Pencemaran Nama Baik dalam Konteks Perdata, Tidak Monopoli Pidana

LEGAL OPINION
Question: Apakah pencemaran nama baik dapat dituntut secara perdata disamping dituntut secara pidana? Adakah contoh konkret gugatan perdata terkait pencemaran nama baik?
Brief Answer: Pada prinsipnya pencemaran nama baik dapat ditindak secara perdata lewat gugatan, maupun secara pidana lewat laporan tindak pidana hingga pendakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, atau dijalankan secara paralel. Telah terdapat banyak contoh praktik putusan pengadilan yang memungkinkan warga negara ataupun badan hukum untuk mengajukan gugatan perdata atas pencemaran nama baik yang dialaminya.
PEMBAHASAN :
Pasal 1382 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan keadaan.
Pasal 1373 KUHPerdata:
Selain itu, orang yang dihina dapat menuntut pula supaya dalam putusan juga dinyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah perbuatan memfitnah. Jika ia menuntut supaya dinyatakan bahwa perbuatan itu adalah fitnah, maka berlakulah ketentuan-ketentuan dalam pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penuntutan perbuatan memfitnah. Jika diminta oleh pihak yang dihina, putusan akan ditempelkan di tempat umum, dalam jumlah sekian lembar dan tempat, sebagaimana diperintahkan oleh hakim, atas biaya si terhukum.
Melihat ketentuan Pasal 1373 KUHPerdata diatas, menjadi pertanyaan mendasar yang dapat kita ajukan bersama: apakah seseorang tidak dapat diajukan tuntutan pidana bila tiada putusan perdata yang menyatakan dirinya telah melakukan fitnah?
Artinya, bila kita melakukan penafsiran sistematik peraturan perundang-undangan, antara KUHPerdata dan KUHP memiliki suatu benang merah tersendiri. Dalam KUHPerdata telah dinyatakan, Pasal 314 KUHP baru dapat diaktifkan ketika ada putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan fitnah. Putusan perdata tersebut kemudian menjadi alat bukti dalam mengajukan dakwaan bagi tersangka.
Namun teori penulis tersebut dalam praktik tidak berjalan linear. Dalam arti, seringkali terjadi seseorang mengajukan tuntutan pidana fitnah maupun pencemaran nama baik meski belum terdapat putusan perkara perdata yang menyatakan demikian.
Pasal 1374 KUHPerdata:
Tanpa mengurangi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi, tergugat dapat mencegah pengabulan tuntutan yang disebutkan dalam pasal yang lalu dengan menawarkan dan sungguh-sungguh melakukan di muka umum di hadapan hakim suatu pernyataan yang berbunyi bahwa ia menyesali perbuatan yang telah ia lakukan, bahwa ia meminta maaf karenanya, dan menganggap orang yang dihina itu sebagai orang yang terhormat.
Kembali kita dapat mengajukan pertanyaan, sekaligus bukti bahwa langkah perdata adalah lapisan pertama sebelum berlanjut ke pidana yang menjadi lapisan kedua, bahwa tergugat (si pelaku) dapat terbebas dari gugatan perdata, bila ia menyatakan telah menyesali perbuatannya serta meminta maaf. Karena telah menyesali dan meminta maaf dengan cara yang patut, gugatan perdata untuk meminta ganti-rugi tak dapat dikabulkan. Sehingga adalah logis bila gugatan ganti-rugi perdata saja menjadi hapus karena tergugat meminta maaf, maka tiada lagi dasar bagi tuntutan pidana untuk memidanakan pelaku yang telah menyesali perbuatannya dalam ranah perdata. Namun bagaimana jika korban langsung mengajukan tuntutan ranah pidana? Inilah problematika utama yang belum terjawab dalam praktik.
Pasal 1375 KUHPerdata:
Tuntutan-tuntutan yang disebutkan dalam ketiga pasal yang lalu dapat juga diajukan oleh suami atau istri, orang tua, kakek-nenek, anak dan cucu, karena penghinaan yang dilakukan terhadap istri atau suami, anak, cucu, orang tua dan kakek-nenek mereka, setelah orang-orang yang bersangkutan meninggal.
Pasal 1376 KUHPerdata:
Tuntutan perdata tentang penghinaan tidak dapat dikabulkan, jika tidak ternyata adanya maksud untuk menghina. Maksud untuk menghina tidak dianggap ada, jika perbuatan termaksud nyata-nyata dilakukan untuk kepentingan umum atau untuk pembelaan diri secara terpaksa.
Ketentuan Pasal 1376 KUHPerdata diatas sangat kental akan nuansa ilmu hukum pidana, dimana tiada perbuatan pidana tanpa kesalahan batin. Namun yang membedakan, bila dalam ilmu pidana kelalaian merupakan kesalahan, dalam konteks perdata ini Pasal 1376 KUHPerdata telah menyatakan dengan tegas hanyalah “kesengajaan sebagai maksud” untuk menghina yang dapat dibebankan ganti-rugi perdata—“kelalaian” atau khilaf menghina tampaknya tidak membawa konsekuensi hukum.
Begitupula dalam kasus Rumah Sakit OMNI vs. Prita Mulyasari, Mahkamah Agung RI menyebutkan bahwa yang dilakukan Prita bukanlah pencemaran nama baik, namun dilakukan guna mengingatkan masyarakat luas untuk berhati-hati sehingga tujuan utamanya untuk mengingatkan masyarakat agar waspada—pertimbangan hukum mana sesuai dengan ketentuan KUHPerdata diatas: “dilakukan untuk kepentingan umum”.
Pasal 1377 KUHPerdata:
Begitu pula tuntutan perdata itu tidak dapat dikabulkan, jika orang yang dihina itu, dengan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi jika seseorang terus-menerus melancarkan penghinaan terhadap seseorang yang lain, dengan maksud semata-mata untuk menghina, juga setelah kebenaran tuduhan ternyata dari suatu putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau dari sepucuk akta otentik, maka ia diwajibkan memberikan kepada orang yang dihina tersebut penggantian kerugian yang dideritanya.
Yang dilarang dalam ketentuan diatas ialah larangan untuk mem-“bully”.
Pasal 1378 KUHPerdata:
Segala tuntutan, yang diatur dalam keenam pasal yang lalu, gugur dengan pembebasan yang dinyatakan secara tegas atau secara diam-diam, jika setelah penghinaan terjadi dan diketahui oleh orang yang dihina, ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyatakan adanya perdamaian atau pengampunan, yang bertentangan dengan maksud untuk menuntut penggantian kerugian atau pemulihan kehormatan.
Pasal 1379 KUHPerdata:
Hak untuk menuntut ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam pasal 1372, tidak hilang dengan meninggalnya orang yang menghina ataupun orang yang dihina.
Pasal 1380 KUHPerdata:
Tuntutan dalam perkara penghinaan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun, terhitung mulai hari perbuatan termaksud dilakukan oleh si tergugat dan diketahui oleh si penggugat.
Yang perlu kita perhatikan, kadaluarsa menggugat karena penghinaan adalah selama satu tahun, namun kadaluarsa penuntutan pidana atas pencemaran nama baik lebih dari satu tahun. Menjadi pertanyaan besar, bila terhadap pelaku tak bisa lagi digugat perdata karena menghina karena kadaluarsa, apakah dapat dibenarkan jika pelaku kemudian diproses secara pidana? Disini butuh harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Register Perkara No. 673/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel., telah mengabulkan gugatan PT. Teknologi Riset Global Investama yang diwakili oleh Komisaris Utama—putusan mana mengandung kejanggalan oleh sebab hanya Direksi perseroan yang berwenang bertindak mengatasnamakan perseroan terbatas di hadapan persidangan.
Adapun yang didudukkan sebagai Tergugat ialah Riad Oscha Chalik sebagai pribadi dan selaku Ketua Assosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi. Sementara yang menjadi Turut Tergugat ialah Tabloit Prioritas.
Penggugat yang bergerak dibidang telekomunikasi mendalilkan, Tabloid Prioritas terbitan tahun 2012 dinilai telah memberi pernyataan yang tidak benar dan tidak sesuai fakta mengenai Penggugat bahkan menjurus kepada penghinaan dan pencemaran nama baik Penggugat dengan artikel yang menjadi laporan utama dengan tajuk “Mencengkeram Kuat di Telkom”. Artikel tersebut pun kemudian dipublikasikan oleh Turut Tergugat baik secara cetak maupun secara online melalui situsnya.
Secara singkat, Penggugat menilai bahwa tindakan Tergugat menuduh tanpa dasar bahwa Penggugat telah mengeruk dana BUMN, menyuap, dan menerima suap.
Disaat bersamaan, Penggugat telah melaporkan Tergugat kepada Kepolisian Resort Metro Jakarta selatan. Untuk itu, dalam gugatan perdata ini Penggugat menyatakan bahwa Para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena telah menimbulkan kerugian sehingga dapat digugat ganti-rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Penggugat menyebutkan, berdasarkan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati, Tergugat seharusnya memperhatikan pernyataannya akan mempunyai dampak atau akibat yang akan dapat merugikan Penggugat atau tidak, (tambah SHIETRA & PARTNERS: terlebih bila disampaikan kepada pers, sehingga motif batin pelaku menjadi jelas).
Penggugat yakin bahwa Tergugat juga sangat mengerti bahwa dalam dunia bisnis, kehormatan dan nama baik seorang pengusaha sangat tinggi nilainya dan harus senantiasa dijaga, sebab nama baik seseorang merupakan aset yang tak ternilai harganya. Namun pernyataan Tergugat dikeluarkan guna menyerang kehormatan, serta martabat Penggugat tercemar, dipermalukan, dan direndahkan baik dalam kehidupan sosial atau di dunia bisnis dan tindakan Tergugat telah melanggar asas kepatutan.
Dinyatakan pula, bahwa Terggugat telah pula melanggar asas ketelitian dan sikap hati-hati yang harusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan di tengah masyarakat. Tergugat seyogianya berpikir masak-masak sebelum memberikan pernyataan-pernyataan tersebut, apakah pernyataannya akan berdampak buruk atau akan merugikan pihak Penggugat.
Terhadap klaim Penggugat, Tergugat menyatakan bahwa Penggugat telah menggunakan hak jawabnya sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Pers, dan hak jawab tersebut dimuat, sehingga telah memenuhi prinsip jurnalistik yang berimbang, cover both side. Disamping itu, Tergugat dalam artikelnya menulis dengan menggunakan kata “Diduga” dan “Berhembus kabar”, sehingga tetap dalam koridor dugaan.
Berdasarkan Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006, yang disebut dengan “asas praduga tak bersalah” ialah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Atas gugatan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum:
“Menimbang, bahwa perbuatan yang Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri, yang telah diatur dalam Undang-undang atau dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan melawan Undang-Undang.”
“Menimbang, bahwa dalam perkembangannya menurut Arrest Hoge Raad, tanggal 31 Januari 1919, bahwa berbuat atau tidak berbuat merupakan Perbuatan Melawan Hukum, jika:
1.    Melanggar hak orang lain; atau
2.    Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat, atau
3.    Bertentangan dengan kesusilaan; atau
4.    Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
“Bahwa terhadap poin-poin tersebut diatas adalah bersifat alternatif, sehingga dapat dipilih salah satu untuk dibuktikan sesuai dengan fakta persidangan dan apabila salah satu yang dipilih tersebut telah terbukti, maka yang lain tidak perlu dibuktikan lagi dan dianggap telah terbukti.”
Tiba pada amar putusan, Majelis Hakim menjatuhkan amar pada tanggal 19 Juni 2013 dengan bunyi:
“MENGADILI :
1.    Mengabulkan Gugatan Penggugat Untuk Sebagian;
2.    Menyatakan Tergugat dan Turut Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
3.    Menghukum Tergugat untuk membayar secara sekaligus dan tunai ganti-rugi kerugian materiil kepada Penggugat sebesar Rp.30.000.000,-
4.    Menghukum Tergugat untuk membayar secara sekaligus dan tunai ganti kerugian immateriil kepada Penggugat sebesar Rp. 500.000.000,-
5.    Menghukum Tergugat untuk mengajukan permohonan maaf kepada Penggugat dengan memuat permohonan maaf tersebut dalam 3 (tiga) surat kabar nasional selama 5 (lima) hari berturut-turut dan pada tabloit Turut Tergugat selama 3 (tiga) kali penerbitan dengan format yang akan ditentukan oleh Penggugat;
6.    Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
7.    Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.
Banyak hal yang dapat dikritisi dari putusan PN Jakarta Selatan tersebut diatas. Meski demikian, kita menjadi sadar hukum, bahwa tindakan fitnah ataupun tuduhan guna merusak suatu reputasi dapat dijerat, baik secara pidana maupun secara perdata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.