LEGAL OPINION
Question: Untuk akta-akta otentik seperti akta yang dibuat notaris maupun pejabat negara, baik akta jual-beli maupun sertifikat hak atas tanah, dipandang memiliki kekuatan hukum seperti apa bagi pemegangnya bila kemudian digunakan dalam proses persidangan di pengadilan?
Brief Answer: Banyak dikalangan masyarakat awam yang tidak mengetahui bahwa akta notaris yang tidak dibacakan isinya oleh pejabat umum bernama notaris, maka kekuatan pembuktiannya hanya sekadar sebagai akta “dibawah tangan”. Begitupula bila seorang pejabat ternyata tidak berwenang membuat surat keputusan (beschikking), maka surat tersebut bukanlah akta otentik, namun sekadar akta “dibawah tangan” pula. Kata “Akta” itu sendiri memiliki pengertian sebagai dibuat untuk tujuan pembuktian bila suatu saat diperlukan. Akta, baik akta notaris maupun akta dibawah tangan, sejatinya tidak benar-benar dipandang sebagai memiliki kekuatan pembuktian formil mutlak tanpa dapat dibantah. Dalam persidangan, asumsi bahwa akta otentik dapat dibatalkan bahkan dibantah kebenarannya tetap terbuka kemungkinan. Oleh karenanya, akta hanyalah satu dari lima alat pembuktian lainnya yang dikenal dalam hukum acara perdata, yakni: data digital (rekaman, video, dokumen digital, dsb), saksi ataupun keterangan ahli, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
PEMBAHASAN :
Akta otentik kemudian dibagi menjadi dua kategori: akta pejabat umum (notaris) dan akta pejabat publik (aparatur negara). Akta pejabat publik lebih bersifat kuat ketimbang akta pejabat umum. Dalam konsep hukum, dikenal tiga buah ketentuan dasar berikut:
a) Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.”
b) Pasal 1870 KUHPerdata: “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.”
c) Pasal 1873 KUHPerdata: “Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut-serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga.”
Namun benarkan akta otentik bersifat sebagai suatu bukti yang sempurna? Tren kekinian, dimana berbagai peristiwa tidak terduga dan berbagai aksi “penyelundupan hukum” yang dilakukan oleh aktor-aktor hukum maupun oleh pejabat negara dan tidak terkecuali maraknya notaris nakal, membuat sifat pembuktian sempurna suatu akta otentik tidak lagi demikian mutlak, namun telah terdegradasi sedemikian rupa.
Guna mengatasi kerumitan tersebut, dalam proses pembuktian di persidangan tampaknya Mahkamah Agung telah membuat suatu konsepsi sendiri tentang apa itu alat bukti bernama “surat”. Dalam Rakernas MA RI di Manado tahun 2012 antara Mahkamah Agung RI dengan Pengadilan Tingkat Banding seluruh Indonesia mengenai Penggunaan Lembaga Putusan Serta Merta (utivoerbaar bij voorraad), sebagaimana dipaparkan oleh Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung, H. Suwardi, dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 180 ayat (1) HIR mengatur mengenai “putusan serta-merta”:
“Biarpun orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang besit.”
Mahkamah Agung menggunakan istilah “putusan serta merta”, yang artinya hakim berwenang menjatuhkan putusan yang berisi amar, memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan atau banding.
Penerapan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg bersifat fakultatif bukan imperatif, hakim tidak wajib untuk mengabulkannya akan tetapi dapat mengabulkan. Kewenangan hakim menjatuhkan putusan serta merta merupakan diskresioner, oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan putusan serta merta, sekalipun persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang secara formil telah terpenuhi, karena apabila putusan serta merta sudah dieksekusi barang sudah diserahkan kepada pemohon eksekusi kemudian di tingkat banding atau kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan dan gugatan ditolak akan timbul masalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula obyek eksekusi.
Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg pada pokoknya menentukan syarat untuk menjatuhkan putusan serta merta yaitu :
i. Ada surat otentik atau tulisan tangan (handscrift) yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
ii. Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap.
iii. Ada gugatan provisional yang dikabulkan
iv. Dalam sengketa mengenai bezitreecht (benda bergerak yang dikuasai pemegangnya secara fisik de facto).
Kemudian Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 menyebutkan persyaratan untuk menjatuhkan putusan serta merta, salah satunya ialah: gugatan didasarkan pada bukti autentik atau surat tulisan tangan (handscrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
Mengenai nilai pembuktian surat otentik, Undang-Undang dalam hal ini Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg menentukan bahwa surat otentik sebagai salah satu syarat untuk menjatuhkan putusan serta merta. Permasalahannya ialah apakah dengan adanya surat otentik misalnya Sertifikat Tanah, sudah cukup alasan untuk menjatuhkan putusan serta merta?
Mahkamah Agung memberikan panduan serta kaidah sebagai berikut. Bahwa perlu dikaji secara mendalam apa sebenarnya syarat utama untuk menjatuhkan putusan serta merta. Syarat utama menjatuhkan putusan serta merta maupun menjadi mutlak dalam arti sesungguhnya, harus didukung dengan bukti-bukti yang memiliki kekuatan pembuktian (bewijskracht) sebagai berikut:
1. yang cukup sempurna (vollendig bewijskracht)
2. yang bernilai kekuatan mengikat (bidende bewijskracht)
3. yang bernlai kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijskracht).
Mahkamah Agung menyebutkan, apabila dari hasil pemeriksaan gugatan Penggugat didukung oleh alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan baru hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta.
Pertanyaanya berikutnya, apakah bukti otentik berupa Sertifikat Tanah sudah memenuhi 3 unsur nilai pembuktian tersebut? Sertifikat Tanah, misalnya SHM, SHGB, SHGU, walaupun merupakan bukti otentik yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat, baru mempunyai nilai pembuktian yang menentukan apabila tidak ada bukti lawan yang menyanggah. Apabila atas alat bukti otentik berupa Sertifikat Hak Milik tersebut diajukan bukti lawan baik berupa bukti otentik maupun saksi-saksi maka bukti otentik yang diajukan Penggugat tersebut belum mempunyai nilai pembuktian yang menentukan.
Demikian Mahkamah Agung membuat interpretasi atau penafsiran atas apa yang disebut dengan akta otentik yang bersifat sempurna namun belum tentu bernilai menentukan, sebaliknya dapat memiliki nilai pembuktian yang menentukan bila tidak dibantah oleh alat bukti lainnya milik pihak lawan.
Sebagaimana kita ketahui bersama dan sudah menjadi rahasia umum, acapkali terjadi seritifikat hak atas tanah ganda atas bidang tanah yang sama, keduanya merupakan sertifikat otentik, namun belum bersifat menentukan. Ia baru akan bersifat menentukan bila alat bukti “persangkaan” atau “circumstantial evidences” (bukti-bukti yang menunjuk secara tidak langsung pelaku kejahatan) memberikan penghargaan lebih kepada akta otentik tersebut.
…
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.