Kong sebetulnya dibuat oleh pihak AAG sendiri di Kantor Medan yaitu oleh saksi Linda Rahadja dan Staffnya.  Hal semacam itu disebut transaksi penciptaan rugi (Loss Creating)kerugian yang memang sengaja digunakan.
Akibat transaksi tersebut terjadi kerugian transaksi yang dilaporkan dalam SPT perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG, sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya.
Ketiga, Biaya Manajemen Fee. Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak.
Bahwa mengecilkan penjualan melalui rekayasa penjualan dan penggelembungan Biaya melalui pembebanan Biaya Jakarta, Biaya Hedging dan Biaya Manajemen Fee dimaksudkan untuk mengurangi besarnya penghasilan kena pajak perusahaan-perusahaan yang berada di bawah AAG,” tulis JPU dalam dakwaannya.
Suwir Laut didakwa menggunakan dakwaan subsidiaritas. Dakwaan primair melanggar pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsider melanggar pasal pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pada 19 Desember 2011 JPU menuntut Suwir Laut dalam dakwaan Primer, menjatuhkan pidana  penjara selama 3 tahun, denda lima milyar, dan barang bukti berjumlah 8144 dokumen dipergunakan dalam berkas perkara lain yaitu tersangka Eddy Lukas dan kawan-kawan.
Namun putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 234/PID.B/- 2011/PN.JKT.PST. tanggal 15 Maret 2012 menyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Terdakwa Suwir Laut karena Prematur tidak dapat diterima.
JPU melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Lagi-lagi hakim pada 23 Juli 2012 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta. Tak puas dengan putusan itu, JPU mengajukan permohonan kasasi pada 17 September 2012 ke Mahkamah Agung.
Dalam memori kasasinya, pada intinya JPU keberatan atas pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri. Pertimbangan Majelis Hakim pengadilan negeri mendasari pendapat ahli perpajakan Sunarto yang intinya menyatakan undang-undang pajak kita menganut paham rechts handhaving dari Belanda yang artinya mendahulukan penggunaan instrument adiministratif atau preventif, sebelum menjatuhkan pidana penjara.
Menurut JPU, dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Indonesia tak mengenal pengertian bahwa harus mendahulukan sanksi administrasi dan tidak mengenal paham rechts handhaving, yang ada adalah penegakan hukum. Pidana dalam undang-undang perpajakan diperlukan dalam pemungutan pajak, guna melindungi kepentingan umum para pembayar pajak yang patuh melaporkan SPT dan keterangan yang benar sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Untuk mencegah perilaku serupa dikemudian hari bagi wajib pajak lain (deterrent effect) agar tidak mengulangi ataupun melakukan kesalahan serupa, agar tidak terjadi meluasnya pelaporan SPT yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga merugikan penerimaan Negara, kepada mereka ternyata telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, maka berdasarkan Teori Relatif atau Tujuan (doeltheorien) untuk penjeraan, perbaikan dan perlindungan kepatuhan pembayar pajak diperlukan pemberian sanksi pidana. 
Pengadilan negeri juga berpendapat, sanksi pidana ialah instrument terakhir bila sanksi administrasi telah gagal, dimana pandangan pengadilan negeri mengenai sanksi administrasi didasarkan pada pendapat ahli hukum administrasi negara Philipus M. Hadjon, bahwa sanksi administrasi itu harus diupayakan terlebih dahulu, baru sanksi lainnya, karena tujuannya adalah pemasukan penerimaan Negara melalui pajak, sehingga kalau ada langkah pidana mestinya menjadi batal demi hukum, sebab menunggu sanksi administrasinya diterapkan dahulu.
Menurut JPU, pandangan demikian tidak tepat., sebab peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia tidak mengenal pendapat sebagaimana dimaksud oleh ahli administrasi Philipus M. Hadjon di atas. Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia memang dikenal 2 (dua) sanksi yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Bahwa terhadap kesimpulan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan tujuan hukum pajak pada dasarnya bukanlah untuk memidana Wajib Pajak, tetapi bagaimana agar uang pajak dapat direalisasikan sebagai sumber penerimaan Negara karena skala prioritas perpajakan lebih ditekankan pada optimalisasi penerimaan Negara bukan pada aspek pidana. 
Sehingga penyelesaian hukum tindak pidana pajak tidak selamanya harus diselesaikan melalui jalur Pengadilan melainkan penyelesaian hukum tindak pidana pajak juga bisa diselesaikan melalui jalur administrasi dengan melakukan pembayaran pajak ditambah sanksi administrasi berupa denda dan ini bisa dipandang lebih penting daripada persoalan tindak pidana yang harus diselesaikan di muka Pengadilan.
Kebijakan Hukum Pajak selama ini adalah Kebijakan Preventif dan Ultimum Remedium. Bahwa yang dimaksud asas ultimum remedium pada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak berarti bahwa tindakan administrasi didahulukan sampai tahap akhir atau sampai Wajib Pajak membayar kekurangan pajaknya berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang bilamana tidak dapat terlaksana baru tindakan represif berupa pemidanaan dapat dilakukan.
Dalam pertimbangan Majelis Hakim Agung dalam tingkat Kasasi, selain membatalkan putusan Pengadilan tinggi, dalam pertimbangannya, tidak hanya menghukum terdakwa Sawir Laut. Korporasi Asian Agri juga ikut menanggung biaya atau mengembalikan pajak Negara yang telah diselewengkan.
Menurut majelis hakim sekalipun secara individual perbuatan Terdakwa terjadi karena ”mens rea” (maksud batin atau niat) dari Terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi, Mahkamah Agung berpendapat apa yang dilakukan Terdakwa  dikehendaki atau merupakan konkretisasi ”mens rea” dari 14 (empat belas) korporasi.
Pembebanan tanggung jawab pidana ”Individual Liability” dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin respondeat superior atau doktrin ”Vicarious Liability” diterapkan pertanggungan jawab pidana kepada korporasi atas perbuatan atau prilaku Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas dan tanggung jawab lagi pula apa yang dilakukan Terdakwa telah diputuskan secara kolektif,” (hlm. 472 Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 2239 K/PID.SUS/2012.)
Menurut Metta Darmasaputra yang kemudian menuangkan perkara ini dalam sebuah buku yang ditulisnya, putusan kasasi Hakim Mahkamah Agung yang melebihi tuntutan JPU, adalah putusan yang sangat progresif, terutama bisa menjadi yurisprudensi untuk melawan kejahatan korporasi di sektor sumberdaya alam. Ia bisa jadi argumentasi hukum segar dan baru mereformasi kiblat teori hukum dari para pakar “hukum” yang masih menganggap bahwa pidana hanya bisa dikenakan pada “orang”, padahal perkembangan zaman, “korporasi” juga bisa dikenakan pidana.
Atas putusan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan lewat Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas pada tanggal 03 Januari 2013 di Jakarta menerbitkan siaran pers dengan judul Putusan MA tentang Kasus Asian Agri, menyatakan sebagai berikut:
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut Umum dalam kasus pajak Asian Agri Group (AAG) dengan terdakwa Suwir Laut alias LIU CHE SUI alias ATAK. Putusan tersebut tercantum dalam Petikan Putusan MA Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan MA pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2012.
Dalam petikan putusannya, MA menyatakan bahwa terdakwa Suwir Laut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menyampaikan Surat Pemberitahuan Dan/Atau Keterangan Yang Isinya Tidak Benar Atau Tidak Lengkap Secara Berlanjut”. Oleh karena itu, kepada terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan mensyaratkan dalam 1 (satu) tahun sebanyak 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG yang pengisian SPT Tahunan diwakili oleh Terdakwa untuk membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang dengan jumlah total sebesar Rp 2.519.995.391.304,- (Dua Triliun Lima Ratus Sembilan Belas Miliar Sembilan Ratus Sembilan Puluh Lima Juta Tiga Ratus Sembilan Puluh Satu Ribu Tiga Ratus Empat Rupiah) secara tunai.
Menanggapi hasil putusan MA tersebut, Ditjen Pajak sangat menghargai putusan tersebut yang mencerminkan tegaknya keadilan dan kebenaran di negeri kita. Ditjen Pajak juga menghargai segala dukungan dari para pihak yang terkait dalam proses hukum yang pada akhirnya memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Putusan MA tersebut sangat bermanfaat untuk menciptakan efek jera bagi pelanggar kewajiban perpajakan dan semakin meningkatkan pemahaman bahwa pidana pajak tidak hanya dapat diterapkan terhadap Wajib Pajak, namun juga dapat diberlakukan bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Untuk selanjutnya, Ditjen Pajak akan semakin memperkuat komitmen melakukan reformasi sistem administrasi perpajakan termasuk penegakan hukum perpajakan secara konsisten terhadap para Wajib Pajak/pihak terkait yang menghindari kewajiban perpajakannya, agar terjadi keadilan bagi masyarakat dalam membayar pajak untuk membiayai penyelenggaraan kehidupan bernegara demi kemakmuran rakyat Indonesia.
Ketika PT PMA merugi, pemegang saham minoritas patut untuk bertanya-tanya, apakah mungkin perseroan PMA tempatnya memiliki saham tersebut kini sedang menjadi sapi perahan dan penjarahan oleh pemegang saham mayoritas? Apakah rugi dalam arti yang sesungguhnya atau sengaja merugi demi menguap keuntungan bagi pemegang saham mayoritas di luar negeri?


[1] http://kalbar .antaranews. com/berita/336301/ditjen-pajak-berhasil-hentikan-tren-merugi-perusahaan-multinasional , diaksses pada tanggal 17 April 2016.