KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Meritokrasi Versus Remunerasi Era Baru Pemerintahan Menuju Sistem Kompetisi

ARTIKEL HUKUM
Pernahkah kita menyadari perbedaan karakteristik antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai instansi pemerintahan dengan mereka yang merupakan para karyawan berbagai Badan Usaha Milik Negara / Daerah (BUMN/D)? Apa yang membedakan sifat serta sikap mereka dalam melayani masyarakat?
Benar sekali, PNS cenderung sok jual-mahal, justru menjadikan masyarakat sipil sebagai pihak yang membutuhkan para PNS ini dalam meminta pelayanan publik. Sebaliknya, sifat “public servant” justru ditampilkan oleh berbagai BUMN/D terhadap pelanggan. Hal ini kontradiktif, sebagaimana kita ketahui di Amerika Serikat, tidak ada istilah “PNS” sebagaimana di Indonesia, namun mereka menggunakan istilah “public servant” yang anehnya justru dimiliki oleh berbagai BUMN/D.
Mengapa hal demikian dapat terjadi? Mengapa pula sistem remunerasi gagal menjadikan masyarakat sipil sebagai pihak yang dilayani oleh para PNS tersebut?
Jawabnya sederhana: tidak ada sistem kompetisi maupun meritokrasi. Selama ini instansi pemerintahan bersifat monopolistik. Sebagai contoh, Anda yang hendak mengurus sertifikat tanah, tidak dapat mengurusnya pada tempat lain selain kantor pertanahan setempat, seburuk apapun pelayanan pejabat di kantor pertanahan tersebut. Baik atau buruk pelayanan mereka, tiada istilah ditinggal "konsumen", karena mereka memegang kuasa monopolistik.
Apa itu meritokrasi? Meritokrasi adalah sebuah peristilahan, yang menggambarkan sistem penghargaan berdasarkan parameter kriteria prestasi dan berbasis kinerja, hal mana bertolak belakang dengan sistem asumsi dalam remunerasi bahwasannya PNS akan terpacu melayani bila memiliki pendapatan yang besar diberikan oleh negara dari pungutan pajak para wajib pajak.
BUMN/D yang bergerak dibidang industri, jasa pelayanan seperti perbankan, manufaktur, dsb, sebagian besar bersifat kompetitif karena adanya kompetitor. Contoh, SPBU dahulu kala dimonopoli Pertamina, dan ketika SPBU dibuka untuk kompetitor, yang kemudian diuntungkan adalah warga masyarakat itu sendiri selaku konsumen.
“Konsumen”, itu kata kunci yang terpola di benak dan mindset berpikir para pengelola BUMN/D dengan baik dan benar, sehingga terjadi iklim persaingana usaha yang sehat serta menguntungkan para pemangku kepentingan (stakeholder) sebagai suatu sistem simbiosis mutualisme.
Dalam ranah pemerintahan lewat aparatus PNS-nya, tidak ada istilah “konsumen”, yang ada istilah mindset terbalik: “Kami, instansi, adalah pemegang monopolistik, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, seburuk apapun pelayanan kami, sebobrok apapun moral kami, warga masyarakat harus dan hanya dapat mengurus perizinan/legalitas/keterangan dari instansi kami.”
Sebenarnya sederhana untuk mengubah mindset para aparatur negara tersebut. Hapus remunerasi, terapkan sistem meritokrasi secara tegas dan konsisten. Contoh, dalam dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, maka besarannya bukan menerapkan sistem paket kucuran dana, tapi berdasarkan indeks kepuasan warga masyarakat untuk region kabupaten/kota maupun provinsi.
Semakin tinggi indeks kepuasan warga suatu kota, sebagai contoh, maka dana alokasi yang didapatkan akan semakin tinggi, sehingga memacu pelayanan publik yang sebaik mungkin, dan mindset dibenak setiap PNS ialah: warga masyarakat sebagai konsumen, dan konsumen adalah raja!
Sebaliknya, semakin rendah indeks kepuasan warga suatu provinsi/desa, sebagai contoh, maka dana alokasi yang yang dikucurkan pemerintah pusat semakin kecil, sehingga timbul efek jera dan efek “cambuk” bagi para aparatur pemerintahan.
Dengan demikian, peristilahan “civil servant” atau “public servant” akan terinternalisasi dalam benak setiap PNS maupun pengambil kebijakan. Tiada lagi PNS galak, PNS sok jual mahal, PNS tidak jelas, PNS gaji buta, PNS pungli, PNS masa bodoh, dan tentunya juga, tiada lagi PNS bodoh, karena bila terdapat pelamar CPNS yang bodoh namun ternyata diluluskan karena kolusi dan nepotisme, maka jadilah instansi tersebut tidak memiliki mutu yang dapat mendongkrak kreatifitas pelayanan maupun inovasi—yang akhirnya akan membuat instansi ini tertinggal.
Lebih progresif lagi, warga masyarakat akan dibebaskan memilih kantor pelayanan publik untuk mengurus hak-hak kependudukan maupun usaha bisnisnya. Contoh, untuk mengurus SIUP/TDP tidak lagi hanya dapat diusur pada kecamatan/kelurahan setempat yang tidak baik pelayanannya, para pelaku usaha dapat memlih alternatif kantor kecamatan/kelurahan lain selama masih dalam cakupan satu provinsi.
Bukankah ini ide serta konsep yang keren dan kreatif? Bagaimana menurut Anda?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.