LEGAL OPINION
Question: Sejak BPJS Kesehatan diberlakukan sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), seluruh perusahaan dinyatakan wajib mengikutsertakan karyawannya pada BPJS Kesehatan. Hal tersebut justru menjadi bumerang silamakama bagi para buruh/pekerja itu sendiri. Bagaimana tidak, sejak lahir ketentuan hukum mengenai BPJS Kesehatan, karyawan yang sebelumnya telah diikut-sertakan dalam program asuransi kesehatan swasta dengan tingkat benefit yang lebih baik bagi karyawan, kini perusahaan tidak lagi mengikutsertakan karyawan pada asuransi swasta tersebut, dan beralih pada BPJS Kesehatan karena takut mendapat sanksi dari pemerintah. Bagaimana bisa, peraturan pemerintah yang dibentuk demi kepentingan buruh / pekerja, justru berbalik menjadi bumerang bagi kepentingan buruh/pekerja itu sendiri?
Answer: Ketika norma hukum tidak jelas, rancu, ambigu, kontradiktif, dan kontraproduktif, maka yang berlaku ialah prinsip “kembali ke asas hukum pembentukan peraturan hukum” itu sendiri. Dalam hukum tertulis mengenai jaminan sosial kesehatan, dinyatakan dengan tegas asas hukum jaminan kesehatan, salah satunya ialah asas manfaat. Menjadi pertanyaan utama dalam isu hukum tersebut diatas: dimanakah manfaatnya bagi karyawan/buruh bila perusahaan kemudian lebih memilih untuk menurunkan jaminan kesehatan karyawannya dari asuransi swasta menjadi BPJS Kesehatan demi memuaskan “kegenitan” peraturan terkait BPJS Kesehatan yang “over acting”. Prinsip utama yang terkandung dalam spirit UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: pemberi kerja tidak dapat mengurangi standar hak normatif buruh bila terjadi penambahan maupun perubahan peraturan peraturan perundang-undangan yang memberi hak normatif pada buruh pada standar yang lebih rendah dari yang selama ini diberikan oleh pelaku usaha pada karyawannya.
PEMBAHASAN :
Bila kita melihat ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 Tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial (PP No. 109 Tahun 2013), tampaknya dapat membawa salah kaprah, sebagaimana berbunyi:
(1) Setiap pemberi kerja dan pekerja berhak atas jaminan sosial.
(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; dan e. jaminan kematian.
(3) Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang diatur dalam Peraturan Presiden tersendiri.
(4) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Namun spirit yang dikandung dalam esensi perlindungan hak normatif buruh/pekerja dapat ditarik secara analogi lewat bunyi ketentuan Pasal 9 PP No. 109 Tahun 2013:
“Pasal 9 Bagi perusahaan yang telah mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dilarang mengurangi program jaminan sosial tenaga kerja yang telah diikuti.”
Siapakah pihak yang paling berkepentingan terhadap program jaminan kesehatan? Bila jawabnya ialah: karyawan; maka adalah hal absurb jika undang-undang mengenai Jaminan Sosial Kesehatan menutup diri dari suara para karyawan yang memang menghendaki standar jaminan asuransi kesehatan yang lebih baik dari BPJS Kesehatan. Bila terjadi “double-lisasi” alias terhadap karyawan diikutsertakan pada program BPJS Kesehatan dan sekaligus program asuransi kesehatan swasta, maka hal demikian bersifat overlaping dan kemubaziran yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi karyawan yang harus menanggung persentase iuran.
Ketika kepentingan buruh/pekerja justru terancam oleh keberadaan BPJS Kesehatan, maka hukum akan merujuk kembali kepada asas pembentukkannya, sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No.40 Tahun 2004):
“Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pasal 3 UU No.40 Tahun 2004:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.”—dengan membacanya melalui teknik penafsiran, maka BPJS adalah standar asuransi minimum bagi karyawan, sehingga dapat disubstitusi dengan standar yang lebih tinggi dari “kebutuhan dasar hidup”.
Lihat pula tujuan utama pembentukan BPJS, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No.40 Tahun 2004:
1. Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. (Note penulis: perhatikan, BPJS Kesehatan merupakan produk asuransi itu sendiri, sehingga adalah overlaping dan mubazir bila dirangkap dengan asuransi kesehatan alternatif yang lebih bonafit.)
2. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. (Note penulis: adakah bedanya dengan fungsi asuransi kesehatan non BPJS?)
Mengenai Prinsip kepesertaan bersifat wajib, Penjelasan Umum UU No.40 Tahun 2004, menyatakan dengan tegas: “Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.”—bunyi ketentuan tersebut tidak menyatakan bahwa karyawan wajib secara mutlak menjadi anggota BPJS Kesehatan sekalipun dirinya telah ter-cover / terlindungi oleh premi asuransi alternatif. Tujuan utama (raison d’etre) dari “kepesertaan wajib”, hanyalah untuk “alih resiko” sebagaimana prinsip asuransi. Apakah asuransi alternatif tidak melindungi? Jika produk asuransi alternatif lebih menawarkan manfaat yang lebih baik, maka dasar keberadaan BPJS Kesehatan tidak lagi memiliki relevansinya terhadap karyawan tersebut dalam hubungan ketenagakerjaan dengan pihak pemberi kerja.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial:
“BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. manfaat; dan
c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penjelasan resmi Pasal 2 UU No.24 Tahun 2011:
Huruf a : Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah asas yang terkait dengan penghargaan terhadap martabat manusia.
Huruf b : Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. (Note penulis: menjadi pertanyaan utama, membayar iuran/premi asuransi secara berganda, merupakan suatu in-efesiensi, dan menggunakan dua produk asuransi kesehatan disaat bersamaan merupakan suatu langkah kontraproduktif yang jauh dari kata efektif.)
Huruf c: Yang dimaksud dengan “asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah asas yang bersifat idiil. (Note penulis: ketika karyawan merasa “terzolimi” oleh keberadaan BPJS Kesehatan, dengan terjadinya “down-grade” asuransi kesehatan mereka, maka hal tersebut menjadi suatu “alat” bagi pelaku usaha untuk berbondong-bondong memotong anggaran asuransi karyawan mereka, dengan cukup mengikutsertakan para karyawan pada BPJS Kesehatan dan menonaktifkan premi asuransi non BPJS para karyawannya.)
Pasal 3 UU No.24 Tahun 2011:
“BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.” Inilah yang disebut sebagai BPJS berfungsi sebagai standar minimum, asuransi alternatif yang lebih layak merupakan opsi substitutif.
Penjelasan resmi Pasal 3:
“Yang dimaksud dengan “kebutuhan dasar hidup” adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pasal 4 Butir (g) UU No.24 Tahun 2011: “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: kepesertaan bersifat wajib.” Penjelasan resmi: “Yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.”—inilah konteks utama yang perlu digarisbawahi. Kepesertaan bersifat wajib tidak ditujukan bagi para karyawan yang memilih dan dapat diberikan fasilitas asuransi kesehatan alternatif yang lebih baik. Ia ditujukan pada masyarakat umum yang bisa jadi tidak merupakan karyawan, dan tidak tercover oleh polis asuransi jiwa maupun kesehatan.
Yang menjadi blunder ialah ketentuan Pasal 15 UU No.24 Tahun 2011:
(1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
Yang menakutkan pihak pemberi kerja ialah ketentuan Pasal 17 UU No.24 tahun 2011:
(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Perpres No.111 Tahun 2013):
“Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia.”—konteksnya ialah seluruh penduduk, sehingga bila konteksnya ialah karyawan yang telah atau dapat memilih mengikuti polis asuransi swasta, maka hal tersebut menjadi praeter legem yang menjadi dasar alasan contra legem.
Pasal 11 Perpres No.111 Tahun 2013:
(1) Pemberi Kerja sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja secara nyata-nyata tidak mendaftarkan Pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, Pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan.
Kata kunci terhadap polemik tersebut, diatur dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2b) Perpres No.111 Tahun 2013:
“Dalam hal Pekerja belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan Manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.”—Dengan kata lain, ketika karyawan tidak diikutsertakan dalam BPJS Kesehatan, namun telah terlindungi oleh polis asuransi dengan standar perlindungan dan pelayanan yang lebih baik, maka tidak terjadi pelanggaran hukum apapun pada pihak pemberi kerja.
Yang memberatkan bagi karyawan penerima upah, ialah ketentuan mengenai Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta yang mana sekian persentasenya dibayar oleh Pemberi Kerja dan sekian persen dibayar oleh Peserta. Ketika BPJS Kesehatan menjadi mubazir karena tidak akan digunakan karyawan yang memilih menggunakan asuransi jaminan kesehatan swasta dengan bonafit yang lebih baik, maka BPJS Kesehatan justru menjadi bumerang dan merugikan hak ekonomi dari karyawan itu sendiri.
Keganjilan kedua dari sistem BPJS Kesehatan, Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja, menggunakan mekanisme pembayaran lumpsum sekian rupiah sesuai jenis kelas pelayanan kesehatan yang besarannya tidak sampai seratus ribu rupiah per bulan. Berbeda dengan sistem BPJS Kesehatan bagi karyawan yang menerima gaji setiap bulannya, dasar iuran yang ditarik BPJS ialah sebesar sekian persen (persentase) dari gaji. Katakan, gaji seorang karyawan adalah Rp.10.000.000,00; maka jika dipungut 1% dari gaji karyawan, maka hak normatif buruh yang dipotong oleh BPJS ialah sebesar Rp.100.000,-; sementara pihak perusahaan harus menanggung sebesar 4% dari gaji karyawannya yakni sebesar Rp.400.000,-/bulan, sehingga total dari seorang karyawan berpenghasilan Rp.10.000.000,-/bulan maka BPJS Kesehatan mengantongi sebesar Rp.500.000,-/bulan, hal mana tentunya akan mubazir bila kemudian karyawan memilih untuk membeli polis asuransi kesehatan swasta, sehingga terjadi ekonomi berbiaya tinggi bagi karyawan dan perusahaan, sehingga ratio decidendi keberadaan BPJS menjadi rapuh.
Yang kemudian menjadi modus banyak terdapat dalam praktik perusahaan, pihak pengusaha melaporkan gaji karyawan yang tidak real kepada pihak kementerian kesehatan guna memangkas iuran yang dipungut BPJS Kesehatan dari perusahaan pemberi kerja. Sehingga, jika seseorang karyawan memiliki gaji real sejumlah Rp.10.000.000,- / bulan sebagai contoh, maka perusahaan hanya akan melaporkan gaji karyawannya hanyalah Rp.2.500.000,-/bulan, sehingga iuran terpangkas. Akibatnya, karyawan sendiri yang dirugikan oleh ketentuan BPJS yang memaksa pihak pengusaha untuk nekat berbuat curang demikian.
Pertanyaan atau isu utama dalam permasalahan ini, apakah Jaminan Kesehatan harus selalu diartikan BPJS Kesehatan? Apakah asuransi kesehatan swasta dengan nilai benefit yang lebih baik dari BPJS Kesehatan tidak dapat dikategorikan sebagai Jaminan Kesehatan? Perhatikan substansi ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan:
“Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.