LEGAL ARTICLE
Alokasi
pendidikan sebesar 20% APBN, namun berbagai guru honorer tak kunjung dibayar
gajinya. 70% anggaran POLRI terserap untuk belanja gaji pegawai kepolisian, sementara anggota mereka terus memeraas warga negaranya. Digaji untuk memeras para pembayar pajak. Sendi-sendi public services
tersandera oleh budaya korup dan kolusi yang menjelma benang kusut di republik yang menyerupai negeri antah berantah bernama Republik Indonesia.
Penulis
tak pernah menyetujui istilah “pegawai negeri sipil” (PNS). Sudah saatnya
setiap aparatur negara yang digaji bersumber dari pajak rakyat, disebut “pelayan
publik” (public servants).
Penulis
pun hendak menghapus dari kamus apa yang disebut sebagai “uang negara”. Negara selaku
organisasi rakyat, secara falsafah, tidak memiliki kekayaan. Semua adalah “uang
rakyat”. Banyak aparatur PNS menyandera warga dengan berbagai pungutan liar,
seakan mereka bukan digaji rakyat, namun digaji oleh negara, sehingga mereka
merasa berhak memungut dari warga.
Kini
kita akan memfokuskan bahasan pada program pemerintah yang bernama JKN, Jaminan
Kematian Nasional.
Penulis
berpendapat, BPJS Kesehatan belum saatnya diberlakukan di Indonesia. Mengapa? Karena
masyarakat sehat yang justru mensubsidi masyarakat sakit peserta BPJS. Negara,
dengan ini, mendapat afirmasi dan justifikasi untuk melimpahkan beban
tanggung-jawabnya.
Kedua,
BPJS Kesehatan tidak mendidik. Warga masyarakat Indonesia masih bermental
terbelakang. Bukti: pola hidup tidak sehat kian menjadi karena secara
psikologis, seorang yang merasa aman, terjamin kesehatannya oleh BPJS, merasa
terpanggil untuk merokok tanpa batasan dari sebelumnya hanya beberapa batang
menjadi beberapa bungkus per hati pasca BPJS Kesehatan diberlakukan. Seseorang yang rajin beribadah, timbul sugesti dalam batinnya, bahwasannya kapling di surga telah terjamin untuknya. Alhasil, perilakunya tidak lagi terbendung, ia tidak lagi mampu mewaspadai perbuatannya sendri. Keyakinannya telah menjadikan makhluk yang "buta". Toh, sudah terjamin. Akan aman-aman saja baginya.
BPJS
Kesehatan memberikan citra / kesan terjangkau dan pelayanan yang murah bagi masyarakat.
Timbul image di kepala masyarakat Indonesia yang terbelakang ini, bahwa
kesehatan adalah murah. Ia tidak lagi memandang mahal dan prestise suatu
kesehatan untuk dijaga, terlebih untuk dibugarkan dan diprimakan. Jadilah masyarakat
layu, lembek, dan loyo pesakitan yang membuang waktu produktifnya untuk mengantri
di loket pelayanan rumah sakit peserta BPJS, bangga mendapat pelayanan dokter secara cuma-cuma.
Ketiga,
masyarakat sehat mensubsidi perusahaan rokok, karena pencerimaan cukai rokok
lebih kecil dari pengeluaran masyarakat akan dampak rokok, terutama perokok
pasif. Sama anehnya dengan rokok terus dilegalkan di Indonesia dengan alasan melindungi para buruh tembakau meski lebih dari 60% bahan tembakau untuk produksi pabrik rokok di Indonesia justru diimpor dari luar negeri. Jadi petani mana yang hendak dilindungi oleh pemerintah?
Keempat,
gegar budaya masyarakat Indonesia yang sebenarnya terbelakang kian dimanjakan. Mereka
yang selama ini hidup jorok, membuang sampah sembarangan, memasak dengan minyak
jelantah, makan tanpa cuci tangan, diperparah oleh mental pragmatis BPJS yang menyiarkan secara masif bahwa sehat
adalah mudah dan murah—yang senyatanya mahal dan sulit. Lengkap sudah kebodohan dan pembodohan di republik yang sudah cukup matang dari segi umur ini.
Kelima,
BPJS Kesehatan mendidik masyarakat untuk bersikap naif nan munafik. Tidak sedikit
contoh masyarakat yang menjadi kesaksian dengan mata kepala penulis pribadi:
orang kaya memilih ikut BPJS Kesehatan ketimbang membeli obat sendiri. Dengan kata
lain, masyarakat telah mensubsidi orang kaya.
Keenam,
pekerja memberi subsidi pada pengangguran karena biaya BPJS Kesehatan tenaga
kerja itu hitungan 5% (4% pemberi kerja dan 1% ditanggung pekerja). Coba kita
hitung, bila gaji seorang karyawan ialah Rp. 10.000.000 per bulan, artinya
pekerja ini membayar BPJS Kesehatan sebesar Rp. 100.000 per bulan dan pemberi
kerja Rp. 400.000,-. Bandingkan dengan peserta BPJS Kesehatan mandiri, yang
hanya membayar iuran sebesar Rp. 80.000 untuk pelayanan kelas I. Dengan kata lain, pekerja formal yang selama ini membiayai program BPJS Kesehatan, bukan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Republik Indonesia hanya mencatut nama para peserta BPJS Kesehatan pekerja formil yang dipaksa masuk sebagai peserta BPJS Kesehatan, yang kemudian pungutan persentase gaji mereka digunakan sebagai sumber subsidi silang. Modus penipuan oleh negara terhadap warga negaranya sendiri.
Ketujuh,
BPJS Kesehatan telah melakukan kebohongan publik dan kebodohan publik, seakan
terjamin, sementara memberikan kematian pada ujungnya. Dokter tahu obat yang
diberikannya tidak mampu mengobati, namun pasien percaya obat tersebut akan manjur
dan mampu menolongnya. Penurunan kesehatan dan kualitas hidup menjadi objek
pertaruhan, dan negara seakan cukup puas ber-ju-di dengan keselamatan hidup warga
negaranya.
Penulis
bukan tidak memungkiri banyak masyarakat tertolong oleh BPJS. Namun bila kita
bersikap rasional, kesehatan adalah barang mahal. Untuk menjaga kesehatan kita
perlu berolahraga, pola hidup sehat dalam disiplin yang ketat, makan makanan
bergizi yang membutuhkan biaya, maka bagaimana mungkin mengharapkan pelayanan
kesehatan yang murah untuk suatu kesehatan sebagai suatu jalan pintas?
Jika
benar ada pelayanan kesehatan murah, maka siapa yang akan menanggung biaya
subsidi? Inilah pembodohan publik paling pertama.
Segala
sesuatu yang tidak dibatasi sumber daya yang dibuka bagi publik, maka akan
terjadi penjarahan besar-besaran, tidak terkecuali penjarahan terhadap dana
kesehatan. Masyarakat menjadi tidak terpanggil menjaga pola hidup sehat, mau
tidak mau negara menaikkan plafon iuran atau justru menganggarkan APBN lebih
besar lagi. Tarik-menarik ini menjelma sandera-menyandera. Ingat, masyarakat Indonesia
masih terbelakang! Belum terdapat bukti ilmiah antara korelasi antara prestasi
akademik dengan kemajuan mental. Masyarakat dididik menjadi manja, sedikit flu, dokter. Sedikit demam, dokter. Bangsa penyakitan. Yang penting bos (baca: presiden) senang.
Regulasi
Indonesia masih memungkinkan rokok diakses secara luas oleh berbagai kalangan masyarakat, yang
dengan demikian, produk-produk konsumsi yang tidak sehat kian menjamur, dimana
para sapi perahan mereka (konsumen bodoh yang terjamin oleh BPJS) akan tetap
hidup sebagai zombie hidup kecanduan rokok, mi instan, alkohol, obat pembunuh nyamuk yang dikemas bak parfum seharum bunga lavender, junk food, penyedap kimiawi, pengawet mayat, yang terus menjadi ATM dan pundi uang korporasi produk-produk demikian, dimana
pada akhirnya semua korporasi besar tersebut justru disubsidi oleh BPJS
Kesehatan bila kita mengusut “rantai konsumsi” dari hulu hingga hilirnya.
Itulah
sebabnya sebagaimana telah diterangkan di muka, BPJS Kesehatan belum saatnya
dilaksanakan hingga keterbelakangan bangsa terlebih dahulu dimusnahkan. Janganlah bandingkan dengan Amerika Serikat yang telah berhasil memberantas sebagian bibit-bibit kebodohan bangsanya. Namun bagaimana
mungkin mau mencerdaskan bangsa, bila para pimpinan bangsa masih membodohi bangsanya
sendiri.
Suatu
benang kusut, lingkaran setan, demikian pepatah berkata. Bagaimana menurut pandangan Anda?