Fakta Dibalik Praktik Korporasi PT PMA (Penanaman Modal Asing) di Indonesia, TRANSFER PRICING

LEGAL OPINION
Question: Seorang rekan dari luar negeri mengajak perusahaan saya selaku swasta lokal untuk joint venture membentuk badan hukum PT PMA (penanaman modal asing) di Indonesia. Apa yang harus diperhatikan dari segi komposisi kepemilikan saham?
Brief Answer: Anda selaku calon pemegang saham lokal, wajib memiliki penguasaan saham mayoritas secara tunggal, sekalipun regulasi Indonesia memungkinkan penanam modal asing menguasai saham mayoritas. Apapun jenis bidang usahanya yang tertuang dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), Anda wajib bersikukuh menjadi pemegang saham mayoritas guna menghindari terjadinya praktik illegal transfer pricing yang hanya akan membuat PT. PMA tersebut sebagai cara bagi pihak asing mengeruk keuntungan tanpa beban pajak dan juga tanpa memberi hak pada Anda atas hak deviden karena PT PMA akan dibuat merugi secara sengaja dengan mengalihkan kekayaan perseroan pada anak usaha pemegang saham asing di luar negeri (semisal Hong Kong sebagai salah satu tax heaven).
PEMBAHASAN :
Terkadang, dan acapkali sering terjadi, penguasaan jalannya perseroan bukan dibawah kontrol Direksi, namun pemegang saham mayoritas itu sendiri yang dapat mencopot Direksi yang membangkang pemegang saham yang telah menunjuk dan mengangkatnya. Dalam pengalaman SHIETRA & PARTNERS, saham PT. PMA yang dkuasai pihak asing, cenderung merugi bukan karena merugi secara murni, namun sengaja dirugikan karena kekayaan PT PMA digunakan untuk membayar jasa atau harga barang baku dari luar negeri yang tidak lain tidak bukan berasal dari anak perusahaan pemegang saham mayoritas di luar negeri tersebut.
Alhasil, kekayaan bahkan dana cadangan perseroan tidak pernah meningkat meskipun setiap tahun terus mencetak laba bersih, namun disaat bersamaan mencetak berbagai pengeluaran yang mengalir demikian deras ke negara asing. Kerugian ini memang telah dirancang sedemikian pula. Untuk itu, harus ada pemegang saham tunggal lokal yang menguasai setidaknya 51 % (lima puluh satu persen) dari total saham, sehingga kunci “kedaulatan” berada di tangan pemegang saham lokal dalam meminta setiap pertanggungjawaban aksi korporasi yang dilakukan Direksi maupun fungsi pengawasan Dewan Komisaris.
Bila Anda hanya ditawari 50 % atau bahkan kurang dari itu, saran SHIETRA & PARTNERS, lebih baik lupakan. Kedua, jangan bersifat kolektif dengan pemegang saham lokal lain dalam menjadi pemegang saham mayoritas, karena bisa jadi pemegang saham lokal lainnya di-rangkul oleh pihak asing sehingga berpihak pada pemodal asing tersebut sehingga pengendalian perseroan pada akhirnya menguntungkan pihak asing yang berujung pada tiadanya kepastian hasil deviden bagi pemegang saham lokal karena kekayaan dan “darah” perseroan selalu habis mengalir ke luar negeri sepanjang tahun akibat aksi “transfer pricing” yang demikian canggih, tersistematis, dan tersamarkan.
Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Profit Shifting” dalam praktik “transfer pricing”—modus yang masif bahkan dalam prediksi penulis dilakukan oleh seluruh PT. PMA di Indonesia. Betapa tidak, berbagai PT PMA di Indonesia tersebut terus melaporkan diri “mencetak rugi” sepanjang tahun, namun disaat bersamaan semakin betah bercokol di Indonesia. Ada apa gerangan di-“balik batu” ini?
Dari hasil riset SHIETRA & PARTNERS terhadap putusan pengadilan pajak di Indonesia, pelaku transfer pricing ketika melakukan upaya hukum keberatan ke pengadilan pajak, selalu berujung kemenangan bagi pelaku modus transfer pricing—hal yang sungguh mengejutkan dan miris.
Andreas Adoe, praktisi pajak dan pengajar pada Program Administrasi Fiskal Fakultas Administrasi UI, dalam artikelnya berjudul “Penerapan Arm’s Length Principle di Indonesia dan Laporan BEPS – Bagian 1” tanggal 18 Februari 2016[1], menuliskan fakta perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), sebagai berikut:
“Belakangan diketahui bahwa masih terdapat kelemahan atas penerapan peraturan pajak internasional, yang termasuk didalamnya aturan transfer pricing dan arm’s length principle, sehingga perusahaan multinasional tetap dapat melakukan penghindaran pajak dengan mentransfer keuntungan ke negara tertentu dengan tarif pajak rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak yang sering disebut tax haven atau melakukan penghindaran pajak dengan menggeserkan fungsi, aset, resiko hingga aktiva tak berwujud ke negara yang peraturan pajaknya lebih menguntungkan (Profit Shifting).”

“Arm’s length principle merupakan dasar, yang menjadi standar internasional, untuk menentukan harga transfer untuk tujuan pajak, yang digunakan dalam Pasal 9 Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Model Tax Convention, sebagai keadaan yang dibuat atau diberlakukan di antara kedua pihak dalam hubungan dagang atau hubungan keuangan yang berbeda dengan dibuat antara perusahaan independen, maka setiap laba yang seharusnya diakui oleh salah satu perusahaan dalam kondisi tertentu, tetapi dengan alasan kondisi tertentu tersebut belum diakui, maka laba dimaksud dapat dimasukkan dalam laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak.”

“Untuk arm’s length principle, penerapannya menjadi satu sorotan dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) karena telah terbukti sebagai standar yang digunakan otoritas pajak dan wajib pajak untuk menguji harga transfer dari pihak yang memiliki hubungan istimewa. Penekanan permasalahan transfer pricing dalam BEPS secara khusus diberikan untuk:
-        Aktiva tidak berwujud, karena alokasi laba yang tidak tepat;
-        Alokasi resiko yang tidak selalu berhubungan dengan kegiatan yang dijalankan;
-        Tingkat pengembalian pembiayaan yang tidak selalu berhubungan dengan tingkat kegiatan pemberi pinjaman;
-        Karakterisasi ulang atas transaksi yang tidak rasional secara komersial;
-        Pembayaran jasa;
-        Transaksi komoditas; dan
-        Dokumentasi Transfer Pricing.

“Arm’s length principle juga diterapkan di Indonesia dan diartikan sebagai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diterapkan sesuai Pasal 18 Ayat (3) UU Pajak Penghasilan yang mengatakan bahwa: ‘Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.’”

“Penafsiran DJP dalam penerapan arm’s length principle, berdasarkan Pasal 18 Ayat (3) UU PPh, adalah untuk menentukan penghasilan atau laba wajar dari wajib pajak, penentuan biaya mana yang dapat dikurangkan sebagai penghasilan, penerapan arm’s length principle atas pinjaman dari pemegang saham hingga penerapan metode transfer pricing dalam transaksi hubungan istimewa. Secara singkat penerapan arm’s length principle oleh DJP dapat berupa:
a.    Penghasilan wajar;
b.    Biaya yang wajar;
c.     Penentuan utang sebagai modal.


[1] http://www. ortax .org/ortax/?mod=issue&page=show&id=74, diakses pada tanggal 29 April 2016.