Dilematika BPJS Kesehatan bagi Kepentingan Pekerja / Karyawan Swasta Penerima Upah

LEGAL OPINION
Question: Apakah boleh perusahaan mendaftarkan karyawan pada asuransi kesehatan swasta sebagai alternatif BPJS Kesehatan? Atau jika pertanyaan kami ubah, bagaimaan jika karyawan yang memilih untuk melepaskan keanggotaan BPJS Kesehatan dan memilih asuransi kesehatan lain (swasta) sesuai kebutuhannya?
Answer:  Pada asasnya, terdapat keganjilan dalam grand design ketentuan hukum BPJS Kesehatan. Semestinya, BPJS Kesehatan diberlakukan terhadap warga negara, oleh, dari, dan bagi warga negara, sehingga tidak overlaping terhadap konteks hukum ketenagakerjaan. Setiap warga negara, baik ia bekerja sebagai karyawan atau tidaknya, menjadi warga negara sebagaimana dimaksud jaminan sosial kesehatan program pemerintah. Ketika hal tersebut dicampur aduk dengan perihal ketenagakerjaan, maka jadilah absurb, dimana pengaturan terhadap jaminan kesehatan seseorang yang kebetulan menjadi karyawan suatu perusahaan, justru bernaung dibawah Kementerian Kesehatan selaku penyelenggara BPJS Kesehatan, bukan Kementerian Ketenagakerjaan. Kedua, BPJS Kesehatan ialah program pemerintah, dalam arti dari negara kepada setiap warganegaranya, maka apa hubungannya dengan majikan dan karyawannya yang saling memiliki hubungan ketenagakerjaan perdata peer to peer antar warga negara? Hal ini diakibatkan pemaksaan konsep Askes PNS dimana pegawai negeri sipil pada dasariahnya memang memiliki keterlibatan langsung antara pegawai negeri dan pihak pemerintah. Pemaksaan pemerintah memberlakukan BPJS Kesehatan bagi pegawai stasta, ialah guna memaksakan skema subsidi silang secara terselubung, dimana terhadap premi BPJS Kesehatan karyawan swasta dipungut iuran secara persentase gaji, bukan berdasarkan tarif kepesertaan mandiri.
PEMBAHASAN :
Sebelum kita membahas lebih jauh, perlu kita sepakati bersama, bahwa hubungan ketenagakerjaan ialah hubungan keperdataan, bukan hubungan hukum publik. Sebagaimana UU Ketenagakerjaan merupakan lex spesialis dari beberapa pasal perihal hubungan perikatan buruh dan majikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata—hukum perikatan perdata, dan dalam hukum perikatan perdata terhadap asas golden principle yang bernama “asas kebebasan memilih dan menyepakati”.
Terdapat variatif pertanyaan lain seperti bagaimana jika cakupan perlindungan asuransi swasta tidak seluas BPJS Kesehatan? Pihak pemerintah pun dapat mendalilkan, bahwa dalam skema BPJS Kesehatan, pihak istri dan anak di-cover oleh BPJS Kesehatan sang suami yang merupakan karyawan, sementara asuransi swasta tidak memiliki lingkup hingga demikian. Meski keganjilan terjadi ketika baik sang istri maupun suaminya sama-sama bekerja, maka terjadi double-lisasi iurang yang dikutip pemerintah. Kembali kepada keadaan de facto, mengapa terjadi kericuhan dan keluhan dari para karyawan setelah mengalami “down-grade” ataupun “up-grade” dari keberlakuan BPJS Kesehatan? Pemerintah telah melanggar hak konstitusional karyawan dengan mengamputasi hak mereka untuk memilih produk polis asuransi dari lembaga mana mereka akan bergabung, mengingat premi dikutip dari komponen gaji mereka.
Konsekuensi logis dari skema iuran BPJS Kesehatan warga negara yang ditarik ke ranah ketenagakerjaan (sehingga menjadi overlaping), jika dikumulasikan dengan iuran BPJS Kesehatan yang ditanggung pemberi kerja (total 1 % + 4 % = 5 % dari gaji karyawan per bulannya), maka jika dikalkulasikan dalam satu tahun, maka pengeluaran polis asuransi kesehatan BPJS Kesehatan dapat 200 % dari biaya polis asuransi kesehatan swasta non BPJS.
Dominick menulis tentang lima prinsip etika yang menjadi dasar dari berbagai lelaku dan tindakan manusia:
-        Prinsip pertama ialah the principle of golden mean atau jalan tengah;
-        Prinsip kedua berbicara tentang categorical imperative atau apa pun yang benar untuk seseorang, benar pula untuk orang lain;
-        Prinsip ketiga tentang the principle of utility atau keuntungan terbesar yang diperoleh dalam nilai terbesar;
-        Prinsip keempat ialah tentang veil of ignorance atau prinsip keadilan itu buta;
-        Prinsip kelima ialah tentang self determination atau penentuan nasib sendiri dimana hak-hak, nilai-nilai, dan keputusan-keputusan dari pihak lain mestilah dihargai. (dikutip dari Ingki Rinaldi, “Benar – Salah pada Era Masyarakat Informasi”, harian Kompas, tgl 06 Desember 2015.)
Bila kita melihat ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 Tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial (PP No. 109 Tahun 2013), tampaknya dapat membawa salah kaprah, sebagaimana berbunyi:
(1) Setiap pemberi kerja dan pekerja berhak atas jaminan sosial. (Note SHIETRA & PARTNERS: “Berhak” artinya karyawan dapat memilih, untuk mengikuti program asuransi yang diminatinya. Pemerintah tidak memiliki hak untuk mengamputasi hak memilih warga negaranya.)
(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; dan e. jaminan kematian.
(3) Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang diatur dalam Peraturan Presiden tersendiri.
(4) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Namun spirit yang dikandung dalam esensi perlindungan hak normatif buruh/pekerja dapat ditarik secara analogi lewat bunyi ketentuan Pasal 9 PP No. 109 Tahun 2013:
Pasal 9 Bagi perusahaan yang telah mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dilarang mengurangi program jaminan sosial tenaga kerja yang telah diikuti.
Siapakah pihak yang paling berkepentingan terhadap program jaminan kesehatan? Bila jawabnya ialah: karyawan; maka adalah hal absurb jika undang-undang mengenai Jaminan Sosial Kesehatan menutup diri dari suara/aspirasi para karyawan yang memang menghendaki standar jaminan asuransi kesehatan yang lebih baik dari BPJS Kesehatan, terutama bila karyawan mendapati kekecewaan terhadap pelayanan BPJS. Bila terjadi “double-lisasi” alias terhadap karyawan diikutsertakan pada program BPJS Kesehatan dan sekaligus program asuransi kesehatan swasta, maka hal demikian bersifat overlaping dan kemubaziran yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi karyawan yang harus menanggung persentase iuran setiap bulannya yang hanya akan menggerogoti komponen gaji pekerja maupun perusahaan.
Ketika kepentingan buruh/pekerja justru terancam oleh keberadaan BPJS Kesehatan, maka hukum akan merujuk kembali kepada asas pembentukkannya, sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No.40 Tahun 2004):
“Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pasal 3 UU No.40 Tahun 2004:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.”—Dengan membacanya melalui teknik penafsiran, maka BPJS adalah standar asuransi minimum bagi karyawan, sehingga dapat disubstitusi dengan standar yang lebih tinggi dari “kebutuhan dasar hidup”. Contoh, UMR/S merupakan standar minimum gaji, sementara dapat saja karyawan diberi hak gaji lebih tinggi dari Upah Minimum Kabupaten/Kota, alias kembali tunduk pada asas kebebasan berkontrak secara perdata.
Lihat pula tujuan utama pembentukan BPJS, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU Nomor 40 Tahun 2004:
1. Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. (Note penulis: perhatikan, BPJS Kesehatan merupakan produk asuransi itu sendiri, sehingga adalah overlaping dan mubazir bila dirangkap dengan asuransi kesehatan alternatif yang dirasa oleh karyawan lebih sesuai bagi dirinya pribadi.)
2. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. (Note penulis: adakah bedanya dengan fungsi asuransi kesehatan non BPJS?)
Mengenai Prinsip kepesertaan bersifat wajib, Penjelasan Umum UU No.40 Tahun 2004, menyatakan dengan tegas: “Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.”—Bunyi ketentuan tersebut tidak menyatakan bahwa karyawan wajib secara mutlak menjadi anggota BPJS Kesehatan sekalipun dirinya telah ter-cover / terlindungi oleh premi asuransi alternatif. Tujuan utama (raison d’etre) dari “kepesertaan wajib”, hanyalah untuk “alih resiko” sebagaimana prinsip asuransi. Apakah asuransi alternatif tidak melindungi? Jika produk asuransi alternatif lebih menawarkan manfaat yang lebih baik, maka dasar keberadaan BPJS Kesehatan tidak lagi memiliki relevansinya terhadap karyawan tersebut dalam hubungan ketenagakerjaan dengan pihak pemberi kerja.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial:
“BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. manfaat; dan
c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penjelasan resmi Pasal 2 UU No.24 Tahun 2011:
Huruf a : Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah asas yang terkait dengan penghargaan terhadap martabat manusia.
Huruf b : Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif.  (Note penulis: menjadi pertanyaan utama, membayar iuran/premi asuransi secara berganda, merupakan suatu in-efesiensi, dan menggunakan dua produk asuransi kesehatan disaat bersamaan merupakan suatu langkah kontraproduktif yang jauh dari kata efektif.)
Huruf c: Yang dimaksud dengan “asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah asas yang bersifat idiil. (Note penulis: ketika karyawan merasa “terzolimi” oleh keberadaan BPJS Kesehatan, dengan terjadinya “down-grade” asuransi kesehatan mereka, maka hal tersebut menjadi suatu “alat” bagi pelaku usaha untuk berbondong-bondong memotong anggaran asuransi karyawan mereka, dengan cukup mengikutsertakan para karyawan pada BPJS Kesehatan dan menonaktifkan premi asuransi non BPJS para karyawannya. Program pemerintah justru melegitimasi keberpihakan kepada kalangan pelaku usaha, bukan perlindungan terhadap buruh/pekrja. Motif terselubung demikian sangat berbahaya dan merusak kredibilitas pemerintah di mata publik.)
Pasal 3 UU No.24 Tahun 2011:
“BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.” Inilah yang disebut sebagai BPJS berfungsi sebagai standar minimum, asuransi alternatif yang lebih layak merupakan opsi substitutif.
Penjelasan resmi Pasal 3:
“Yang dimaksud dengan “kebutuhan dasar hidup” adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pasal 4 Butir (g) UU No.24 Tahun 2011: “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: kepesertaan bersifat wajib.” Penjelasan resmi: “Yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.”—inilah konteks utama yang perlu digarisbawahi. Kepesertaan bersifat wajib tidak ditujukan bagi para karyawan yang memilih dan dapat diberikan fasilitas asuransi kesehatan alternatif yang lebih baik. Ia ditujukan pada masyarakat umum yang bisa jadi tidak merupakan karyawan (alias kepesertaan mandiri), dan tidak tercover oleh polis asuransi jiwa maupun kesehatan.
Yang menjadi blunder ialah ketentuan Pasal 15 UU No.24 Tahun 2011:
(1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
Yang menakutkan pihak pemberi kerja ialah ketentuan Pasal 17 UU No.24 tahun 2011:
(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Perpres No.111 Tahun 2013):
“Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia.”Konteksnya ialah seluruh penduduk, sehingga bila konteksnya ialah karyawan yang telah atau dapat memilih mengikuti polis asuransi swasta, maka hal tersebut menjadi praeter legem yang menjadi dasar alasan contra legem.
Pasal 11 Perpres No.111 Tahun 2013:
(1) Pemberi Kerja sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja secara nyata-nyata tidak mendaftarkan Pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, Pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan.
Kata kunci terhadap polemik tersebut, diatur dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2b) Perpres No.111 Tahun 2013:
“Dalam hal Pekerja belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan Manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.”—Dengan kata lain, ketika karyawan tidak diikutsertakan dalam BPJS Kesehatan, namun telah terlindungi oleh polis asuransi dengan standar perlindungan dan pelayanan yang lebih baik, maka tidak terjadi pelanggaran hukum apapun pada pihak pemberi kerja.
Yang memberatkan bagi karyawan penerima upah, ialah ketentuan mengenai Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta yang mana sekian persentasenya dibayar oleh Pemberi Kerja dan sekian persen dibayar oleh Peserta. Ketika BPJS Kesehatan menjadi mubazir karena tidak akan digunakan karyawan yang memilih menggunakan asuransi jaminan kesehatan swasta dengan bonafit yang lebih baik, maka BPJS Kesehatan justru menjadi bumerang dan merugikan hak ekonomi dari karyawan itu sendiri.
Keganjilan kedua dari sistem BPJS Kesehatan, Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja, menggunakan mekanisme pembayaran lumpsum sekian rupiah sesuai jenis kelas pelayanan kesehatan yang besarannya tidak sampai seratus ribu rupiah per bulan. Berbeda dengan sistem BPJS Kesehatan bagi karyawan yang menerima gaji setiap bulannya, dasar iuran yang ditarik BPJS ialah sebesar sekian persen (persentase) dari gaji. Katakan, gaji seorang karyawan adalah Rp.10.000.000,00; maka jika dipungut 1% dari gaji karyawan, maka hak normatif buruh yang dipotong oleh BPJS ialah sebesar Rp.100.000,-; sementara pihak perusahaan harus menanggung sebesar 4% dari gaji karyawannya yakni sebesar Rp.400.000,-/bulan, sehingga total dari seorang karyawan berpenghasilan Rp.10.000.000,-/bulan maka BPJS Kesehatan mengantongi sebesar Rp.500.000,-/bulan, hal mana tentunya akan mubazir bila kemudian karyawan memilih untuk membeli polis asuransi kesehatan swasta, sehingga terjadi ekonomi berbiaya tinggi bagi karyawan dan perusahaan, sehingga ratio decidendi keberadaan BPJS menjadi rapuh.
Yang kemudian menjadi modus banyak terdapat dalam praktik perusahaan, pihak pengusaha melaporkan gaji karyawan yang tidak real kepada pihak kementerian kesehatan guna memangkas iuran yang dipungut BPJS Kesehatan dari perusahaan pemberi kerja. Sehingga, jika seseorang karyawan memiliki gaji real sejumlah Rp.10.000.000,- / bulan sebagai contoh, maka perusahaan hanya akan melaporkan gaji karyawannya hanyalah Rp.2.500.000,-/bulan, sehingga iuran terpangkas. Akibatnya, karyawan sendiri yang dirugikan oleh ketentuan BPJS yang memaksa pihak pengusaha untuk nekat berbuat curang demikian.
Pertanyaan atau isu utama dalam permasalahan ini, apakah Jaminan Kesehatan harus selalu diartikan BPJS Kesehatan? Apakah asuransi kesehatan swasta dengan nilai benefit yang lebih baik dari BPJS Kesehatan tidak dapat dikategorikan sebagai Jaminan Kesehatan? Perhatikan substansi ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan:
“Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.”

REKOMENDASI: Perusahaan tetap mendaftarkan karyawan pada BPJS Kesehatan dan memotong sekian persen gajinya untuk iuran BPJS Kesehatan. Namun ketika karyawan mulai melakukan komplain terhadap manajemen perusahaan atas pelayanan BPJS Kesehatan yang telah dibayarkan iurannya setiap bulan lewat pemotongan gaji sekian persen, karyawan tersebut dapat membuat surat pernyataan yang pada pokoknya melakukan choise of applied law of health insurance—dalam arti karyawan tersebut menyatakan dirinya melepas haknya atas BPJS Kesehatan, namun perusahaan tetap memastikan bahwa karyawan tersebut tetap ter-cover oleh polis asuransi kesehatan lain sesuai dengan alternatif asuransi kesehatan yang pilihnya tersebut. Dengan demikian pertanggung-jawaban hukum ketenakerjaan dengan saling menghormati antara buruh/karyawan dan pemberi kerja, tunduk pada pilihan bebas masing-masing karyawan.
Kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian belaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Maka, dapat saja karyawan membuat surat pernyataan memilih alternatif asuransi kesehatan yang lebih baik ketimbang BPJS Kesehatan layaknya hak keperdataan kontraktual untuk memilih choise of law dan choise of forum. (Catatan SHIETRA & PARTNERS: kembali kepada kesepakatan kita diawal, UU Ketenagakerjaan merupakan lex spesialis dari pasal-pasal perikatan perdata dalam KUHPerdata, sehingga tetap tunduk pada asas kebebasan memilih. UU BPJS tidaklah dapat mengamputasi hak buruh untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.) Uji materil (judicial review) menjadi langkah terakhir bila tiada komitmen keberpihakan pemerintah terhadap nasib pekerja/buruh. Regulasi BPJS Kesehatan hanya menguntungkan pihak pengusaha, bukan berpihak pada kepentingan pekerja/buruh.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.