Tanggung Jawab Penyedia Jasa Konstruksi atas Kegagalan Bangunan

LEGAL OPINION
MASA PERTANGGUNGAN PENYEDIA JASA KONSTRUKSI TERHADAP KEGAGALAN BANGUNAN PASCA PEMBANGUNAN DAN SERAH TERIMA
Question: Kami adalah penyedia jasa konstruksi suatu jembatan penyeberangan. Dalam kontrak jasa konstruksi yang ditetapkan sepihak oleh penyelia tender, disebutkan bahwa tanggung jawab kegagalan konstruksi ada pada beban kami selama 15 tahun. Bagaimana jika seandainya terjadi kegagalan konstruksi pada tahun ke-15 tersebut, sementara undang-undang mengatakan bahwa tanggung jawab kami hanya sebatas 10 tahun sejak serah-terima?
Brief Answer: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi hanya mengatur perihal “kegagalan bangunan”, yang dapat dikatakan bahwa undang-undang sama sekali tidak memiliki pengaturan ketika terjadi “kegagalan konstruksi”. Untuk pekerjaan konstruksi yang telah selesai serta dilakukan serah-terima, istilah yang dikenal dalam Undang-Undang ialah sebagai “kegagalan bangunan”.
Mungkin permasalahan paling utama ialah ketika undang-undang membagi antara “perencana konstruksi” dan “pelaksana konstruksi”. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi merupakan gabungan antara Pekerjaan Konstruksi dan jasa Perancang Konstruksi. Sementara bila pihak “pelaksana konstruksi” (yang hanya mengerjakan sesuai desain yang ada) ialah pihak yang berbeda dari “perencana konstruksi” yang membuat rancangan konstruksi, maka bila terjadi “kegagalan bangunan”, menjadi bobot tanggung jawab siapakah? Untuk ulasan ini, SHIETRA & PARTNERS mengasumsikan dasar hubungannya ialah “kontrak pekerjaan terintegrasi”.
PEMBAHASAN:
Sebelum menelaah permasalahan hukum tersebut, terlebih dahulu kita perlu mengenali beberapa peristilahan teknis-yuridis dalam hukum jasa konstruksi, antara lain:
-  Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
-  Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
-  Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
-  Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi.
-  Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.
-  Sub penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi kepada Penyedia Jasa.
-  Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
-  Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan adalah pedoman teknis keamanan, keselamatan, kesehatan tempat kerja konstruksi, dan perlindungan sosial tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
-  Kegagalan Bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi hanya mengatur perihal “kegagalan bangunan”, seolah sama sekali tidak memiliki pengaturan ketika terjadi “kegagalan konstruksi”—dalam pengertian, terjadinya kegagalan saat proses pengerjaan konstruksi yang belum selesai dan belum diserah-terimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa. Padahal, sebagaimana kita ketahui, keadaan kahar (force majeure) dapat terjadi kapan saja, termasuk terjadi tepat pada saat proses pembangunan konstruksi gedung / bangunan masih berlangsung.
Namun SHIETRA & PARTNERS tidak sedang membahas perihal “kegagalan konstruksi” dalam pengertian / konteks proses pengerjaan konstruksi masih sedang berlangsung. Untuk itu, penulis mengusulkan untuk terlebih dahulu membedakan antara “kegagalan konstruksi” dan “kegagalan bangunan”.
Untuk pekerjaan konstruksi yang telah selesai dan telah diserah-terimakan, maka istilah baku yang berkorelasi ialah “kegagalan bangunan”. Sementara untuk proses pekerjaan konstruksi yang belum selesai, sekalipun belum diserah-terimakan, korelasi istilah yang tepat ialah “kegagalan konstruksi”. Untuk itu, perlu dibiasakan penggunaan istilah “bangunan jembatan” bila pengerjaan jembatan telah selesai, bukan lagi sebagai “konstruksi jembatan”.
Terdapat pengaturan yang sangat terkait erat mitigasi “kegagalan konstruksi”, yakni Pasal 59 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi:
(1) Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.
(2) Dalam memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa harus memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a.  hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;
b.  rencana teknis proses pembangunan;
(5) Dalam menyusun Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan untuk setiap produk Jasa Konstruksi, menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memperhatikan kondisi geografis yang rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun.”
Dengan demikian, merujuk ketentuan yuridis diatas, faktor kejujuran dan keterbukaan informasi dari pengguna jasa yang merupakan warga lokal, menjadi sangat penting perihal bentang alam, sejarah dan kondisi tanah, serta kecenderungan tingkat iklim, salah satunya ialah kondisi endemik cuaca di wilayah setempat memiliki kecenderungan hujan ekstrim berpotensi banjir bandang atau tidaknya, sebagai contoh, saat proses penawaran pengerjaan jasa konstruksi bagi pihak kontraktor, yang bisa jadi berasal dari kota atau bahkan provinsi lain yang tidak mengetahui seluk-belik kondisi cuaca setempat. Dipertegas lewat ketentuan Pasal 47 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, yang menyebutkan : “hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi.”
Perihal masa pertanggungan, SHIETRA & PARTNERS akan membuat sedikit perbandingan antara Undang-Undang Jasa Konstruksi yang “lama” dan Undang-Undang yang “baru”. Pertama-tama kita telaah ketentuan Undang-Undang yang “lama”, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi:
- Pasal 25:
(1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan.
(2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
- Pasal 26:
(1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
(2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.
- Pasal 27: “Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi.”
Kini, kita bandingkan dengan pengaturan norma dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Undang-Undang “baru”), yang hanya mengatur sebagai berikut:
- Pasal 65:
(1) Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi.
(2) Dalam hal rencana umur konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi.
(3) Pengguna Jasa bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Ketentuan jangka waktu pertanggung-jawaban atas Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dinyatakan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan pertanggung-jawaban Penyedia Jasa atas Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Pasal 66:
(1) Pengguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat Kegagalan Bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu Kegagalan Bangunan kepada Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan terjadinya Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
- Pasal 67 Ayat (1) : “Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa wajib memberikan ganti kerugian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”
Sekalipun dalam Kontrak Jasa Konstruksi yang ditetapkan pengguna jasa bahwa tanggung penyedia jasa konstruksi atas kegagalan bangunan adalah selama 15 tahun, namun Undang-undang Jasa Konstruksi telah secara tegas menyatakan limit batas waktu pertanggung-jawaban penyedia jasa adalah (sebatas) selama 10 tahun. Dasar hukumnya, ialah norma Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa perjanjian tidak dapat menyimpangi ketentuan imperatif yang telah digariskan oleh undang-undang.
Sehingga, jika terjadi kegagalan bangunan setelah melampaui jangka waktu maksimum masa pertanggungan tersebut (10 tahun), maka atas kegagalan bangunan yang menyebabkan kerugian bagi pihak ketiga, adalah menjadi beban pihak pengguna jasa atau pengelola bangunan yang bertanggung jawab secara penuh—tidak lagi menjadi beban tanggung jawab kontraktor.
Hal demikian tidaklah mustahil diberlakukan secara hukum, mengingat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi itu sendiri merujuk asas hukum perikatan perdata sebagai dasar hubungan hukum antara pengguna dan penyedia jasa, sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 40:
“Ketentuan mengenai pengikatan di antara para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum keperdataan kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Solusi lainnya bagi pihak pengguna jasa sebagai alternatif legal yang lebih sahih, ialah dibuatnya perjanjian secara terpisah, sebagai contoh antara Kontrak Jasa Konstruksi yang memberi masa pertanggungan terhadap kegagalan bangunan selama 10 tahun, dimana pada tahun ke-9 dapat saja dibuat dan disepakati bersama perjanjian pengelolaan atau perawatan dan inspeksi konstruksi gedung yang mana atas kegagalan bangunan akan menjadi tanggung jawab penyedia jasa maintanance tersebut dikemudian hari—atau jika perlu, telah disepakati sejak serah-terima bangunan dengan pihak kontraktor, sesuai asas kebebasan berkontrak (asas pacta sunt servanda).
Memang cukup mengherankan redaksional pengaturan norma dalam Undang-undang tentang Jasa Konstruksi, baik Undang-Undang versi yang lama maupun Undang-Undang yang terbaru, mengingat masa pakai konstruksi secara wajar jauh melampaui 10 tahun, sehingga terhadap konstruksi yang terjadi kegagalan kurang dari usia belasan tahun, patut dipertanyakan, terkecuali terjadinya force majeure.
Pihak ketiga, yang mengalami kerugian akibat kegagalan bangunan sejak diserah-terimakan kepada pengguna jasa oleh penyedia jasa konstruksi, sepenuhnya tanggung jawab terletak pada pundak pengguna jasa untuk melakukan inspeksi ketahanan konstruksi serta perawatannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.