Kartel Pertanahan yang Belum Tersentuh oleh Hukum Pertanahan Nasional

LEGAL ARTICLE
Taxi pelat kuning menuduh Taxi pelat hitam telah mengambil ladang pencaharian mereka secara melawan hukum, sementara pengemudi taxi pelat hitam menuduh operator taxi pelat kuning telah memonopoli usaha per-taxi-an disamping mahalnya ongkos taxi pelat kuning yang luar biasa sehingga dapat di tengarai memenuhi unsur-unsur praktik kartelisasi pengusaha taxi. Jika dugaan kartelisasi operator taxi pelat kuning adalah benar, maka adalah kemenangan besar bagi rakyat Indonesia selaku konsumen untuk dapat memilih alternatif: taxi pelat hitam untuk dilegalkan sebagaimana ojek aplikasi pelat hitam (peraturan pemerintah terkait tarif minimum dan maksimum tetap membuka peluang kartelisasi. Petunjuk pertanyaannya: apakah masih dapat kita jumpai taksi yang menggunakan tarif batas minimum? Inilah petunjuk yang sayangnya luput dipahami dan diamati oleh KPPU).
Bila kartelisasi daging ayam dilakukan para pemodal besar dengan memusnahkan ribuan ayam indukan sehingga menimbulkan kelangkaan di pasar, kartel bawang merah dengan menimbunnya, maka bagaimana praktik kartel tanah dilakukan para pemodal dan cukong tanah?
Sebetulnya semua orang sudah tahu jawabannya, termasuk Anda, pembaca artikel ini. Hanya saja artikel singkat ini sengaja penulis sampaikan, untuk membuka mata para regulator untuk segera menyusun reformasi pajak pertanahan.
Para pemodal yang bermain di bidang pertanahan, lebih licik dari spekulan. Bagaimana tidak, harga tanah tidak pernah turun mengingat populasi penduduk kian membengkak. Kedua, bunga KPR tidak "segila" harga kenaikan tanah sehingga para pemodal ini justru memborong berbagai petak tanah dengan fasilitas KPR perbankan.
Ketiga, mereka mendapat keuntungan besar ketika melepas harga tanah/rumah dengan memanfaatkan kebutuhan masyarakat akan salah satu kebutuhan pokok hidup, disamping sandang dan pangan, yakni papan!
Hal ini, praktik pengumpulan dan peng-gorengan harga tanah dengan mengurangi suply atau pasokan tanah/rumah di lokasi pusat bisnis, pada dasarnya memanipulasi sistem pasar suply dan demand yang tidak pernah balance untuk urusan pertanahan.
Menjadi pertanyaan besar, mengapa praktik pemusatan kekuasan tanah dan peng-goreng-an harga tanah ini dibiarkan pemerintah layaknya praktik tuan tanah / partikelir pada era kolonialisasi Hinda Belanda zaman dahulu?
Praktik pertanahan di Indonesia justru bergerak balik menuju kemunduran!
Kaum kecil kian terjepit, tiada rumah dan tergusur ke pinggiran. Sementara pemodal kuat kian memiliki banyak pemupukan kekayaan lewat property. Tidak jarang warga kemudian menjadi penyewa ketimbang pemilik rumah tinggalnya sendiri. Memiliki lebih dari satu property untuk satu kepala keluarga, maka hal tersebut bukan lagi sebagai kebutuhan pokok, namun suatu kebutuhan istimewa.
Bila mobil mewah dan perhiasan dimasukkan sebagai kebutuhan tersier yang dikenakan pajak pertambahan nilai barang mewah yang berbeda dengan PPN biasa kebutuhan pokok, maka begitupula dengan kepemilikan objek property lebih dari satu oleh satu kepala keluarga.
Jika pembiaran dan pengabaian sistem liberalisasi pertanahan demikian terus dibiarkan oleh otoritas negara, penulis menjamin, tidak sampai setengah abad ke depan, masyarakat lemah akan tersingkir dan hanya dapat hidup dalam “pengasingan”.
Hal tersebut hanya dapat dihindari bila hukum perpajakan menerapkan sistem pajak progresif pertanahan.
Praktik kartel pertanahan tidak hanya dilakukan oleh para pengembang swasta, namun juga perorangan, mengingat tanah/rumah adalah barang kebutuhan pokok, sehingga bidang tapak bumi dalam falsafah hukum pertanahan, tidak dapat dibenarkan untuk dimonopoli salah satu atau segelintir pihak.
Hingga sampai kapan harga tanah akan di-“goreng” oleh para pemodal yang mengambil keuntungn dengan memeras warga kelas bawah yang sangat ingin memiliki satu buah rumah sendiri (untuk tempat tinggal keluarganya, bukan untuk investasi, disewakan kembali, dsb)?
Bila penulis diangkat menjadi pemimpin negeri yang lebih luas wilayah laut ketimbang daratannya ini, reformasi pertanahan nasional adalah program utama, sebagaimana selama ini telah demikian lama diabaikan menunggu permasalahan menjelma kanker ganas.
Pajak progresif pertanahan adalah harga mati! Inilah wujud nyata kurangnya daya kreativitas pimpinan bangsa dibidang pertanahan, kurangnya empati penyusun kebijakan, serta sikap masa bodohnya pemangku kekuasaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.