Fungsi Legal Division / Officer suatu Perusahaan, antara Praktik dan Salah Kaprah

article
Banyak diantara kalangan pengusaha yang salah kaprah terhadap fungsi staf hukum suatu perusahaan. Kita ambil contoh suatu badan hukum Perseroan Terbatas (PT), terdiri dari tiga organ perseroan, yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris. Menurut Anda, apakah seorang Legal Officer / staf hukum hanya menjadi pelayan bahkan robot penurut seorang Direksi yang bisa jadi bertentangan dengan kehendak para pemegang saham perseroan?
Artikel ini akan mengungkap bagaimana kegagalan fungsi suatu staf hukum ataupun divisi hukum suatu perseroan sehingga perseroan jatuh dalam titik nadir. Ambil contoh salah developer raksasa di Indonesia, tersandung kasus tindak pidana penyuapan terhadap proyek reklamasi pantai utara Jakarta, sebutlah ia seorang presiden direktur “Apung Podo-ngiri Land Developer” yang tertangkap tangan menyuap salah seorang anggota DPRD DKI Jakarta untuk mengesahkan Raperda mengenai reklamasi pesisir utara Jakarta.
Jiwa utama divisi hukum ataupun petugas hukum, ialah mengamankan perusahaan dari kegilaan direkturnya sendiri yang bisa jadi bila dibiarkan akan merusak eksistensi perusahaan. Sekarang mungkin tak ada masalah, tapi mungkin dikemudian hari ada yang mempermasalahkan atau terjatuh dalam masalah. Antisipasi kemungkinan terburuk!
Bila pengusaha berpikiran pendek, seorang staf hukum harus berpikiran panjang. Staf hukum bukan karyawan direktur, bukan juga karyawan pemegang saham, namun karyawan badan hukum perseroan itu sendiri!
Seorang Legal Officer yang baik, haruslah “saklek”, kaku, dan keras. Staf hukum yang lembek, licin berkelit saking fleksibelnya, dan pandai berkilah, dapat dinego, dapat ditawar, dapat didikte, bukanlah orang yang tepat untuk duduk di bangku staf hukum.
Seorang staf hukum dibebani tanggung jawab dibidang hukum, namun apa jadinya bila staf hukum ini tidak independen, mudah didikte, dituntut harus menurut buta, terlebih bila beban tanggung jawab tersebut tidak diiringi dengan pelimpahan wewenang ke tangannya—besar kemungkinan hanya akan menjadi “tukang stempel” dan bila terjadi masalah dikemudian hari maka akan dijadikan subjek “kambing hitam” divisi lain yang hendak cuci tangan.
Ironisnya, staf hukum yang kian sempurna justru kian dibenci dan dimusuhi para rekan kerja dari divisi lain (terutama divisi marketing) bahkan oleh direkturnya sendiri.
Kaku itu kelebihan utama orang hukum. Bagamana jadinya bila seorang sarjana hukum saking fleksibelnya sehingga menjadi bela lawan juga bila dirasa lebih menguntungkan membela pihak lawan daripada sekedar hanya membela perusahaan tempatnya bekerja?
Sarjana hukum memiliki dua derivatif, sarjana hukum profesional yang terikat pada kode etik profesi, atau sarjana hukum “tukang hukum” yang tidak memiliki rambu prinsip moral dan etika yang tinggi.
Staf hukum yang baik apakah harus berupa “yes bos, yes man”? Staf hukum harus menjadi "mata dan telinga" ketika pengurus perseroan menjelma/berlaku "buta dan tuli". Pengusaha yang baik akan menjadikan Divisi Hukum perusahaannya bersifat independen dan mandiri dari divisi lain, tiada intervensi apapun yang dapat menjegal suara dan pernyataan Divisi Hukum.
Acapkali staf hukum yang baik tidak dihargai, bahkan dilecehkan, dan bisa jadi tidak dihargai atas upayanya menjaga perusahaan agar tetap bergerak sesuai rambu dan koridor yang selaras dengan hukum negara, untuk tetap berada di lajur yang legal dan benar. Sikap kaku ini dianggap sebagai sifat pembangkang, pemaksaan kehendak, penghambat, bahkan penjegal.
Sungguh ironis menjadi staf hukum kalangan pengusaha di Indonesia yang masih diwarnai budaya corporate yang pragmatis dan non etis dalam berpraktik, bahkan sekaliber “Apung Podo-ngiri Land” yang sudah terkenal kaya raya namun masih demikian lapar mengeruk hingga ke pantai, demikian haus hingga berani berbuat kotor dan mengotorkan diri sendrii. Reputasi yang dibangun berdasarkan ketidakjujuran.
Ketika staf hukum dituntut demikian lentur, fleksibel seperti karet yang dapat disetir dan ditekuk kesana-kemari, jadilah ia seperti Gary dalam kasus OC Kaligis yang hanya menjadi alat bagi atasannya. Yang kemudian terjadi, di persidangan OC Kaligis menyatakan bahwa dirinya tidak memerintahkan Gary untuk menyiap hakim. Jadilah Gary "kambing hitam" OC Kaligis dalam arti yang sesungguhnya. Ketika staf hukum “lemot” dan selalu membenarkan atau bahkan meladeni segala keinginan direkturnya, maka jadilah seperti kasus-kasus penyuapan oleh Dirut “Apung Podo-ngiri Land” karena tidak dicegah oleh staf hukumnya yang tidak efektif karena kaki dan tangan mereka terpasung oleh peraturan perusahaan yang mengerdilkan fungsi divisi hukum perusahaan. Divisi Hukum yang dilemahkan suaranya sama artinya mematikan perusahaan itu sendiri.
Buat apa staf hukum mau diminta ataupun dituntut atasan untuk berbuat kotor? Gaji tidak seberapa, yang dibebani resiko tertangkap KPK dan yang masuk neraka si karyawan bagian hukum ini, tapi yang untung besar justru sang bos. Diperalat hanya untuk sekadar menjadi bumper!
Alm. Harry Natakoesoemah pernah menyampaikan pesan pada para siswanya pada sebuah pendidikan tinggi hukum: ketika atasan meminta kita melakukan sesuatu tanpa dipertanyakan, semisal mengirim sebuah bungkusan hitam yang kita tidak mau tahu apa isinya kepada seseorang, maka hanya ada dua alternatif: melakukan apa yang diperintahkan secara bodoh dengan demikian penurut sementara ternyata bungkusan itu berisi uang dollar yang diberikan pada orang yang disuap bosnya, ketika tertangkap tangan oleh KPK kemudian sang bos berkilah dan jadilah anak buahnya ini menjadi bumper; atau memilih untuk mengundurkan diri.
Apa jadinya bila staf hukum begitu penurut pada atasannya?
Penulis pernah menyaksikan bagaimana rekan kerja hanya dijadikan alat bagi atasan untuk mengirim uang sogokan dan uang pelicin untuk urusan yang menyimpangi hukum. Rekan kerja ini begitu penurut dan tetap meladeni apapun perintah dan kehendak atasannya meski penulis telah mengingatkan bahaya dibalik sikap nurut demikian. Staf hukum yang penurut bukanlah sarjana hukum yang baik.
Penulis sendiri tidak menyetujui segala praktik penggelapan agunan debitor oleh sebuah balai lelang swasta tempat dahulu penulis berkarya selama sekian tahun lamanya sebagai staf hukum dan litigasi, sehingga pada akhirnya penulis memilih mengundurkan diri daripada memilih untuk tetap bergabung dengan perusahaan yang tidak memiliki etika bisnis.
Demikianlah sebelum pada akhirnya penulis berkecimpung dalam bidang konsultasi hukum dan penulis buku. Idealisme penulis tidak mendapat tempat di berbagai institusi yang tidak taat etika bisnis, sehingga pada akhirnya penulis mendapat jalan hidup baru sebagai seorang konsultan hukum mandiri dan independen.
Penulis adalah tipe sarjana hukum yang berfokus pada kelebihan dan talentanya dibidang hukum, ketimbang sibuk mendengar tudingan pihak lain terhadap penulis yang mana menurut mereka sikap kaku penulis adalah suatu kelemahan.
Bagi mereka adalah kelemahan, namun sikap kaku pada prinsip adalah kelebihan utama penulis, sikap kaku mana membuat para klien akan tetap memilih jasa hukum penulis karena yakin dan tahu bahwa penulis menjaga tinggi integritas serta etika profesi, sehingga mereka akan dengan tenang menyerahkan kepercayaan pada penulis untuk memberi pelayanan dibidang hukum.
Demikianlah latar belakang berdirinya SHIETRA & PARTNERS sebagaimana banyak ditanyakan oleh banyak klien.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.