Kriminalisasi terhadap Pejabat atau terhadap Jabatan, Dua Konstruksi Yuridis yang Acapkali Mengundang Salah Kaprah dalam Praktik Hukum

LEGAL ARTICLE 
Kini, seolah anti klimaks, Jaksa Agung R.I. yang mendeponering Abraham Samad dan Bambang Wijayanto dilaporkan telah menyalahgunakan kekuasaan ke Bareskrim oleh sejumlah kalangan yang mengaku akademesi kepolisian dan kalangan pengacara.
Mari kita tinjau secara hukum praktik salah kaprah demikian. Kembali kita mengulas kebelakang (flashback), dimana hakim tunggal Sarpin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan Budi Gunawan, dianggap memiliki imunitas sehingga tidak dapat ditindak secara hukum atas putusan yang dibuatnya, karena dirinya memutus atas nama lembaga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bukan memutus atas dan untuk nama pribadinya sendiri.
Bila Hakim Sarpin memutus atas nama dirinya sendiri, tentulah ia tidak memiliki imunitas dan dapat ditindak secara hukum atas perbuatannya yang telah “menyalahgunakan kekuasaan”. Karena ia memutus atas nama lembaga tempatnya bernaung, yakni pengadilan negeri, maka diri sang pejabat ini pun tidak memiliki kewenangan untuk menuntut pencemaran nama baik pihak-pihak yang telah menghina dirinya sebagai “binatang peliharaan BG”.
Kini, secara tidak konsisten, Jaksa Agung R.I. yang menerapkan kebijakan deponering sesuai kewenangannya, dilihat dari sudut pandang “pejabat” bukan “jabatan”, meski sang Jaksa Agung menetapkan deponering atas nama jabatan, atas nama lembaga tempatnya bernaung, yakni Kejaksaan Agung.
Nah, jika Kejaksanaan Agung yang dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal, maka apa sanksi yang bisa didakwakan kepada badan hukum publik bernama “Kejaksaan Agung” ini?
Jika yang dilaporkan oleh para pendukung koruptor tersebut ialah diri pribadi sang Jaksa Agung, dengan mengadukan dirinya selaku pribadi atau “pejabat”, bukan selaku “jabatan”, maka tidaklah mungkin diri pribadi mengatasnamakan Kejaksaan Agung untuk menetapkan deponering, karena deponering adalah kewenangan prerogatif Jaksa Agung selaku Kepala Kejaksaan Agung.
Yang patut kita pertanyakan, para akademisi kepolisian dan kalangan pengacara yang mengajukan laporan kepada Bareskrim guna mengkriminalisasi Jaksa Agung, sebenarnya memahami hukum atau tidak? Jika kalangan sarjana hukum bergelar pengacara dan kalangan akademisi kepolisian selaku penegak hukum justru “keblinger” dengan konsep-konsep dasar hukum, mau diharapkan apa ketika mereka berkiprah di lapangan?
Semua ini adalah salah institusi bernama perguruan tinggi hukum dan Akpol, karena gagal memberikan informasi dan pendidikan reformis yang memadai mengenai hukum. Mereka gagal mencetak para reforman. Alih cendekia, anak muda "digembleng" menjadi manusia berhukum yang pragmatis namun kerdil dalam cara berpikir. Sebaiknya mereka mengulang kembali pendidikan tinggi hukum mereka sebelum membuat malu dengan mencam-puradukkan antara “pejabat” dengan “jabatan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.