Praeter Legem sebagai Faktor Pembalik Posisi Dominan dalam Hubungan Kontraktual

LEGAL OPINION
Question: Kini sedang tren gugatan pembatalan kontrak oleh salah satu pihak dalam perikatan pengikatan kontrak tersebut, dengan alasan saat melakukan penandatanganan kontrak, status para pihak tidak setara. Hakim kemudian membatalkan kontrak dengan alasan terdapat ketimpangan sebelah kekuatan salah satu pihak. Jika perjanjian dibuat untuk dibatalkan kemudian oleh salah satu pihak, untuk apa sejak awal mengikatkan diri dalam kontrak? Bukan kami yang meminta atau menawarkan diri kepada mereka untuk sama-sama mengikat diri dalam kontrak, yang kini justru menggugat kami untuk membatalkan kontrak. Jika perjanjian dapat dibatalkan secara sederhana, bagaimana kepastian bagi kami? Apakah salah jika perusahaan kami memang lebih besar dari perusahaan rekanan yang mengikat diri dalam kontrak? Mengapa juga perusahaan rekanan lain dengan kontrak baku yang sama, tidak mendapat sengketa serupa seperti gugatan yang kini kami hadapi.
Answer: Setiap pembeli barang-barang di toko, bisa jadi adalah orang perorangan yang berstatus bagaikan langit dan bumi dengan perusahaan yang memproduksi produk yang dibelinya tersebut. Membeli produk dalam toko juga termasuk kontrak jual-beli lisan yang bersifat sederhana, namun memberi ilustrasi yang kuat, bahwasannya karena konsumen memiliki alternatif merek lain atas produk yang sama yang dapat dibelinya, maka terjadi keadaan yang penulis sebut sebagai “pembalik keadaan pemberat”, sehingga dalam keadaan demikian, justru pihak produsen yang menjual berkedudukan seimbang dengan konsumen, maka tiada dapat dibenarkan bila konsumen menggugat pembatalan kontrak jual-beli tersebut dengan alasan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Penulis menilai, hanya bukti terdapatnya circumtial evidences adanya itikad baik pihak lain yang dapat menjadi dasar pembenar bagi salah satu pihak untuk mengajukan pembatalan kontrak diantara mereka (vide Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
PEMBAHASAN :
Penyalahgunaan alasan (misbruik van omstandigheden) sebagai alasan pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak, secara statistik yang ditemukan penulis dalam riset berbagai putusan pengadilan serta berbagai putusan Mahkamah Agung RI, bersifat ambigu, dalam arti hanya sebagian kecil gugatan dengan dasar alasan “keadaan sala satu pihak dalam kontrak bersifat berat sebelah” yang kemudian dikabulkan, sebagaimana salah satunya dapat ditemukan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 369/Pdt.G/2014/PN.JKT.PUS, antara PT. Lintas Teknologi Indonesia selaku penggugaat versus PT. Indosat selaku tergugat.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak menimbang praeter legem (faktor-faktor diluar hukum) seperti fungsi kegiatan Indosat selaku perusahaan komunikasi yang berkegiatan usaha demi kepentingan umum, yang mana dapat menimbulkan domino efek kepuasan pelanggan seluler atas brand Indosat akibat perbuatan penggugat yang tidak pelaksanakan substansi kontrak mengenai pembangunan insfrastruktur telekomunikasi seluler. Hakim tidak menimbang praeter legem tersebut sebagai faktor “pembalik berat”.
Contra legem dalam kontrak perdata tidak boleh dipandang secara sempit yuridis semata, namun juga implikasinya terhadap tekanan sosial ekonomi dari pihak yang dianggap “lebih kuat” oleh si penggugat yang meminta pembatalan perjanjian. Perusahaan BUMN/D, ought to kuat dan memang harus diposisikan kuat, karena membela kepentingan banyak warga masyarakat, sehingga tekanan amanat pemerintah itulah yang membuat posisi BUMN/D menjadi tidak sekuat apa yang diasumsikan oleh pihak lain diluar BUMN/D.
Hal kedua, perusahaan penyelenggara telekomunikasi seluler tidak dimonopoli oleh Indosat, sehingga tidak terdapat kewajiban bagi penyedia jasa infrastruktur untuk menggantungkan penghasilan usahanya dari Indosat. Dalam perspektif tersebut, justru pihak penggugat yang telah menyalahgunakan keadaan, alih-alih terjadinya penyalahgunaan kedudukan ekonomi oleh pihak Indosat.
Prinsip utama dalam penandatanganan kontrak: sanggup maka tanda tangan perikatan dan tunduk pada ikrar sakral kesepakatan, jika tidak sanggup namun memaksakan diri berujung pada vonis bagi dirinya sendiri. Hal ini merupakan prinsip hukum umum dalam hukum keperdataan.
Teori mengenai posisi dominan sehingga tiada terdapat keseimbangan dalam para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak yang seringkali dijadikan alasan membatalkan perjanjian, sudah saatnya doktrin-doktrin demikian ditinjau ulang. Posisi dominan hanya dilihat dari satu perspektif (perspektif pihak penggugat), sementara bila melihat dalam perspektif tergugat, bisa jadi tekanan dari kepentingan publik yang dilayaninya jauh lebih penting dan dominan. Sehingga, bila kita buat hierarkhi, maka menjadi sebagai berikut: kepentingan umum yang dilayani (superior laten), sementara pihak A yang melayani kepentingan publik sebagai penyewa jasa konstruksi/infrastruktur bersifat interdependen dengan pihak penyedia jasa konstruksi/infrastuktur—sehingga tidak terdapat istilah dominan dan subordinat dalam relasi antara penyewa jasa dan penyedia jasa dalam kasus tersebut diatas.
Perjanjian tidak seimbang, posisi tawar, dsb, dilihat dari perspektif manapun tidak akan pernah serupa. Dari perspektif penggugat, bisa jadi dirinya memandang dirinya lemah sebagai wujud inferior mental dirinya sendiri dalam melihat dirinya, sementara kepentingan publik atau reputasi brand dari tergugat yang terancam kontraknya dibatalkan justru melihat posisi tawarnya juga lemah berhadapan dengan masyarakat yang dilayani.
Hakim dalam menilai substansi kontrak, perlu menilai faktor-faktor diluar hukum, namun tidak boleh bersifat parsial, namun wajib bersifat holistik, dalam arti adakah pihak ketiga yang terkena imbas dengan dibatalkannya perjanjian tersebut? Sekali lagi, ketimpangan kedudukan bersifat tentatif, dalam arti sangat sarat nilai perspektif mana yang akan kita pakai. Hakim, selaku pihak netral, perlu melihatnya dari sudut pandang masyarakat umum (publik). Dalam kasus diatas, dimana penggugat dikabulkan untuk membatalkan kontrak, adalah bentuk kegagalan peran pengadilan sebagai pelindung publik, bukan semata pelindung pihak penggugat. Circumtial justice belum menjadi supremasi hukum di Indonesia.
Terhadap teori usang: “penyalahgunaan keadaan berupa pemanfaatan kelemahan suatu pihak oleh pihak lawan agar pihak tersebut mengikuti kemauan lawan”—merupakan teori cacat perspektif. Sebagaimana contoh yang penulis berikan diatas, seorang konsumen membeli sebotol minuman ringan di toko, sementara apa yang telah dibelinya bukan merupakan pembenaran untuk dibatalkan dengan alasan dirinya jauh lebih lemah daripada sang produsen atau jaringan toko bermerek besar tersebut. Adanya alternatif merupakan praeter legem dalam konteks ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.