Menuju Era Pajak Progresif Hak atas Tanah

ARTIKEL
Question: Saat ini banyak bidang tanah yang dikuasai oleh para cukong dan mafia, alias orang-orang tertentu saja yang menguasai berbagai hak atas tanah. Sebagaimana kita ketahui bersama, investasi yang paling menguntungkan ialah investasi pada bidang tanah. Imbal balik (return) investasi pada tanah melampaui keuntungan investasi pada logam mulia emas terlebih deposito. Apakah  tidak ada pengaturan pemerintah yang pro rakyat, sehingga terhadap permukaan bumi ini tidak hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu saja, dan bisa diakses oleh semua warga negara?
Answer: Pemerintahan yang baik akan menyadari bahwa selain sandang dan pangan, salah satu kebutuhan pokok warga negara ialah apa yang disebut sebagai “papan”, alias rumah tinggal yang baik dan layak. Sayangnya, sampai saat ini belum terbentuk ketentuan mengenai pajak progresif yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang menjadi “kartel” atau para cukong tanah yang menguasai berbagai bidang tanah secara masif. Program Land Reform praktis tidak berjalan, karena rendahnya kesadaran berwirausaha para petani di Indonesia yang bermental buruh—menggarap dan menerima upah harian ketimbang menanam modal pada tanah sendiri. Memang hukum agraria / pertanahan di Indonesia masih menerapkan pengaturan mengenai luas tanah maksimum yang dikuasai oleh satu pihak, namun minim pengawasan dan tidak membuat gentar para “bos” tanah untuk menjadi penguasa berbagai bidang tanah.
PEMBAHASAN :
Selama sekian tahun menjadi praktisi dibidang hukum pertanahan, berikut pandangan pribadi penulis terhadap problema dilematik yang cepat atau lambat akan kita hadapi mengingat luas permukaan tanah tidak akan dapat mengakomodasi tingkat perkembangan penduduk.
Pertama, orang asing tetap tidak diperkenankan untuk memiliki hak atas tanah berupa Sertifikat Hak Milik di tanah air, terkecuali kedepannya dapat dimungkinkan warga negara asing memiliki SHMRS atas saturan rumah susun berupa apartemen. Beberapa pertimbangan penulis, antara lain:
1.    Menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA), maupun pasar bebas global, dimana pergerakan arus penduduk asing akan mengalir kian mudah ke dalam Indonesia, maka permintaan akan hak atas tanah yang dapat dimiliki tentunya akan meningkat. Meningkatnya permintaan, mengakibatkan naiknya harga hak atas tanah dikarenakan suply tidak sebanding dengan demand;
2.    Keliru membandingkan dengan sistem hukum Singapura yang memungkinkan warga negara asing menjadi pemilik hak atas tanah. Singapura, menerapkan sistem vertical house, dalam artian berupa rumah susun. Landed house tidak populer di Singapura, sehingga dapat kita simpulkan bahwa hak milik yang ditawarkan Singapura adalah “gimmick” semata. Mengingat Satuan Hak Milik Atas Rumah Susun (SHMRS) senyatanya hanyalah “hak milik semu”, dikarenakan SHMRS berdiri diatas “tanah bersama” berupa HGB atau bahkan Hak Pengelolaan. SHMRS Anda berdiri diatas "tanah bersama";
3.    Keliru membandingkan dengan sistem hukum pertanahan China yang memberikan hak penguasaan bagi investor asing dalam menguasai hak atas tanah selama 100 tahun. China, memiliki daratan yang lebih luas dari Indonesia yang mayoritas demografi berupa lautan. Hak Guna Bangunan (HGB), maupun perpanjangannya, sudah cukup mengakomodasi proyeksi bisnis yang dapat dioperasional hingga lima puluh tahun, disertai hak untuk mengajukan pembaharuan hak atas tanah dikemudian hari. Itu jualah sebabnya undang-undang tentang penanaman modal di Indonesia dibatalkan pasal mengenai pemberian hak perpanjangan HGB dan HGU dimuka yang oleh Mahkamah Konstitusi dipandang tidak relevan terkait iklim investasi yang lebih banyak dipertimbangkan faktor politik dan faktor perburuhan pada tempat penanaman modal.
 Pada prinsipnya tidak dibutuhkan penjelasan berupa seminar-seminar terkait investasi property. Hak atas tanah permukaan bumi, terutama di Indonesia, tidak pernah mengalami tren penurunan harga, dimana seiring perkembangan ekonomi dan industri, mobilisasi penduduk serta emigrasi ekspatriar mengakibatkan harga pasar hak atas tanah senantiasa menanjak naik dengan kurva yang curam ke atas, tak pernah terjadi dalam sejarah properti Indonesia harga tanah/rumah jatuh terjal ke bawah.
Dibandingkan investasi deposito, maupun investasi pada batang emas, investasi hak atas tanah merupakan investasi dengan tingkat return yang tertinggi di Indonesia. Hal ini telah disadari jauh pada dekade-dekade lampau, namun disayangkan, pemerintahan belum mampu melihat secara peka isu-isu dibidang pertanahan yang bersifat laten sebagai suatu program kerja primair yang menjadi prioritas.
Terbukti dari karut-marutnya masalah pertanahan di tanah air, lambannya reformasi regulasi dan aparatur di bawah naungan Kementerian Agraria/Pertanahan di tanah air. Tampak tidak terdapatnya rasa kemendesakan untuk menjadikan pembaharuan mental aparat serta hukum  pertanahan sebagai program prioritas pemerintah dan legislator, menambah tingkat keparahan terhadap hak setiap warga negara untuk mengakses hak atas tanah.
Sama seperti petani gurem (bagi hasil) yang hanya menggarap ladang dengan sistem bagi hasil dengan pemilik ladang guntai, tren terbaru penduduk Indonesia menjadi penghuni bukan pemilik, dalam arti mereka hanya menghuni dengan status sebagai penyewa, karena faktor tingginya harga tanah dan rumah yang menggila sejak dua dekade terakhir. Kepada siapa mereka menyewa? Kepada orang-orang tertentu saja, menyerupai praktik kartel dalam terminologi hukum persaingan usaha.
Bayangkan jika orang asing diizinkan memiliki hak milik atas tanah dalam arti hak atas permukaan bumi, dipastikan harga pasar tanah menjadi demikian melangit, sehingga kian tak terjangkau oleh warga negara lokal. Kebijakan ekonomi destruktif yang akan terjadi bila hal demikian di-golkan oleh legislatif. Sifat konservatif Undang-Undang Pokok Agraria tetap perlu dipertahankan sebagai bagian dari jati diri bangsa. Ada kalanya kita bersifat konservatif ortodoks, dan ada kalanya kita perlu bersifat “agresif” berekspansi dalam ber-hukum dan berbisnis.
Salah satu solusi dari kusutnya permasalahan pertanahan ini, ialah sudah saatnya membentuk dan menerapkan sistem pajak progresif terhadap para pemegang hak atas tanah, dengan ilustrasi sebagai berikut:
-        Sistem Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak lagi bersifat flat, namun progresif seperti sistem pajak progresif kendaraan bermotor;
-        Sistem pajak tanah yang bersifat progresif, diberlakukan terhadap kelipatan 100 m2 yang dikuasai oleh satu pihak, dimana pada kelipatan meter persegi ke-200, pajak dibebankan 400% alih-alih 200%, yang jika kita proyeksikan lebih lanjut dengan kelipatan demikian, maka untuk penguasaan hak atas tanah seluas 1.000 m2, maka 2.000% pajak progresif diberlakukan, sehingga dengan demikian mengurungkan niat para calo dan cukong tanah dalam melanggengkan praktik “tuan tanah” partikelir yang selama ini dibiarkan oleh republik ini.
-        Sistem ini pun diterapkan per regional propinsi disamping sistem pajak progresif luasan tanah. Sebagai contoh, untuk penguasaan hak atas tanah di wilayah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dsb, diterapkan sistem faktor kepadatan penduduk, sehingga dari 2.000% dalam contoh diatas, sebagian tanah terletak di Jakarta yang menerapkan faktor kepadatan penduduk dengan menambahkannya kembali dengan pengalian angka 10, sebagai contoh, maka pajak progresif atas 500 m2 tanah di Jakarta pihak pemegang hak atas dibebani 1.000% x 10 = 10.000%; yang jika ditotalkan dengan tanah yang terletak di luar Jakarta maka menjadi 10.000% + 1.000% menjadi 11.000%. Dengan demikian, investasi dibidang tanah tetap menguntungkan karena faktor tidak berimbangnya supply and demand, namun untuk penguasaan hak atas tanah diatas 100 m2, praktis pemegang hak atas tanah akan merugi alih-alih “beternak uang”.
Pemikiran dan ide ini urgent, diinspirasi oleh sistem finansial dan moneter di negara Jepang, dimana pihak penabung/nasabah alih-alih mendapat bunga atas tabungannya, jumlah saldo rekening mereka justru akan berkurang akibat pemerintah / otoritas Jepang menerapkan kebijakan sistem bunga negatif alih-alih bunga positif, sehingga dengan demikian pemilik dana akan memilih untuk meninvestasikan dana yang dimilikinya alih-alih menempatkannya pada perbankan.
Membiarkan warga negara hanya bisa menjadi penyewa tanah di negeri tanah airnya sendiri, dimana pihak pemilik tanah menjadi tuan tanah layaknya “negara di dalam negara”, dimana ternyata hanya pihak-pihak tertentu saja yang menjadi penguasa dan pemilik hak atas tanah, melukai sendi negara berkonstitusi.
Investor hanya diperbolehkan memiliki sebanyak-banyaknya SHMRS, yang merupakan kepemilikan “semu”, karena dilandasi oleh sistem “tanah bersama” yang “itu-itu saja” sebanyak apapun SHMRS yang bertumpuk diatasnya, disamping secara ekonomi SHMRS tidak selalu memiliki tren/kecenderungan harga naik, banyak contoh kasus SHMRS kios maupun SHMRS apartemen yang justru anjlok harganya akibat sepi disamping biaya perawatan yang terbilang berbiaya tinggi.
Meski demikian, bukan diartikan penulis memandang bahwa warga negara dapat "berkembang biak" dengan leluasa, tanpa menghiraukan luasan tanah yang dapat dijadikan pemukiman, mengingat pula kian tersudutnya luasan tanah pertanian akibat invasif kebutuhan pemukiman dan industri. Hanya satu kebaikan demikian mahalnya harga tanah dan rumah: rekayasa sosial untuk membentuk mindset ditengah masyarakat bahwa punya satu atau dua anak sudah cukup, karena tanah air di Indonesia sudah tidak lagi cukup untuk menampung semuanya dalam prediksi beberapa abad mendatang dengan angka pertumbuhan kelahiran anak yang tinggi.
Justice delayed, is justice denied.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.