Tiada Pengaturan Sanksi dalam Kontrak / Perjanjian, Bukan Alasan Pemaaf ataupun Alasan Pembenar untuk Melanggar Kontrak maupun Kelaziman dalam Dunia Niaga

LEGAL OPINION
Question: Apakah benar pandangan banyak kalangan sarjana hukum yang menyatakan bahwa jika terdapat pengaturan dalam kontrak / perjanjian, maka salah satu pihak dalam kontrak tersebut dapat berbuat sesukanya tanpa konsekuensi hukum? Bagaimana juga jika terdapat pengaturan dalam kontrak, namun tiada disertai klausul mengenai sanksi bila salah satu pihak melakukan pelanggaran terhadap perikatan dalam kontrak yang tidak bersanksi tersebut?
Answer: Penulis dengan melawan mainstream, menjadi sarjana hukum di Indonesia yang menyatakan dengan tegas, bahwa sifat hukum perikatan kontrak perdata hanyalah bersifat opsional, dalam arti bila terhadap hal tertentu tidak diatur dalam kontrak, maka hukum negara dan hukum kebiasaan niaga tetap berlaku (shall applied and revealed) bagi para pihak dalam kontrak. Terhadap kontrak yang tidak mencantumkan ketentuan sanksi, bukan berarti para pihak bebas melanggar kontrak, sebab hukum mengandung sanksi hukum, berbeda dengan saksi sosial. Pelanggar kontrak dapat dikenakan gugatan ganti-rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata sebagai dasar gugatan wanprestasi, sebagai suatu “kontrak sosial”. Klausul-klausul dalam kontrak merupakan norma primer, bila tidak mengatur secara tersendiri norma sekundair mengenai sanksi, maka berlakulah norma sekundair dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perikatan tak hanya lahir dari perjanjian, namun juga dari undang-undang.
PEMBAHASAN :
Contoh kasus berikut menjadi ilustrasi sempurna argumentasi yang diajukan oleh penulis selaku pencetus teori yang mencoba melepaskan diri dari kungkungan doktrin usang.
Terdapat sebuah kasus yang bermula dari sengketa wanprestasinya debitor melunasi hutang, namun tidak terdapat ketentuan mengenai bunga yang dapat ditagih oleh kreditor. Dengan demikian, menjadi isu hukum: dapatkah kreditor menagih hutang pokok plus bunga terhadap sang debitor?
Fakta hukumnya, tidak terdapat pengaturan mengenai sanksi maupun bunga dalam kontrak. Namun, mengapa kreditor dapat menggugat dan pengadilan dapat menjatuhkan putusan dan perintah penghukuman jika hal tersebut tidak lain tidak bukan ialah ketentuan mengenai sanksi, sekalipun itu tidak diatur, bahkan pinjam-meminjam uang secara lisan pun tetap dapat dikenai sanksi.
Mengenai bunga yang tidak diatur, bukan berarti debitor bebas dari tanggung jawab beban bunga atas pokok pinjaman. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI yang telah menentukan bahwa jika dalam hal pinjam-meminjam jika semula tidak ditentukan bunga, maka bunga yang dapat dikenakan sebesar 6 % (enam persen) per tahun. Hal ini bersumber dari Pasal 1365 KUHPerdata. Baik pasal mengenai wanprestasi maupun pasal 1365 KUHPerdata, keduanya tunduk pada buku ketiga KUHPerdata mengenai perikatan.
Ketika sanksi tidak diatur, maka hukum negara dan kebiasaan niaga yang berlaku. Prinsip ini berlaku juga dalam konteks sengketa sewa-menyewa rumah. Suatu perjanjian sewa yang tidak mencantumkan masa jangka waktu sewa, bukan diartikan penyewa dapat menyewa seumur hidupnya, bukan pula diartikan tiada sanksi yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan sekalipun ketentuan mengenai sanksi tersebut tidak diatur dalam perjanjian sewa. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah mengatur, perjanjian sewa tanpa kejelasan batas wantu, hanya berlaku untuk 3 (tiga) tahun sejak perjanjian itu ditanda-tangani atau sejak perkara itu diputus dengan kekuatan hukum tetap oleh pengadilan.
Pengaturan dalam kontrak/perjanjian, bukanlah harga mati yang “saklek”. Hukum kontrak selalu “dibayang-bayangi” hukum negara dan kebiasaan niaga dan kepatutan dalam pergaulan hidup bermasyarakat; dalam arti bila pengaturan dalam kontrak tidak mengatur secara spesifik, maka hukum negara lewat Pasal 1365 KUHPerdata yang akan berlaku.
NOTE: teori ini murni secara pribadi dicetuskan pertama kali oleh Hery Shietra, S.H., peneliti hukum yurisprudensi sekaligus berpraktik sebagai konsultan hukum di tanah air. Dilarang keras bagi siapapun yang mengutip maupun mangakui teori ini tanpa menyebutkan sumber asal teori yakni Hery Shietra, S.H. selaku pencetus dan yang telah menelurkan teori komprehensif dalam menafsirkan keberlakuan hukum perikatan perdata yang modern.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.