Batas Usia Minimum di Bidang Pertanahan seperti Melakukan Perbuatan Hukum Jual-Beli, Pemberian Hak Tanggungan, dsb

LEGAL OPINION
Question: Berapa usia minimum seseorang dapat melakukan jual-beli atas tanah miliknya? Ada kesimpang-siuran informasi. Ada yang menyatakan 18 tahun sudah boleh, tapi ada juga yang mengatakan bahwa 21 tahun baru boleh. Mana yang benar?
Answer: Demi asas kewaspadaan dan kehati-hatian, 21 (dua puluh satu) tahun adalah umur yang ideal untuk melakukan peralihan hak atas tanah. Meski secara yuridis sejak terbitnya Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan, disebutkan 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah dapat melakukan hubungan hukum dibidang pertanahan, namun guna menghindari sengketa yang tidak perlu dikemudian hari, mengingat nilai objek tanah sangat tinggi sementara belum matangnya pemahaman subjek hukum berumur 18 tahun akan hal manajemen resiko keuangan, disarankan untuk tetap menunggu hingga 21 tahun.
PEMBAHASAN :
Kita tidak sedang membicarakan jual-beli bahan bangunan, namun nilai objek hak atas tanah yang nilai nominalnya sangat fenomenal. Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan yang diterbitkan pada tanggal 26 Januari 2015 menyebutkan:
Ditetapkan usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.”
Apa yang melatarbelakangi surat edaran dari Kementerian Agraria demikian? Kementerian Agraria dalam konsideransnya surat edarannya tersebut mengutip kaedah dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan usia dewasa dalam konteks pidana ialah 18 tahun dan MA RI mengoreksi salah-kaprah demikian lewat surat edaran pada tahun 2014 dengan menganulir surat edaran tahun 2012, dengan esensi substansi bahwa untuk perkara perdata bersifat kasuistis dalam menilai batas umur kecakapan hukum seseorang. Namun secara gegabah Kementerian Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional telah "pukul rata" dan salah menafsirkan pernyataan MA RI.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”, Namun tahap perkembangan manusia terdiri dari: Kanak-kanak, Remaja, dan Dewasa.
Hingga kini belum terdapat pengaturan mengenai masa “Remaja” (juvenile), sehingga seorang “Remaja” harus tetap tunduk pada ketentuan KUHPerdata yang menyatakan bahwa kecakapan dalam melakukan hubungan hukum, seperti perikatan perdata dalam mengikat diri dalam kontrak, ialah 21 (dua puluh satu) tahun.
Hingga kini belum terdapat ketentuan hukum yang menyatakan bahwa seorang “Remaja” tunduk pada ketentuan dalam UU terkait Anak sebagaimana tersebut diatas, sehingga adalah suatu kecerobohan yang amat gegabah dengan menghilangkan konstruksi “Remaja” dalam hukum.
Buktinya, undang-undang tentang perkawinan menyatakan, seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun, wajib mendapat restu dari orang-tua sebelum melangsungkan perkawinan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.