Produk Pemerintah mengenai Jaminan Kesehatan dan Ketenagakerjaan, adalah Produk Hukum Asuransi, suatu Bentuk Peralihan Tanggung Jawab

LEGAL OPINION
Question: Bila karyawan telah didaftarkan dalam asuransi pemerintah (BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan), maka apakah perusahaan masih menanggung biaya kesehatan dan kecelakaan kerja maupun kematian dari pihak karyawan / buruh? Apakah karyawan/keluarganya masih dapat menuntut tanggung jawab dari perusahaan yang telah mendaftarkan dan menyertakan karyawan sebagai anggota program jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan oleh pihak pemerintah?
Answer: Selama karyawan telah didaftarkan sebagai anggota program jaminan yang diadakan pemerintah, maka segala tanggung jawab dan resiko menjadi beban pemerintah. Karyawan yang terdaftar sebagai anggota program jaminan pemerintah, hanya dapat menuntut tanggung jawab dari penyelenggara program jaminan pemerintah, terkecuali perusahaan lalai mengikursertakan karyawan dalam program jaminan pemerintah.
PEMBAHASAN :
Pasal 156 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan):
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, ...
Pasal 166 UU Ketenagakerjaan:
“Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Pasal 167 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (Note penulis: ketentuan ini pun dapat dianalogikan terhadap program asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi kesehatan bagi karyawannya.)
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 167 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan: Contoh dari ayat ini adalah :
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka :
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/ buruh adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah :
a.     Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
b.    Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha)
c.     ¦ Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
... (a) + (b) + (c) = sejumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian:
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Pasal 1 Ayat (23) UU Perasuransian:
“Tertanggung adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi.”

Program jaminan pemerintah (saat ini bernama BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) adalah syarat asuransi minimum hak normatif buruh/karyawan. Dalam arti, perusahaan dapat mendaftarkan buruh/karyawannya pada program asuransi yang lebih baik.
Secara hukum, setiap pemberi kerja wajib mengasuransikan karyawannya, dan itulah yang disebut sebagai syarat minimum asuransi, yakni merujuk pada BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dimana BPJS Ketenagakerjaan terbagi menjaadi tiga jaminan: jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan kecelakaan kerja.
Jika perusahaan memilih untuk mengasuransikan karyawannya pada program asuransi yang lebih baik, maka perusahaan dapat memilih untuk mengasuransikan karyawannya pada pihak penyedia jasa asuransi swasta. Namun ketika perusahaan mendaftarkan (atau karyawan tersebut mendaftarkan dirinya sendiri sebagai karyawan suatu perusahaan secara inisiatifnya sendiri selaku hak normatif buruk berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi), maka salah satu syarat perusahaan adalah menanggung sekian persen dari “premi” yang harus disetorkan pada penyelenggaran BPJS Ketenagakerjaan, dan nominal tertentu untuk BPJS Kesehatan. Ini menjadi bukti nyata kontribusi dan tanggung jawab perusahaan tempat karyawan bekerja. Dengan demikian prosedur alih resiko telah sempurna.
Karena sifatnya sebagai syarat minimum, sebagai contoh ketika karyawan telah terdaftar dalam program jaminan hari tua dari program pemerintah (BPJS Ketenagakerjaan), maka perusahaan tidak lagi memiliki kewajiban untuk membayar sekian biaya pesangon terhadap buruh yang pensiun.
Begitupula ketika karyawan telah didaftarkan dan dibiayai dengan tanggungan pembayaran premi tertentu oleh pihak perusahaan, maka tanggung jawab beralih kepada penyelenggara jaminan program pemerintah. Program jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan pemerintah, merupakan produk hukum asuransi, dimana asuransi itu sendiri memiliki makna sebagai “pengalihan resiko dan tanggung jawab”.
Hanya ketika perusahaan tidak menyertakan karyawan pada program jaminan ketenagakerjaan ataupun kesehatan pemerintah, dan tidak membayar persentase biaya premi/polis, barulah perusahaan bertanggung jawab penuh untuk memberikan polis asuransi dari pihak perusahaan asuransi swasta terhadap kedua aspek tersebut bagi karyawannya, dengan syarat cakupan perlindungan asuransi yang lebih baik. Ketika pengusaha sama sekali tidak menyertakan karyawan pada program asuransi swasta maupun program asuransi minimum dari pemerintah, berulah perusahaan menanggung segala biaya kesehatan dan kematian, pensiun, jaminan hari tua termasuk hak pesangon serta hak-hak normatif karyawan lainnya.
Namun, ketika perusahaan tidak membekali karyawan dengan perlindungan asuransi apapun, maka perusahaan demikian patut untuk ditindak secara hukum baik pidana maupun perdata, disamping segala tanggung jawab dan resiko tetap melekat pada pihak perusahaan, atas biaya berobat karyawan, pesangon buruh/karyawan, “biaya” akibat kematian dalam kecelakaan kerja karyawan, maupun biaya akibat kecelakaan kerja sang karyawan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.