JUDICIAL REVIEW
Berikut salah satu contoh uji materiil yang pernah SHIETRA & PARTNERS layangkan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dalam proses penyusunannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dilarang mengutip ataupun menyalin substansi publikasi SHIETRA & PARTNERS tanpa izin dari kami.
Kepada Yang Terhormat,
Yang Mulia
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Di tempat
Perihal: Permohonan Keberatan / Hak Uji Materiil Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan
Dengan Hormat,
PT. …, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia, berkedudukan dan berkantor pusat di …, dan beralamat di Jalan …, Kelurahan …, Kecamatan …, RT…./RW…., Surabaya, yang Anggaran Dasarnya telah ditetapkan dalam Akta Pendirian tanggal … Nomor … sebagaimana terakhir kalinya telah diperbaharui dengan Akta Nomor … , Tanggal …, yang kesemuanya dibuat oleh dan di hadapan …, Sarjana Hukum, Magister Hukum, Notaris di Surabaya dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI tanggal … , Nomor: AHU-…, dalam hal ini diwakili oleh …, yang bertindak dalam jabatannya selaku Direktur, dalam hal ini telah memberikan kuasa kepada Sdr. Hery Shietra, S.H., Legal Counsel PT. … berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. … tanggal … (terlampir) untuk mengajukan Keberatan / Hak Uji Materiil … (selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”)
Dengan ini mengajukan Permohonan Keberatan / Hak Uji Materiil (HUM) atas ketentuan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan (“Perkaban No.01/2010”), secara spesifik terhadap Lampiran II butir II Ayat (1) bagian (f) Perkaban No.01/2010 mengenai ketentuan “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang menandatangani Pernyataan tanah tidak sengketa dan Pernyataan tanah dikuasai secara fisik (untuk selanjutnya disebut sebagai “Objek HUM”). (BUKTI P- 1)
Atas permohonan keberatan/HUM ini, maka pihak Termohon Keberatan adalah:
Menteri Agraria dan Tata Ruang Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional RI, Jalan Sisingamangaraja Nomor 2, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 (untuk selanjutnya disebut sebagai “Termohon”)
Bahwa sebelum sampai pada alasan-alasan atas diajukannya Permohonan Keberatan/HUM ini, terlebih dahulu Pemohon menerangkan hal-hal sebagai berikut:
1. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG :
1.1. Ketentuan Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen Ke-IV: "Mahkamah Agung berwenang … , menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang."
1.2. Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang “menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap undang-undang”, serta ayat (3) yang berbunyi: "Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung."
1.3. Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (“UU No.3/2009”), menegaskan:
“(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
1.4. Pasal 31A UU No.3/2009, mengatur:
“(6) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(7) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Aequitas non facit jus, sed juri auxiliatur. Prinsip keadilan dan kesetimpalan tidak menciptakan hak, namun memulihkan hak.
1.5. Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU No.12/2011”): “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”
1.6. Bahwa peraturan yang ditetapkan Termohon Keberatan dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) UU No.12/2011 mengatur: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh … Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang ….”
1.7. Pasal 9 Ayat (2) UU No.12/2011: “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
1.8. Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (“PERMA No.1/2011”):
“1. Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi;
2. Peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum dibawah Undang-Undang;
3. Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan.”
1.9. Pasal 2 Ayat (2) PERMA No.1/2011: “Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu Peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.”
1.10. Pasal 6 PERMA No.1/2011:
(1) Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
(2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
1.11. Bahwa dengan demikian Mahkamah Agung berwenang untuk mengadili perkara pengujian Objek HUM, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni bertentangan terhadap:
- Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; jo.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
1.12. Bahwa Objek HUM yang ditetapkan pada tanggal 25 Januari 2010, tidak pernah diberlakukan oleh kantor pertanahan-kantor pertanahan di seluruh Indonesia, NAMUN SECARA SEKETIKA MULAI DIBERLAKUKAN OLEH SELURUH KANTOR PERTANAHAN YANG BERNAUNG DIBAWAH KANTOR WILAYAH PERTANAHAN JAWA TIMUR PADA AWAL TAHUN 2015.
1.13. Bahwa dikarenakan Objek HUM baru berlaku efektif sejak awal tahun 2015, maka sekalipun permohonan keberatan/HUM a quo dinyatakan tunduk pada Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yang berbunyi: “Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”; maka Permohonan Keberatan/HUM a quo telah memenuhi persyaratan jangka waktu pengajuan Permohonan Keberatan/HUM ke hadapan Mahkamah Agung.
1.14. Bahwa pengujian terhadap Objek HUM memiliki suatu urgensi, karena berdampak pada konsistensi, harmonisasi, dan hirarkhi normatif secara vertikal sehingga tertib hukum dan kepastian hukum pemenang lelang tetap terjaga sebagaimana prinsip yang dianut oleh Negara Hukum yang demokratis.
1.15. Bahwa Objek HUM telah mengakibatkan dampak sistemik berupa kerugian bagi Pemohon Keberatan, akibat turunnya apresiasi masyarakat dalam berpartisipasi membeli lelang, karena diwajibkan menandatangani Formulir Pernyataan “tiada sengketa dan telah menguasai secara fisik” sementara jual-beli lelang eksekusi justru didasari oleh wanprestasinya debitor tereksekusi sehingga tiada penyerahan objek lelang secara sukarela dari “debitor nakal” dan potensi sengketa adalah nyata serta laten.
1.16. Bahwa penerapan Objek HUM telah menimbulkan kepanikan dan kritik keras dari para pemenang lelang terhadap Pemohon Keberatan selaku balai lelang yang mana salah satu tugas pokok dan fungsinya ialah jasa layanan pra-lelang eksekusi hak tanggungan berupa pemasaran terhadap objek lelang, disamping jasa pasca-lelang berupa pengurusan balik-nama sertifikat pemenang lelang.
1.17. Bahwa oleh karena Objek HUM telah dibentuk tanpa mengindahkan asas filosofi, asas yuridis, maupun asas sosiologis, maka sudah sepatutnya bila Mahkamah Yang Terhormat menerima dan mengabulkan Permohonan Keberatan/HUM yang Pemohon ajukan.
1.18. Bahwa Objek HUM bersifat kontraproduktif dalam menekan NPL (non performing loan) lembaga perbankan pada umumnya dan para pemegang hak tanggungan pada khususnya, dalam upaya parate eksekusi melunasi piutangnya, sebab animo masyarakat mengikuti lelang akan terpuruk bila tetap diwajibkan mengisi dan menandatangani Formulir Pernyataan “tiada sengketa dan telah menguasai secara fisik” untuk dapat mengajukan balik-nama sertifikat hak atas tanah yang dibelinya melalui lelang eksekusi.
1.19. Bahwa Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan—juncto SEMA No.5 Tahun 2014, menetapkan kaidah:
”... penerapan Perma Nomor 01 Tahun 2011 tentang HUM tidak boleh berlaku surut, sehingga terhadap peraturan perundang-undangan yang terbit sebelum Perma Nomor 01 Tahun 2011, dan belum pernah diajukan berlaku Perma Nomor 01 Tahun 2004.”
1.20. Kaidah dalam SEMA No.4 Tahun 2014 tersebut tidak dapat diberlakukan dalam Permohonan a quo, dengan pertimbangan bahwa yang dimaksud dengan asas non-retroaktif (larangan berlaku surutnya suatu perundang-undangan):
- Tidak relevan dalam hukum acara, termasuk hukum acara HUM. Contoh, dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 mengenai kewajiban mediasi bagi para pihak dalam sengketa perdata di pengadilan, tidak bersifat pandang-bulu, apakah kejadian yang diperkarakan dalam gugatan terjadi dalam kurun waktu setelah PERMA tahun 2008 dibentuk, namun juga seluruh kejadian yang terjadi sebelum tahun 2008 wajib tunduk pada peraturan PERMA tentang mediasi tersebut.
- Hanya berlaku bila terjadi perubahan/revisi/pencabutan/penggantian regulasi. Jika kejadian materiil yang merugikan terjadi pada tahun 2015, terikat oleh suatu regulasi yang masih sama hingga saat ini, maka istilah non-retroaktif tidak lagi memiliki relevansi.
- Karena peraturan/regulasinya masih sama dari sebelum tahun 2011 hingga kini, yang mana kini menjadi Objek HUM, maka kejadian materiil dan formilnya dapat dilihat dari dua kategori: terjadi saat sebelum tahun 2011 dan terjadi setelah PERMA No.01 Tahun 2011 ditetapkan. Objek HUM yang diajukan Kebetaran masih mengikat bagi umum hingga saat ini, yakni setelah PERMA No.01 Tahun 2011 dibentuk.
- Regulasi bersifat umum dan tidak bersifat temporer layaknya keputusan suatu badan/pejabat tata usaha negara (beschikking), sehingga kejadian materiil dan formilnya tidak hanya terjadi saat peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk, namun juga terus terjadi sampai pada peraturan perundang-undangan tersebut dicabut/direvisi/diganti/diubah.
- Jika memang terjadi perubahan/revisi/pencabutan/penggantian regulasi, barulah istilah non-retroaktif menjadi relevan.
- Waktu/saat perbuatan atau tindakan hukum (tempus) menjadi kata kunci. Apakah kerugian yang dialami oleh pemberlakuan regulasi tersebut terjadi sejak telah terbitnya PERMA No.01 Tahun 2011 ataukah hanya menimbulkan kerugian saat PERMA No.01 Tahun 2011 belum terbentuk? Dalam Permohonan Keberatan a quo, Objek HUM yang mengatur mengenai “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat Pernyataan tanah tidak sengketa dan Pernyataan tanah dikuasai secara fisik dalam hal yang pemenang lelang tersebut akan mengajukan balik-nama sertifikat hak atas tanah, BARU DITERAPKAN SECARA EFEKTIF DAN MATERIIL OLEH TERMOHON PADA TAHUN 2015 (tempus), DIMANA SEBELUM TAHUN 2015 OBJEK HUM BELUM PERNAH DIBERLAKUKAN PADA PRAKTIKNYA DI LAPANGAN—sebagaimana terbukti kantor pertanahan di DKI Jakarta hingga kini sama sekali belum memberlakukannya meski pada awal tahun 2015 kantor pertanahan di Jawa Timur mulai memberlakukannya.
- Sama seperti suatu penerapan asas legalitas dalam hukum pemidanaan, waktu terjadinya delik pidana (tempus delicti) menjadi peran vitas dalam menentukan regulasi / hukum positif mana yang mengatur dan dapat menjeratnya.
Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbis? Ketika pembuktian atas fakta-fakta telah hadir, apalah lagi perlunya kata-kata?
1.21. Bahwa kesimpulannya ialah: meski Objek HUM telah ditetapkan sebelum tahun 2011, namun baru berlaku efektif atau baru diterapkan secara materiil di lapangan pada awal tahun 2015 di Kantor Pertanahan wilayah administratif Jawa Timur (in casu setelah tahun 2011). Dengan kata lain, kepentingan Pemohon Keberatan yang dirugikan oleh Objek HUM terjadi setelah tahun 2011, meski regulasi yang diajukan Keberatan dibentuk tahun 2010.
1.22. Bahwa ketentuan tenggat waktu / daluarsa HUM telah diderogasi oleh berbagai putusan Mahkamah Agung RI, antara lain:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 70 P/HUM/2013 tanggal 25 Februari 2014 yang mengabulkan HUM terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana kemudian ditindaklanjuti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 Mengenai Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Hasil Pertanian Yang Dihasilkan Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
- Putusan Mahkamah Agung 36P/HUM/2011 yang diputus pada tanggal 9 Februari 2012 dalam Perkara Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Dan Ketua Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
- Putusan Nomor 25 P/HUM/2006 tanggal 30 Agustus 2006;
- Putusan Nomor 41 P/HUM/2006 tanggal 21 November 2006;
- Putusan Nomor 37 P/HUM/2008 tanggal 18 Maret 2009; dan
- Putusan Nomor 03 P/HUM/2011 tanggal 25 April 2011.
A I'impossible nul n'est tenu. Tiada seorang pun diikat untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin/mustahil.
2. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN (LEGAL STANDING) PEMOHON KEBERATAN/HUM
2.1. Pasal 1 Ayat (4) Perma No.1/2011 menyatakan: “Pemohon Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peruuang tidak lebih rendah dari Undang-Undang.”
2.2. Pasal 31A UU No.3/2009 menyatakan:
(1) Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
c. badan hukum publik atau badan hukum privat.
(3) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
2.3. Bahwa dalam Permohonan Keberatan/HUM ini, Pemohon Keberatan berstatus sebagai badan hukum privat (legal entity), dengan rincian (BUKTI P-2):
- Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia No.AHU-... .Tahun ... tentang Pengesahan Badan Hukum Perseroan;
- Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. ... No...., Tanggal ... , Oleh ... S.H., M.H., Notaris/PPAT;
- Surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum No. AHU-..., tanggal ... Perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT. ...;
- Keputusan Menteri Keuangan No. 35/KM.6/2009, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... tentang Pemberian Izin Operasional Balai Lelang PT. ...;
2.4. Bahwa adapun yang menjadi ciri-ciri Badan Hukum (rechtspersoon) berdasarkan teori recht fictie, antara lain:
- Memiliki hak dan kewajiban disamping kekayaan sendiri yang terpisah dari para pengurusnya;
- Dapat turut serta dalam lalu-lintas hubungan/perbuatan hukum dengan perantaraan pengurusnya;
- Dapat menggugat dan digugat di hadapan persidangan.
2.5. Bahwa yang menjadi dasar legal standing Pemohon Keberatan ialah adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang diderita oleh Pemohon Keberatan terhadap perbuatan mal-regulasi yang ditetapkan oleh Termohon Keberatan.
2.6. Bahwa eksistensi keberlangsungan usaha Pemohon Keberatan sangat bergantung pada animo masyarakat terhadap citra lelang eksekusi. Bila masyarakat memandang bahwa untuk balik-nama sertifikat hak atas tanah yang dibelinya melalui lelang eksekusi, harus dipersyaratkan “BERBOHONG” dengan menandatangani formulir pernyataan “tiada sengketa dan telah menguasai secara fisik”, sama artinya Termohon Keberatan telah mematikan kelangsungan usaha Pemohon secara perlahan-lahan dengan memutus “urat-nadi” minat masyarakat itu sendiri untuk membeli objek tanah/rumah via lelang.
2.7. Bahwa ketika Termohon memaksa konstituen lelang (in casu Pemenang Lelang) untuk melakukan kebohongan besar dengan menandatangani formulir pernyataan “tiada sengketa dan telah kuasai secara fisik” sementara secara yuridis-formil hak atas tanah tersebut telah menjadi milik pemenang lelang, maka telah terjadi akrobatik hukum, seolah-olah:
- pemenang lelang dapat menguasai fisik tanpa balik-nama sertifikat hak tanah tanpa resiko dikriminalisasi oleh debitor/pemberi jaminan kebendaan;
- melakukan gugatan/eksekusi pengosongan tidak akan melahirkan sengketa perdata gugatan/verzet dari pihak debitor/tereksekusi;
- debitor mau secara sukarela menyerahkan agunan;
- tidak memakan waktu bertahun-tahun menghadapi gugatan perlawanan dari pihak debitor/tereksekusi (justice delay is justice denied); dsb.
Benedicta est expositio quando res redimitur a destructione. Berkah adalah eksposisinya, ketika sesuatu diselamatkan dari kehancuran.
2.8.Bahwa sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 160/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 Tentang Balai Lelang (“PMK No.160/2013”, BUKTI P-3): “Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.”
2.9. Bahwa Pasal 16 PMK No.160/2013, menguraikan: “Kegiatan usaha Balai Lelang meliputi kegiatan jasa pralelang dan jasa pascalelang untuk semua jenis lelang.”
2.10. Bahwa Pasal 17 PMK No.160/2013, mengatur:
“(1) Jasa pralelang oleh Balai Lelang termasuk tetapi tidak terbatas pada:… g. memasarkan barang dengan cara-cara efektif, menarik, dan terarah, baik dengan pengumuman, brosur, katalog maupun cara pemasaran lainnya; dan/atau
(2) Pemberian jasa pralelang oleh Balai Lelang didasarkan pada perjanjian antara Balai Lelang dengan pemilik barang, yang mengatur termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. besaran imbalan jasa dari pemilik barang kepada Balai Lelang; …”
2.11. Bahwa ketentauan dalam Pasal 19 PMK No.160/2013 dengan tegas mengatur legal standing Pemohon Keberatan, yakni:
“(1) Jasa pasca-lelang oleh Balai Lelang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. pengaturan pengiriman barang;
b. pengurusan balik nama barang yang dibeli atas nama Pembeli; dan/atau
c. jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam memberikan jasa pasca-lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Balai Lelang dapat memperoleh imbalan jasa dari Pembeli yang menginginkan pelayanan jasa pasca-lelang, sesuai dengan kesepakatan antara Pembeli dengan Balai Lelang.”
2.12. Bahwa sebagaimana ditekankan lebih lanjut dalam Pasal 22 PMK No.160/2013: “Dalam melakukan kegiatan usahanya, Balai Lelang berhak:
“a. mengadakan perjanjian dengan pemilik barang untuk melaksanakan jasa pralelang;
b. mengadakan kesepakatan dengan Pembeli barang untuk melaksanakan jasa pascalelang;”
2.13. Bahwa ketentuan-ketentuan tersebut diatas telah memberikan hak dan kewenangan bagi Pemohon Keberatan selaku balai lelang untuk melakukan pemasaran dan juga pengurusan balik-nama sertifikat hak atas tanah. Oleh karena itu adanya unsur kepentingan atas suatu hak (legal standing) yang melekat pada Pemohon Keberatan adalah beralasan dan patut diterima.
Pro possessione praesumitur de jure. Berangkat dari kepemilikan lahirlah praduga yang benar.
2.14. Bahwa Objek HUM yang diajukan Keberatan/HUM telah mengamputasi sumber pamasukan usaha Pemohonan Keberatan. Dengan kata lain, secara langsung maupun tidak langsung, Termohon bertanggung-jawab secara empiris, formil, yuridis, dan sosiologis terhadap keberlangsungan usaha Pemohon Keberatan, dimana kelangsungan usaha Pemohon Keberatan sangat bergantung erat terhadap citra “ramah atau tidak ramahnya” kantor pertanahan terhadap pembeli lelang. jika pemenang lelang merasa dipersulit untuk memperoleh haknya sendiri untuk balik-nama sertifikat, maka hal itu akan menjadi sumber “malapetaka” bagi Pemohon Keberatan untuk memasarkan objek lelang, dimana success fee yang diterima Pemohon Keberatan dari kreditor pemegang hak tanggungan ialah berdasarkan “LAKU-TERJUAL-nya” objek lelang, sementara itu biaya pemasaran seperti pengumuman lelang di harian koran, menjadi tanggungan biaya Pemohon Keberatan, dimana belum tentu dapat menjaring calon peminat lelang akibat tidak “ramahnya” Termohon dalam mengakomodasi kepentingan dan hak Pemenang Lelang.
2.15. Bahwa adalah kewajiban Pemohon Keberatan selaku bagian dari masyarakat untuk berperan serta mengadakan kontrol publik terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada akal budi-keadilan dan tidak membawa manfaat bagi masyarakat luas serta menghambat terciptanya kepastian hukum bagi pemenang lelang maupun bagi kepentingan Pemohon Keberatan dalam melakukan jasa pra-lelang (marketing) maupun jasa pasca-lelang (pengurusan balik-nama sertifikat hak atas tanah).
2.16. Bahwa Pemohon Keberatan telah melakukan diskusi secara kekeluargaan dengan pihak Kementerian Agraria (BUKTI P-4), namun hingga kini belum terdapat realisasi konkret terhadap keganjilan dan absurditas Objek HUM yang diajukan keberatan/HUM, dimana Pemohon Keberatan mendapati jawaban klise dari Termohon: “Kini Menteri Agraria masih sibuk membenahi struktur organisasi BPN”—sementara roda ekonomi tak bisa menunggu selama itu.
De fide et officio judicis non recipitur quaestio, sed de scientia sive sit error juris sive facti. Fakta atau aturan hukum yang cacat dapat membuat keputusan hukum menjadi absurb.
2.17. Bahwa Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah menggariskan:
“Setiap orang. tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”
2.18. Bahwa Pasal 4 Ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, mengatur:
“Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.”
2.19. Bahwa TAP MPR No.III/MPR/2000 tersebut dengan tegas telah menggariskan: bahwa aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi, dimana aturan yang lebih rendah dilarang mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi, tidak menambah, tidak malampaui, tidak mengurangi dan tidak menyisipi suatu ketentuan baru dan tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada dalam aturan induknya.
2.20. Berdasarkan asas hukum d’interet pas d’action (tidak ada kepentingan/tidak ada aksi hukum), maka atas keberlakuan Objek HUM yang baru diefektikan pada awal tahun 2015—karena baru diberlakukan oleh Kantor Pertanahan di Jawa Timur pada awal tahun 2015, maka “benturan kepentingan hukum” baru terjadi pada tahun 2015.
“Lex niminem cogit ad impossibilia”—Peraturan perundang-undangan tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
3. POKOK PERMOHONAN DAN RAISON D’ETRE PERMOHONAN KEBERATAN/HUM
3.1. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam Bab mengenai “Kewenangan Mahkamah Agung” dan “Kedudukan Hukum Pemohon” sebagaimana diuraikan dimuka adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pokok Permohonan ini.
3.2. Bahwa pengajuan Permohonan Keberatan/HUM ditujukan terhadap norma yang terdapat dalam Lampiran II Butir II Ayat (1) bagian (f) Perkaban No.01/2010 menyangkut “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat Pernyataan “tanah tidak dalam sengketa” dan Pernyataan “tanah dikuasai secara fisik” dalam hal yang pemenang lelang tersebut akan mengajukan balik-nama sertifikat hak atas tanah di kantor setempat, yang mana melanggar ketentuan yang lebih tinggi.
3.3. Bahwa Objek HUM yang mengatur mengenai “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang menandatangani “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik”, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PP No.24/1997”, BUKTi P-5) yang menjadi dasar pijakan maupun payung hukum keberadaan Objek HUM.
Summum jus, summa injuria. Aturan hukum jika terlampau rigid, akan melahirkan ketidakadilan terbesar.
3.4. Bahwa Pasal 41 PP No.24/1997, mengatur:
(1) Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang.
(5) Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan:
a. kutipan risalah lelang yang bersangkutan;
b. 1) sertifikat hak milik atas satuan rumah susun atau hak atas tanah yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar; atau
2) dalam hal sertifikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertifikat tersebut; atau
3) jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b Pasal ini;
c. bukti identitas pembeli lelang;
d. bukti pelunasan harga pembelian.
3.5.Bahwa Penjelasan Resmi Pasal 41 Ayat (5) PP No.24/1997: “Dokumen ini akan dijadikan dasar pendaftaran peralihan haknya.”
3.6. Bahwa PP No.24/1997 tidak mensyaratkan pemenang lelang untuk mengisi dan menandatangani Formulir Pernyataan “tanah tidak sengketa” dan Formulir Pernyataan “tanah dikuasai secara fisik” sebagaimana dipersyaratkan oleh Objek HUM.
3.7.Bahwa Peraturan Menteri Negara Agraria No.3 Tahun 1997 selaku Peraturan Pelaksana PP No.24 Tahun 1997 (“Permenag No.3/1997”, BUKTI P-6), sama sekali tidak mensyaratkan Formulir Pernyataan “tanah tidak sengketa maupun Formulir Pernyataan “tanah dikuasai secara fisik” sebagaimana secara gegabah diatur dalam Objek HUM.
3.8.Bahwa Pasal 108 Ayat (1) Permenag No.3/1997, secara limitatif mengatur: “Permohonan pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang diajukan oleh pembeli lelang atau kuasanya dengan melampirkan :
a. kutipan risalah lelang yang bersangkutan;
b. 1) sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atau hak atas tanah yang telah terdaftar, atau dalam hal sertipikat dimaksud tidak dapat diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, keterangan Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak dapat diserahkannya sertipikat dimaksud;
2) surat-surat bukti pemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 mengenai tanah yang belum terdaftar;
c. bukti identitas pembeli lelang;
d. bukti pelunasan harga pembelian;
e. bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang;
f. bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang.”
3.9. Bahwa dengan demikian Objek HUM melanggar rambu-rambu dan bertentangan dengan Pasal 108 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
3.10. Bahwa Objek HUM juga bertentangan dan melanggar ketentuan dalam Pasal 11 Ayat (2) butir (j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU HT”), yang mengatur: “Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain: janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;.”
Dominium non potest esse in pendenti. Hak atas properti tidak dapat ditunda.
3.11. Bahwa sehingga, pengajuan balik-nama sertifikat hak atas tanah yang diajukan pemenang lelang ditolak dengan alasan tidak menandatangani Formulir Pernyataan “tanah tidak sengketa” maupun Formulir Pernyataan “tanah dikuasai secara fisik”, maka yang patut dipersalahkan ialah tindakan pemberi Hak Tanggungan yang tetap menguasai objek lelang secara ilegal/melawan hukum, bukan justru membebankan kewajiban pada pembeli lelang yang beritikad baik dan sepatutnya dilindungi hukum.
3.12. Bahwa “Penguasaan Hak Atas Tanah” dalam Hukum Agraria pada dasarnya terbagi menjadi dua: “penguasaan hak atas tanah secara YURIDIS” dan “penguasaan hak atas tanah secara FISIK”. Balik-nama sertifikat hak atas tanah hanya berhubungan dengan “penguasaan hak atas tanah secara YURIDIS”. Penguasa hak atas tanah secara YURIDIS tidak harus selalu merupakan penguasa hak atas tanah secara FISIK, sebagaimana dapat kita temui pada kasus penyewa dengan perjanjian sewa-menyewa, pemukim liar, dan penghuni bukan pemilik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik (“PP No.44 Tahun 1994”).
3.13. Konsiderans butir (b) PP No.44 Tahun 1994 menyebutkan: “bahwa untuk melindungi kepentingan pemilik, penyewa atau penghuni dalam penggunaan rumah perlu dilakukan upaya pengaturan yang dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.” PP No.44 Tahun 1994 telah memisahkan secara tegas perbedaan antara ranah penguasaan hak atas tanah secara YURIDIS” dan “penguasaan hak atas tanah secara FISIK”.
Ab abusu ad usum non valet consequentia. Penerapan sesuatu tidak sebagaimana mestinya adalah sebuah kekeliruan.
3.14. Bahwa proses pembentukan dan penetapan Objek HUM tidak pernah dilakukan kajian akademis maupun uji publik kepada masyarakat sehingga melanggar asas akuntabilitas dan transparansi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar sebagaimana menjadi asas primair negara demokrasi dengan supremasi hukumnya.
3.15. Bahwa Objek HUM yang mulai diberlakukan secara konkret materiil di masyarakat pada awal tahun 2015, telah bertentangan dan melanggar ketentuan Pasal 5 UU No.12/2011 (Pemohon Keberatan tidak merujuk UU No.10 Tahun 2004, oleh sebab dasar pengujiannya ialah living law, sehingga lebih tepat bila diuji berdasarkan UU No.12/2011 berhubung Objek HUM baru diberlakukan pada tahun 2015): “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
3.16. Bahwa Permohonan Keberatan a quo didasarkan pada inkonsistensi antara Objek HUM terhadap UU No.12/2011 alih-alih mengujinya terhadap UU No.10 Tahun 2004, mengingat Objek HUM masih berlaku dan masih diberlakukan saat Permohonan Keberatan ini diajukan, sehingga atas peraturan perundang-undangan yang saat ini baru diberlakukan adalah wajib tunduk terhadap pengaturan UU No.12/2011 mengingat asas living law dan fakta materiil bahwa Objek HUM masih diberlakukan hingga saat kini.
3.17. Bahwa Penjelasan Resmi Pasal 5 UU No.12/2011:
“Huruf a: Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf c: Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d: Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e: Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f: Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.”
Argumentum ab impossibili plurimum valet in lege. Argumen (pembalik) yang disimpulkan dari sebuah kemustahilan memiliki validitas hukum tertinggi.
3.18. Bahwa atas urgensi dan asas “kepentingan/hak yang hendak dipulihkan” lewat mekanisme judicial review ke hadapan Mahkamah Agung, adalah patut dan layak jika dimohonkan agar dapat ditetapkan putusan sela/provisi untuk menghentikan secara seketika keberlakuan Objek HUM sampai Permohonan Keberatan/HUM ini diperiksa dan diputus oleh Mahkamah karena sangat meresahkan pemenang lelang dan menimbulkan “domino effect” yang destruktif oleh sebab pembeli lelang harus/diwajibkan berbohong dengan menandatangani surat pernyataan “tiada sengketa” dan “telah menguasai fisik”, sementara objek lelang adalah lelang eksekusi, sehingga sifat rawan gugatan/sengketanya bersifat inherent disamping rahasia umum bahwa debitor nakal tidak akan secara sukarela mengosongkan agunan.
3.19. Bahwa yang menjadi filosofi hukum umum peraturan perundang-undangan, ialah: “lex spesialis tidak diperkenankan membatasi hak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya”. Objek HUM telah mengamputasi hak pemenang lelang untuk mengajukan balik-nama hak atas tanah, dengan menolak risalah lelang pemenang, jika pemenang lelang tidak mau menandatangani formulir pernyataan “tiada sengketa” dan “telah menguasai secara fisik”—meskipun PP No.24/1997 dan Permenag No.3/1997 memberikan hak kepada pemenang lelang untuk mengajukan balik-nama sertifikat tanah tanpa dibatasi oleh surat pernyataan “tiada sengketa” maupun pernyataan “telah kuasai secara fisik”.
3.20. Bahwa Objek HUM tentang “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat Pernyataan “tanah tidak sengketa” dan Pernyataan “tanah dikuasai secara fisik” dalam hal yang pemenang lelang tersebut akan mengajukan balik-nama sertifikat hak atas tanah di kantor pertanahan setempat, nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat dan tidak dipersiapkan secara cermat, disamping tiada kejelasan maupun dasar filosofi-yuridis-sosiologis yang memadai. Tiada kejelasan tujuan dan pertimbangannya ketentuan/syarat tersebut dibentuk oleh Termohon, sehingga asas kepastian hukum dan keadilan menjadi tumbal/korban sikap gegabah Termohon dalam menyusun suatu regulasi yang bersifat umum dan mengikat publik.
3.21. Bahwa Objek HUM bertentangan dengan asas yuridis, dimana secara imperatif telah diatur: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (asas lex Superior derogat legi priori).
Droit ne poet pas morier. Hak tidak dapat mati.
3.22. Bahwa landasan Yuridis Formil dari Objek HUM adalah Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Permenag No.3/1997), dimana Pasal 6 Permenag No.3/1997 mengatur mengenai “permohonan hak baru” (bukan ‘peralihan hak’ sebagiamana lelang-eksekusi), sebagai berikut:
(1) Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut sebagai milik yang bersangkutan.
(2) Kenyataan penguasaan secara fisik dan pembuktiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk surat pernyataan, …
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain berisi :
a. bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil, atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya;
c. bahwa apabila penandatangan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
3.23. Bahwa menjadi terang dan jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Permenag No.3/1997 tersebut diatas, dalam Ayat (3) disebutkan bahwasannya penguasaan secara fisik bukanlah syarat mutlak, karena penguasaan secara yuridis adalah lebih relevan. Penguasaan secara fisik hanya cocok untuk konteks “permohonan hak atas tanah baru” diatas tanah negara, bukan permohonan “peralihan hak”. Namun demikian, karakter jual-beli tanah non-lelang adalah berbeda dengan jual-beli lelang eksekusi, dimana sengketa pastilah terjadi antara pihak debitor/tereksekusi dengan pihak pembeli lelang. Pasal tersebut diatas menegaskan, surat pernyataan yang tidak sesuai fakta adalah tindak pidana, sehingga Termohon justru mendorong pembeli lelang untuk terjebak dalam kriminalisasi.
Argumentum ab inconvenienti plurimum valet in lege.. Argumen yang ditarik (terhadap) apa yang tidak cocok diberlakukan, memiliki validitas terkuat dalam hukum.
3.24. Bahwa Termohon lupa, bahwa regulasi baik secara formal maupun substansial tidak diperkenankan melanggar asas-asas kaidah hukum yang mendasar ataupun tidak bertentangan dan tidak melampaui/melebihi peraturan dasarnya yang menjadi payung hukumnya, serta tepat memperhatikan dan menampung aspirasi dari masyarakat selaku unsur sosiologis dari regulasi. Mengutip pendapat James Farr: (James Farr, "Amerikanisasi Hermeneutika", dalam Gregory Leyh (ed.), Hermeneutika Hukum, Penerjemah: M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 142 dan 144)
"Tidak ada interpretasi yang sehat kecuali dengan adanya keyakinan yang baik dan akal sehat. Apa yang bersifat khusus dan lebih rendah, tidak bisa mengalahkan apa yang bersifat umum dan lebih tinggi. Apa yang bersifat mungkin, sedang, dan lazim, lebih diutamakan daripada apa yang tidak mungkin, tidak sedang, dan tidak lazim."
"Prinsip-prinsip Hermeneutika Konstitusional:
1. Tidak semestinya bila kita membangun argumen yang berbobot penting dengan bertumpu di atas landasan yang goyah.
2. Tidak ada gunanya kita memberikan penuturan yang berkepanjangan atau memberikan penyebutan yang terlalu rinci. Keyakinan yang baik dan kesadaran nurani merupakan hal yang amat penting.
3. Kesejahteraan publik merupakan hukum tertinggi dari setiap negeri, salus populi suprema lex. Tidak boleh ada konstruksi yang bertentangan dengan hukum dari segala hukum ini."
3.25. Setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori)—mengandung arti bahwa aturan yang lebih rendah tidak dapat mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi, tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipi suatu beban kewajiban baru secara menyimpang dari apa yang telah digaraiskan dalam aturan induknya.
3.26. Bahwa terhadap suatu ketentuan tertulis yang justru “memenggal” hak masyarakat sehingga menimbulkan keresahan, maka kaidah perlu diuji terhadap asas, dan bila terdapat ketidakjelasan asas, maka perlu dikembalikan kepada sumber yang lebih tinggi, yaitu “nilai”, yaitu: kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan untuk masyarakat. Objek HUM yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik” lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya.
3.27. Bahwa Gustav Radbruch mengklasifikasi cita hukum (Idee des Rechts) ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: kemanfaatan (purposiveness), keadilan (justice), dan—kepastian hukum (legal certainty). Ketika kaidah berbenturan dengan kaidah, maka asas manfaat mengambil tempatnya. Keadilan masyarakat apakah yang coba dilindungi oleh Termohon dengan menerbitkan Objek HUM? Kepastian hukum apakah yang diberikan Termohon bila hak pemenang lelang untuk balik-nama sertifikat atas dasar risalah lelang yang dimilikinya justru ditolak karena “tidak menguasai fisik” dan “ada gugatan dari debitor tereksekusi”? Kemanfaatan apakah bila Objek HUM justru melahirkan “inflasi” hukum?
3.28. Bahwa bila Objek HUM tetap dinyatakan valid, berarti seluruh proses balik-nama oleh pembeli lelang yang dilakukan sebelum tahun 2014 adalah cacat formil, karena Objek HUM baru diberlakukan efektif awal tahun 2015.
3.29. Bahwa Lon Fuller dalam The Morality of Law, menyatakan hukum yang bermoral harus memiliki delapan karakteristik, empat diantaranya yaitu:
i. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
ii. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena;
iii. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah (maupun menjadikannya efektif atau tidak efektif) setiap waktu, sehingga orang tidak bisa lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
iv. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya.
3.30. Bahwa berdasarkan asas res ipsa loquitur (suatu kesalahan/kelalaian yang sudah sedemikian jelasnya, sehingga orang awam pun tahu bahwa telah terjadi kesalahan / kelalaian, the thing speaks for itself), menjadi bukti tak terbantahkan bagaimana Objek HUM tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang menjadi pembeli lelang, disamping bukti tak terbantahkan bahwa Termohon tak memahami hukum jaminan kebendaan, dimana terdapat dua jenis lelang, yakni: lelang eksekusi (lelang yang didasari adanya sengketa) dan lelang non-eksekusi sukarela (lelang yang didasari oleh kerelaan si pemilik rumah/tanah untuk menyerahkan objek jual kepada pembali). Termohon dengan gegabah menggeneralisir praktik lelang secara dangkal dan absurb.
Ad recte docendum oportet primum inquirere nomina, quia rerum cognitio a nominibus rerum dependet. Untuk secara tepat memposisikan sesuatu, terlebih dahulu perlu penyelidikan terhadap “istilah/nama”, sebuah pengetahuan yang tepat terhadap sesuatu berdasarkan namanya tersebut.
3.31. Bahwa Objek HUM mengenai “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat Pernyataan tanah tidak sengketa dan Pernyataan tanah dikuasai secara fisik, menjadi gambaran nyata bahwa Termohon telah bersikap “pukul rata” antara pembeli “lelang eksekusi” dan pembeli “lelang non-eksekusi sukarela” sehingga melanggar makna “keadilan”, yaitu bahwa keadilan bukanlah selalu berarti memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda (Putusan Nomor 15/PUU-VI/ 2008 tanggal 10 Juli 2008 ).
3.32. Bahwa John Rawls menuliskan, jika peraturan tidak jelas mengenai apa yang mereka perintahkan dan yang mereka larang, para warga negara tidak mengetahui bagaimana ia harus berkelakuan. Lebih jauh lagi, ketika mungkin kadang-kadang ada peraturan “pengkhianat”, ini semua tidak bisa berlaku luas atau menjadi ciri khas sistem, atau ia harus mempunyai tujuan lain. Aturan-aturan semacam itu tidak bisa menjadi sistem hukum, karena mereka tidak berfungsi untuk mengatur perilaku sosial dengan memberikan sebuah dasar bagi harapan-harapan yang sah dan masuk akal. (John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Penerjemah: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 302—303)
3.33. Bahwa Termohon telah melakukan “wanprestasi” dengan mengingkari risalah lelang milik pemenang lelang yang bersumber dari parate eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Termohon itu sendiri. Untuk itu adalah wajar jika Pemohon Keberatan memohon kepada Mahkamah untuk memerintahkan Termohon agar mencabut keberlakuan aturan yang mengamputasi hak pemenang lelang. Antipati masyarakat terhadap citra lelang yang “dipersulit” Termohon, pada gilirannya akan membuat Pemohon kesulitan dalam menjual lelang agunan.
3.34. Bahwa Objek HUM bersifat kontraproduktif, karena justru memihak debitor nakal dengan mengamputasi hak pemenang lelang yang sah. Hal itu bersumber dari ketidak-tahuan Termohon Keberatan atas adagium yang berbunyi: “Habendum et tenendum”— Memiliki belum tentu sekaligus memegangnya.
3.35. Bahwa pembeli lelang eksekusi hak tanggungan adalah pihak ketiga yang beritikad baik antara sengketa Kreditor terhadap Debitornya, sehingga wajib dilindungi oleh hukum dan diakomodasi haknya untuk mengajukan balik-nama sertifikat hak atas tanah oleh Termohon. Adapun jika pembeli lelang belum bisa menguasai objek lelang yang dibelinya, maka yang paling patut dipersalahkan ialah debitor selaku penghuni ilegal, bukan pihak pembeli lelang yang telah ditetapkan sebagai pembeli secara sah oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
3.36. Bahwa oleh karena itu, tidak terdapat relevansi atas prasyarat “tiada sengketa” sebagaimana diwajiban Objek HUM, mengingat risalah lelang tidak dapat dibatalkan, dimana pihak yang merasa dirugikan hanya dapat mengajukan sengketa ganti-rugi terhadap kreditor pemegang hak tanggungan. Pengadilan dilarang mengabulkan gugatan pembatalan risalah lelang oleh sebab pembeli lelang adalah pihak ketiga yang beritikad baik, sehingga dilindungi oleh hukum—vide Putusan Mahkamah Agung No. 1068 K/Pdt/2008, laporan Tahunan MA RI 2010, hlm. 413, dengan kaidah hukum:
- Lelang yang dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan;
- Apabila di kemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar hukum lelang, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari pemohon lelang.
Argumentum a communiter accidentibus in jure frequensest. Argumen yang dibentuk dari hal yang secara umum terjadi secara berkesinambungan, adalah hukum.
3.37. Bahwa menjadi pertanyaan besar: Mengapa tidak sejak tahun 2010 diberlaku-efektifkannya Objek HUM yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik”, sehingga pihak-pihak yang merasa haknya diamputasi dapat segera mengajukan Keberatan/HUM? Ini menjadi modus, dimana Objek HUM secara sengaja tidak diberlakukan secara efektif meski telah ditetapkan, agar tempo waktu 180 hari terlampaui sehingga yang terjadi adalah manipulasi hukum secara tersistematisasi. Mengapa juga hingga kini berbagai kantor pertanahan di DKI Jakarta tak pernah memberlakukan Objek HUM sementara kantor pertanahan di Jawa Timur pada awal tahun 2015 mulai memberlaku-efektifkannya secara keras?
3.38. Bahwa Pasal 20 Ayat (1) UU HT mengatur: “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.”
3.39. Bahwa artinya, dasar dari parate eksekusi ialah wanprestasi/cidera janjinya pihak debitor/pemberi hak tanggungan, bukan dari penyerahan objek secara sukarela sebagaimana dalam jual-beli biasa yang dilandasi oleh kesukarelaan pemilik barang untuk menyerahkannya kepada pembeli.
3.40. Bahwa Parate eksekusi Pasal 6 UU HT itu sendiri adalah implementasi dari konflik/sengketa hutang-piutang antara debitor dengan kreditornya, sehingga adalah mustahil untuk membuat surat pernyataan “tiada sengketa” sebagaimana dipersyaratkan Termohon terhadap permohonan balik-nama sertifikat hak atas tanah yang diajukan oleh pemenang lelang.
Ignorantia juris sui non praejudicat juri. Ketidaktahuan akan hak seseorang tidak mengakibatkan lenyapnya hak tersebut.
3.41. Bahwa telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten) bila lelang eksekusi Pasal 6 UU Hak Tanggungan yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum ...”—Maka acapkali reaksi debitor/pemberi jaminan, ialah: menggugat, mengintervensi, tidak mau mengosongkan objek lelang. Artinya, Objek HUM justru bersifat kontraproduktif terhadap lembaga hukum jaminan kebendaan, mengingat Kantor Pertanahan qq. Kementerian Agraria/BPN adalah selaku lembaga penerbit Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) itu sendiri yang justru mengingkari SHT yang telah diterbitkannya dengan mengamputasi hak dari pemenang lelang berdasarkan parate eksekusi Pasal 6 UU HT.
3.42. Bahwa dalam praktiknya, Objek HUM yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik” MENJADI AJANG PUNGUTAN LIAR (PUNGLI) OKNUM-OKNUM KANTOR PERTANAHAN SETEMPAT.
3.43. Bahwa Objek HUM yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik” adalah contoh “law as a tool of crime” yang dibentuk oleh Termohon Keberatan, dimana ketentuan tertulis tersebut dijadikan dalil oknum-oknum untuk melakukan pungutan liar agar pembeli lelang dapat dibebaskan dari “kewajiban” untuk menandatangani kedua formulir absurb tersebut.
Bona fides exigit ut quod convenit fiat. Itikad baik menuntut bahwa apa yang (telah) disepakati harus dilaksanakan.
3.44. Bahwa yang menjadi bukti tidak relevannya pengaturan dalam Objek HUM mengenai “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat Pernyataan tanah tidak sengketa dan Pernyataan tanah dikuasai secara fisik, antara lain:
- Pasal 1474 KUHPerdata: “Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.”
- Pasal 1491 KUHPerdata: “Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”
3.45. Bahwa melihat kaidah KUHPerdata diatas, menjadi terang dan jelas bahwa yang semestinya dibebani kewajiban untuk serah-terima kepada pemenang lelang, adalah pihak penjual lelang (in casu debitor/tereksekusi)—sementara pihak kreditor hanya berkedudukan selaku penerima kuasa untuk menjual berdasarkan APHT. Ketika debitor/tereksekusi lalai untuk mengosongkan objek lelang, maka dapatkah dibenarkan bila “kerugian” dibebankan kepada pemenang lelang sebagaimana secara membuta diwajibkan oleh Objek HUM?!
Illud quod alias licitum non est, necessitas facit licitum, et necessitas inducit privilegium quod jure privatur. Sebuah kebutuhan (necessity) membuatnya menjadi sah secara hukum, sebagai suatu keistimewaan terhadap apa yang diingkari oleh aturan tertulis.
3.46. Bahwa menurut utilitarisme Bentham, suatu kaidah peraturan yang tidak berfaedah lebih baik dihapuskan. Adapun komentar dari John Stuart Mill, salah satu tokoh tersohor yang menjadi murid Jeremy Bentham, berpendapat bahwa:
“Sudah saya katakan bahwa adalah penting untuk memberikan kesempatan seleluasa mungkin pada hal-hal yang tidak biasa dengan maksud supaya pada waktunya dapat nampak manakala dari antaranya yang cocok untuk diubah menjadi kebiasaan. Tetapi kemandirian tindakan dan sikap tak mengindahkan kebiasaan tidak hanya pantas didorong demi kemungkinan yang ditawarkan untuk mengembangkan cara-cara bertindak yang lebih baik dan kebiasaan-kebiasaan yang pantas diterima umum; ... . Tidak ada alasan untuk membangun seluruh eksistensi manusia atas seseorang atau sejumlah pola. Jika seseorang sedikit memiliki akal sehat dan pengalaman lumayan, cara dia membangun eksistensinya sendiri merupakan cara yang paling baik bukan karena hal itu paling baik dalam dirinya sendiri, melainkan karena hal itu merupakan caranya sendiri.” (John Stuart Mill, On Liberty, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 129)
3.47. Bahwa bukanlah hak bila pembeli lelang diasingkan dari haknya sendiri sebagai pembeli yang sah, sebagaimana diutarakan Struat Mill:
“Prinsip kebebasan tidak dapat menuntut bahwa ia harus bebas untuk tidak bebas. Bukan kebebasanlah apabila orang dibiarkan untuk mengasingkan diri dari kebabasannya.” (John Stuart Mill, ibid., hlm. 200—201)
3.48. Bahwa Descartes (1596—1650), dalam slogan yang termasyur: Je pense donc je suis (saya berpikir, maka saya ada), menjawab bahwa pengakuan akan keterbataasn hanyalah mungkin dengan melewati keterbatasan itu. Pelanggaran (dalam semangat) setiap pembatasan itu justru adalah isi gagasan yang tiada akhir. (D.F. Scheltens, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Bakri Siregar, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984, hlm. 34)
3.49. Bahwa Eugen Ehrlich memandang sumber hukum bukan bersumber dari peraturan perundang-undangan, tetapi aktivitas dari masyarakat itu sendiri. Terdapat sebuah hukum yang hidup dalam masyarakat yang mendasari aturan formal dari sistem hukum yang ada. Semisal hukum perdagangan, ia selalu berusaha diaktualkan dengan praktik perdagangan yang terjadi di masyarakat. Karena itu Ehrlich melihat bahwa pusat dari keberadaan hukum adalah masyarakat itu sendiri. (Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 106)
3.50. Bahwa dalam pandangan Jeremy Bentham, regulator hendaknya dapat melahirkan regulasi yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu, sehingga mampu memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat. (Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 17)
Communis error non facit jus. Kekeliruan dangkal, tidaklah membuat hukum.
3.51. Bahwa Mac Iver memandang bahwa hukum yang tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat umum disama-artikan dengan hukum yang kolot, sebagaimana ditulisnya:
“Hukum merasa senang jika ia berhadapan dengan lingkungan yang tetap tak berubah dan oleh karenanya, ia mudah beranggapan bahwa lingkungan bekerjanya adalah tetap tak berubah-ubah. Atau jika ia mengetahui bahwa keadaan telah berubah maka ia masih beranggapan bahwa asas-asas hukum tak dapat berubah. Kesukaran bagi asas-asas keabadian ialah, bahwa, seperti halnya kepercayaan yang bersifat dogmatis, mereka lalu menjadi kolot dan sangat merintangi. Hukum jika dihadapkan pada situasi yang baru, selalu mempergunakan perumusan-perumusan yang telah kuno.” (R.M. Mac Iver, Negara Moderen, Penerjemah: Moertono, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hlm. 242)
3.52. Bahwa Keabsahan suatu hukum memang merupakan syarat mutlak (necessary condition), namun belum merupakan syarat mencukupi (sufficient condition) bagi status keberadaannya. Agar hukum memadai, isi hukum juga harus benar, tepat, dan adil. Singkatnya, hakikat suatu hukum tidak ditentukan secara formal, oleh cara atau metode legitimasinya, melainkan secara material, yakni oleh menyesuaian isinya dengan apa yang disebut sebagai ide hukum (rectsidee). (Simon Peturs L. Tjahjadi, sebagaimana dikutip oleh E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan—Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Cetakan Kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm.xvii—xviii.)
3.53. Bahwa terjadi ketikdapastian hukum, dimana PP No. 24/2997 maupun Permenag No.3/1997 yang mengatur prasyarat balik-nama lelang, tidak dipersyaratkan formulir pernyataan “kuasai fisik dan tiada sengketa”, tapi mengapa justru Objek HUM mensyaratkan. Ketidakpastian hukum lainnya ialah inkonsistensi antara praktik kantor pertanahan satu dan kantor pertanahan lain: ada yang memberlakukan dan ada yang tidak memberlakukannya (karena alasan “tidak rasional”).
Jus est norma recti; et quicquid est contra normam recti est injuria. Hukum adalah perihal aturan hak; dan apapun yang bertentangan dengan aturan hak tersebut adalah sebuah pelanggaran yang melukai.
3.54. Bahwa diterapkannya PP No.24/1997 maupun Permenag No.3/1997, semestinya (“ought”) pembeli lelang sudah dapat balik-nama, namun karena Objek HUM membuat restriksi baru, justru hak pembeli lelang diamputasi (“is”).
3.55. Bahwa yang dimaksud dengan “norma” adalah sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berperilaku dengan cara tertentu. Hans Kelsen menyatakan, frasa “seharusnya” ini mencakup “boleh” dan “dapat”. (Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerjemah: Raisul Muttaqien, Certakan VI, Agustus 2008, Penerbit Nusa Media, Bandung, hlm. 5—6)
3.56. Bahwa PP No.24/1997 maupun Permenag No.3/1997 membolehkan pembeli lelang untuk menggunakan haknya balik-nama sertifikat tanah lelang tanpa perlu menandatangani formulir pernyataan “tiada sengketa” maupun “telah menguasai secara fisik”; namun mengapa Objek HUM justru tidak membolehkan alias mengamputasi hak tersebut?
Quicquid est contra normam recti est injuria. Apapun yang melanggar/bertentangan dengan aturan tentang hak adalah sebuah kekeliruan.
3.57. Bahwa Hans Kelsen menegaskan: (Hans Kelsen, ibid., hlm. 6—7)
“Norma merupakan makna dari suatu tindakan yang memerintahkan, mengizinkan atau menguasakan perilaku tertentu. Tidak ada yang dapat memungkiri bahwa pernyataan ‘sesuatu itu ada’—yakni, pernyataan yang menjelaskan sebuah fakta yang ada—pada dasarnya berbeda dari pernyataan: ‘Sesuatu itu seharusnya’—yang merupakan pernyataan yang menjelaskan sebuah norma.”
“Namun dualisme ada dan seharusnya ini bukan bermakna tidak adanya hubungan antara yang ada dan yang seharusnya. … Ungkapan: ‘Sesuatu yang ada bersesuaian dengan sesuatu yang seharusnya’ tidaklah sepenuhnya benar, karena bukan yang ada yang bersesuaian dengan yang seharusnya, melainkan ‘sesuatu’ yang disuatu ketika merupakan yang ada dan dilain ketika merupakan yang seharusnya.”
3.58. Bahwa Objek HUM itu adalah “yang ada”, namun “yang seharusnya” ialah PP No.24/1997 maupun Permenag No.3/1997, sehingga “yang ada” (penyimpangan norma Peraturan Menteri terhadap Peraturan Pemerintah) seharusnya dikembalikan pada norma payungnya (in casu PP No.24/1997).
3.59. Bahwa oleh karenanya Objek HUM bukanlah norma valid, melainkan “sesuatu (penyimpangan) yang ada”, sebuah anomali, atau penyimpangan terhadap Peraturan Pemerintah. Norma yang sesungguhnya ada dalam PP No.24/1997 selaku “yang seharusnya” atau “yang mengharuskan”.
Jus dicere (et) non jus dare. Untuk menegaskan hak (dan) bukan untuk menghadiahkannya.
3.60. Bahwa dahulu, bukan tak ada yang mau mengajukan Keberatan/HUM, karena memang Objek HUM yang mensyaratkan pernyataan “tiada sengketa dan kuasai fisik” tak pernah diberlakukan secara efektif. Namun pada awal tahun 2015, Kantor Pertanahan di Jawa Timur mulai menerapkannya meskipun validitasnya telah dietapkan sejak tahun 2010.
3.61. Bahwa tidak dapat dibenarkan secara ilmu hukum, Objek HUM yang berjudul “SOP kantor pertanahan” yang semestinya/seharusnya hanya diberlakukan untuk pegawai/karyawan internal institusi, diberlakukan juga terhadap masyarakat luas/umum, dengan menyimpangi dan mengangkangi sebuah peraturan pemerintah? Karena Peraturan Pemerintah tak mengatur bahwa ia akan diatur lebih lanjut dalam bentuk SOP Peraturan Menteri, maka Objek HUM tak memiliki landasan kelahiran. SOP seharusnya hanya mengikat dan mengatur staf internal institusi kantor pertanahan, tak bisa mengekang ataupun meng-‘kebiri’ hak normatif pembeli lelang selaku masyarakat umum.
3.62. Bahwa dalam kacamata Hans Kelsen, Objek HUM belum memiliki keabsahan sebelum tahun 2015, karena baru diberlaku-efektifkan sejak awal tahun 2015, dan itu pun baru mulai diberlakukan oleh Kantor Pertanahan di Jawa Timur pada awal tahun 2015 tersebut. Untuk itu Hans Kelsen menguraikan: (Hans Kelsen, ibid., hlm. 12—13)
“Namun demikian, pernyataan bahwa suatu norma adalah “absah” (validitas) memiliki makna yang selain dari fakta bahwa ia benar-benar diterapkan dan dipatuhi; … Norma hukum umum baru dianggap absah jika perilaku manusia yang ia atur benar-benar sesuai dengannya, setidaknya dalam taraf tertentu. Sebuah norma yang tidak dipatuhi oleh siapapun dan dimana pun, atau sebuah norma yang tidak efektif, minimal pada taraf tertentu, tidak dianggap sebagai norma hukum yang absah. Taraf minimum kefektifan adalah kondisi keabsahan.”
“Namun, ‘keabsahan’ sebuah norma hukum mengisyaratkan bahwa tidaklah mustahil untuk berperilaku secara bertentangan dengan norma itu: sebuah norma yang mengharuskan dilakukannya sesuatu, padahal semua orang sudah tahu bahwa sesuatu itu pasti terjadi sesuai hukum alam, merupakan norma yang sia-sia, seperti halnya norma yang mengharuskan dilakukannya sesuatu yang mana semua orang sudah tahu bahwa sesuatu itu menurut hukum alam mustahil dilakukan.”
“Namun sebuah norma hukum tidak lagi dianggap absah jika ia tetap tidak efektif. Keefektifan merupakan suatu syarat keabsahan dalam artian bahwa keefektifan harus menyertai penetapan norma hukum agar norma itu tidak kehilangan keabsahannya.”
Jus et fraus nunquam cohabitant. Hak dan kekeliruan tidak pernah tidak pernah tinggal bersama.
3.63. Bahwa Termohon tidak mampu membedakan mana ‘hak’ dan mana ‘kewajiban’, sehingga mohon Majelis dapat meluruskan salah kaprah a quo.
3.64. Bahwa peraturan perundang-undangan dari pemegang kedaulatan masa sekarang berbeda dari yang berasal dari pemegang kedaulatan masa lampau, adalah hukum sebelum mereka diterapkan oleh pengadilan. (H.L.A. Hart, Konsep Hukum (the Concept of Law), Penerjemah: M. Khozim, Penerbit Nusamedia, Bandung, 2011.)
3.65. Bahwa H.L.A. Hart memperkenalkan konsep “rule of recognision” dan “rule of change” sebagai solusi, sebagai berikut: (H.L.A. Hart, ibid., hlm. 147—149)
“Bentuk penawar yang paling sederhana untuk ketidakpastian rezim peraturan perundang-undangan primer adalah pengenalan apa yang akan kita sebut sebagai “peraturan pengakuan” (rule of recognision). Peraturan pengakuan ini akan menentukan ciri-ciri yang ada pada suatu peraturan untuk dipandang sebagai indikasi tegas bahwa peraturan yang mengandung ciri tersebut adalah peraturan kelompok yang harus didukung oleh tekanan sosial.”
“Obat penawar bagi ciri statis yang ada pada rezim peraturan-peraturan primer adalah dengan diperkenalkannya apa yang akan kami sebut sebagai “peraturan-peraturan perubahan” (rule of change)”
Dispensatio est vulnus, quod vulnerat jus commune. Sebuah dispensasi adalah sebuah lukai, karena hal itu melukai hak umum.
3.66. Bahwa menjadi pertanyaan besar, mengapa Kantor Pertanahan di DKI Jakarta hingga saat ini tidak pernah memberlakukan Objek HUM sementara justru Kantor Pertanahan di Jawa Timur mulai memberlaku-efektifkannya sejak awal tahun 2015? Hart menjawabnya sebagai berikut: (H.LA.Hart, ibid., hlm. 161-162)
“Kita harus membedakan tidak efektifnya peraturan tertentu, yang mungkin bertolak belakang atau tidak dengan validitasnya, dari pengabaian umum terhadap peraturan-peraturan sistem. Pengabaian ini mungkin begitu total dan berkepanjangan sehingga perlu kami katakan, dalam kasus sebuah sistem yang baru, bahwa peraturan itu tidak pernah mapan sebagai sistem hukum suatu kelompok, atau, dalam kasus sebuah sistem yang telah mapan, bahwa peraturan itu tidak lagi menjadi sistem hukum suatu kelompok.”
“Bersikeras menerapkan sebuah sistem peraturan yang tidak pernah benar-benar efektif atau telah ditinggalkan akan, kecuali dalam keadaan khusus tersebut dibawah, sama sia-sianya seperti menilai berlangsungnya sebuah permainan dengan merujuk pada peraturan perolehan angka yang tidak pernah diterima atau telah ditinggalkan.”
3.67. Objek HUM tidak memiliki validitas yang sempurna karena ketiadaan Ultimate Rule, sebagaimana digambarkan oleh Hart, sebagai berikut: (H.L.A. Hart, ibid., hlm. 166—167)
“Pengertian bahwa peraturan pengakuan merupakan peraturan ultimate (terakhir atau final) dalam sebuah sistem akan paling tepat dipahami jika kita mengikuti alur penalaran hukum yang amat familiar. Jika muncul persoalan mengenai apakah peraturan tertentu valid secara hukum, untuk menjawabnya kita harus menggunakan kriteria validitas yang diberikan oleh peraturan lain.”
“Apakah peraturan itu lebih menghasilkan kebaikan alih-alih kejahatan? Adakah kewajiban moral untuk melaksanakannya? Semua ini jelas merupakan pertanyaan yang amat penting.”
3.68. Bahwa Termohon telah abai/lalai memerhatikan kepentingan pembeli lelang selaku stakeholder dari peraturan yang ditetapkannya, sehingga yang terjadi ialah norma cacat yang tidak komplementer dengan dinamika masyarakat, dimana dikomentari lebih jauh oleh Hart: (H.L.A. Hart, ibid., hlm. 181)
“Diantara perilaku yudisial yang berlebihan dan kekacauan yang akhirnya akan muncul ketika orang biasa dihadapkan pada perintah-perintah yudisial yang bertentangan, kita tidak akan bisa menjelaskan situasinya. Kita akan dihadapkan pada timbulnya suatu lusus naturae yang patut kita bayangkan hanya karena hal itu mempertajam pemahaman kita mengenai sesuatu yang karena seringkali begitu jelas sehingga kita abaikan.”
Adjuvari quippe nos, non decipi, beneficio aportet. Kita sepatutnya diberikan (hukum) sebuah benefit, bukan justru terjebak olehnya.
3.69. Bahwa adapun yang menjadi pandangan Hans Kelsen terhadap isu konflik antara norma-norma pada tingkat yang berbeda: (Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problems of Legal Theory), Penerjemah: Siwi Purwandari, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 115, hlm.117--118)
“Kesatuan sistem hukum yang disusun secara hierarkis kelihatannya dipersoalkan ketika norma hukum ditingkat lebih rendah gagal menyesuaikan (baik penciptaannya atau muatannya) dengan norma ditingkat lebih tinggi yang mengaturnya, dengan kata lain, ketika norma ditingkat lebih rendah berlawanan dengan determinasi yang mendasari urutan hierarkis norma-norma. Masalah yang diajukan disini adalah masalah “norma bertentangan dengan norma”, yaitu undang-undang yang tidak konstitusional, peraturan tidak sah (peraturan yang bertentangan dengan undang-undang), keputusan hakim atau tindakan administratif yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan.
“Bahwa sebuah norma “yang bertentangan dengan norma” bisa dijatuhkan atau bahkan seorang penguasa harus dihukum karena norma semacam itu—bukan disitulah letak “pertentangan norma” (“tidak konstitusional”, “ketidaksahan”), tetapi apa yang lebih baik dikelompokkan sebagai “defisiensi” norma atau “kesalahan hukum”.
“Analogi keseluruhan adalah kasus yang disebut peraturan tidak sah, dan juga kasus tindakan hakim atau administratif yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan.”
3.70. Bahwa Dengan kata lain, kantor pertanahan yang menolak permohonan balik-nama oleh pemenang lelang yang berkeberatan menandatangani formulir pernyataan “kuasai fisik dan tiada sengketa” berarti Termohon Keberatan telah melanggar PP No.24/1997 dan melanggar Permenag No.3/1997 karena menetapkan kaidah yang irasional (in casu Objek HUM).
3.71. Bahwa sebagai argumentum per analogiamI bisa diangkat kasus berikut: jika Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mengatur bahwa bea lelang ialah sebesar “XX %”, maka tak dapatlah dibenarkan bila kemudian Termohon Keberatan memuat aturan tambahan bea lelang adalah sebesar “XX %” + “YY %”. Suatu restrksi, pembebanan, larangan, ataupun kewajiban baru yang mengamputasi hak, kewenangan, atau kebebasan yang diberikan oleh peraturan yang lebih tinggi adalah ketentuan yang invalid. Logika hukum demikian tertuang dalam Putusan HUM MA-RI No. 41 P/HUM/2011 tanggal 09 Februari 2012.
Lex est sanctio sancta, jubens honesta et prohibens contraria. Hukum adalah sebentuk sanksi yang sakral, mengatur apa yang menjadi hak dan melarang apa yang berkebalikan.
3.72. Bahwa artinya pula, sekalipun kemudian PP No.24/1997 diganti dengan PP baru tahun 2015, dengan substansi yang sama persis dengan PP No.24/1997, dimana dalam pasal penutup ditegaskan, bahwa seluruh peraturan pelaksana dari PP No.24/1997 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP tahun 2015 baru ini. Sehingga, hal itu bermakna yuridis bahwa Objek HUM tidak sah sejak ia ditetapkan karena bertentangan dengan payung hukum yang menjadi fondasi berpijaknya. Untuk itu Hans Kelsen berpandangan: (Hans Kelsen, ibid., hlm. 120)
“Kognisi normatif tidak menerima kontradiksi antara dua norma dari sistem yang sama, namun, kemungkinan konflik diantara dua norma yang sah ditingkat berbeda diselesaikan dengan hukum itu sendiri.”—Artinya, solusi dicari lewat kaidah asas hukum umum itu sendiri.
3.73. Bahwa Termohon telah ultra vires, melampaui kewenangan dengan membuat restriksi hak pembeli lelang yang melanggar hak kebolehan yang diberikan oleh PP No.24/1997.
3.74. Bahwa secara metafisika, tiada hukum tanpa sanksi. Tidak dikabulkannya permohonan balik-nama oleh pembeli lelang hanya karena tidak bersedia berbohong dengan menandatangani pernyataan “telah kuasa fisik dan tiada sengketa”, memiliki sanksi konsekuensional berupa tidak diberikannya hak untuk balik-nama alias diamputasinya hak pemenang lelang.
Necessitas inducit privilegium quoad jura privata. Kebutuhan (necessity) menciptakan sebuah hak khusus sehubungan dengan hak-hak keperdataan.
3.75. Bahwa hukum, disatu sisi memberikan hak pada sipil dan disatu sisi membebankan kewajiban pada penyelenggara negara/pelayan publik. Contoh, dalam PP No.24/1997, pemenang lelang diberi hak untuk memohon balik-nama tanpa diwajibkan menandatangani formulir pernyataan “kuasai fisik dan tiada sengketa”, dan kantor pertanahan dibebani kewajiban mengabulkan permohonan tanpa formulir pernyataan tersebut. Namun, Objek HUM telah menjungkirbalikkan postulat hukum yang ditetapkan PP No.24/1997 sehingga berbunyi: pembeli lelang wajib menandatangani formulir pernyataan “kuasai fisik dan tiada sengketa” sementara kantor pertanahan berhak menolak permohonan bila pembeli lelang tidak mendatangani formulir pernyataan tersebut. Disini kita melihat, dari “bisa/boleh” (PP No.24/1997) menjadi “tidak bisa/tidak boleh” (Objek HUM). Dari “tidak diwajibkan” menjadi “diwajibkan” mengisi formulir pernyataan absurb demikian.
3.76. Karena PP No.24/1997 tidak memuat amanat/perintah untuk diatur lebih lanjut oleh Termohon Keberatan dalam suatu SOP yang mengikat publik, maka restriksi tambahan yang termuat dalam Objek HUM adalah ILEGAL.
Qui in jus dominiumve alterius succedit jure ejus uti who debet. Siapa yang menggantikan hak pihak lain ataupun properti pihak lain, dapat menggunakan hak-hak pihak yang digantikannya.
3.77. Bahwa yang menjadi asas Hukum Agraria Indonesia yang bersumber dari hukum adat dalam konteks jual-beli, ialah asas “terang dan tunai”, secara analogi pun termasuk dalam jual-beli via lelang. Asas “terang”, artinya dilakukan di hadapan Pejabat Lelang dari Kantor Lelang Negara (KPKNL). Asas “tunai” artinya ada uang jaminan yang disetorkan dan nilai terbentuk lelang yang dilunasi oleh pemenang lelang. Sehingga sah peralihan hak atas tanah yang menjadi objek lelang parate eksekusi.
3.78. Bahwa sebagai analogi, dalam jual-beli biasa terhadap hak atas tanah, bisa jadi si penjual maupun si pembeli tidak menguasai fisik rumah yang dijual-beli, karena sedang dalam kondisi dihuni oleh penyewa rumah. Maka apa bedanya dengan jual-beli via lelang eksekusi dimana debitor dieksekusi lelang tentunya tidak akan secara sukarela menyerahkan agunan yang dilelang.
3.79. Bahwa, lantas untuk apa yurisprudensi Mahkamah Agung mengatur bahwa: “Jual-beli tak memutus hubungan sewa-menyewa”—yang artinya bisa jadi si pembeli tak kuasai fisik jual-beli, bahkan si penjual itu sendiri tak kuasai fisik rumah. Jika pembeli secara paksa menguasai fisik rumah yang dibelinya sementara kontrak sewa masih berlaku dan sah, maka sama artinya Termohon memaksa pembeli untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
A piratis et latronibus capta dominium non mutant. Apa yang dikuasai perompak atau pencuri tidaklah mengubah kepemilikan (benda tersebut).
3.80. Bahwa dapat terjadi, sebelum debitor/penjamin mengagunkan sertifikat tanah, objek agunan telah dan sedang dalam kondisi berpenghuni oleh penyewa, sehingga jual-beli via lelang, baik lelang eksekusi maupun lelang non-eksekusi sukarela tidak memutus hubungan sewa-menyewa antara pemilik yuridis lama dan pemilik yuridis baru. Peralihan hak atas tanah, baik via jual-beli maupun via lelang, adalah peralihan penguasaan hak atas tanah “secara yuridis”, tanpa dipersyaratkan penguasaan hak atas tanah secara fisik. Michael J. Perry menyitir bahwa “teks” harus sesuai dengan “konteksnya”, selengkapnya:
“Sebuah teks hanya mengandung pengertian sejauh teks itu melihat dalam sebuah konteks, dan bahkan bila kita hendak memahami sebuah teks pun, kita diandaikan sudah memahami konteks tersebut… (sebuah) teks tidak akan bisa dipahami terlepas dari konteksnya, tetapi… pemahaman apapun atas teks berlangsung dalam keadaan dimana teks tersebut telah diaplikasikan dalam suatu konteks-bersama.” (Michael J. Perry, "Mengapa Teori Konstitusional Berarti bagi Praktik Konstitusional dan Sebaliknya”, dalam Gregory Leyh (ed.), Op. Cit., hlm. 345)
3.81. Bahwa Objek HUM adalah wujud tiadanya konsensus antara regulator dan para konstituen yang diaturnya. Objek HUM adalah ciri-ciri pemerintahan despotik, sebagaimana disebutkan Montesquieu: (Montesquieu, The Spirit of Laws, Penerjemah: M. Khoiril Anam, Nusa Media, Bandung, 2007, hlm. 132)
“Prinsip pemerintahan despotik adalah ketakutan; rakyat yang merasa ketakutan, bodoh, dan lemah semangatnya tidak mungkin akan memiliki hukum yang banyak… Gambaran mengenai kekuasaan despotik: ketika orang-orang liar di daerah Lousiana ingin mendapatkan buah-buahan, mereka harus menebang pohonnya dan mengumpulkan buahnya. Dalam contoh ini kita melihat gambaran tentang pemerintah despotik.”
3.82. Bahwa Objek HUM bukan mengakomodasi kebutuhan niaga perbankan, dalam mencairkan agunan, tapi justru mengamputasi. Jika Objek HUM diterapkan secara mutlak, niscaya lembaga lelang akan runtuh yang berdampak efek domino berupa kolapsnya perbankan karena “subprime mortgage” dan kredit macet NPL tinggi sebagaimana perlu kita pelajari pengalaman buruk tumbangnya perekonomian Amerika Serikat akibat “subprime mortgage”. Dengan kata lain, Termohon justru mendukung kredit macet, karena kian sepinya antusiasme masyarakat mengikuti lelang akibat persyaratan irasional Termohon terhadap permohonan balik-nama pembeli lelang.
Aequitas est perfecta quaedam ratio quae jus scriptum interpretatur et emendat; nulla scriptura comprehensa, sed sola ratione consistens. Hak menurut keadilan dan fairnes, adalah semacam akal budi logis yang merubah ketentuan tertulis; bukan dikarenakan berbentuk tertulis, namun tersusun dari alasan logis itu sendiri.
3.83. Bahwa mengingat lelang Pasal 6 UU Hak tanggungan dilakukan dengan cara sengketa (tidak secara sukarela dilakukan oleh debitor/penjamin), yakni lelang eksekusi hak tanggungan, sehingga berpotensi melahirkan sengketa berupa gugatan oleh debitor/penjamin. Pandangan Roberto Unger sangat relevan atas sikap Termohon yang secara gegabah telah menerbitkan Objek HUM: (Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis, Penerjemah: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 270. 271, dan hlm. 275)
“Bahkan, semakin gaya penalaran hukum itu menjadi formal, semakin mudah gaya penalaran itu dimanipulasi atas nama kepentingan, yang pura-pura diabaikan oleh sang ahli hukum.”
Semakin banyak keadilan dikorbankan demi logika peraturan, semakin lebar jarak antara hukum pemerintah dan sentimen awam akan kebenaran. Akibatnya, hukum kehilangan kejernihannya, juga legitimasinya di mata orang awam; orang awam mengenal hukum sebagai catur alat-alat ajaib yang digunakan oleh golongan terhormat atau sebagai seperangkat penangkal petir yang berjatuhan secara acak menimpa orang jahat maupun orang baik.”
Tatanan hukum sebagai sistem formalitas menghadapi dua maslah besar, yang mendominasi pemikiran hukum modern. Yang pertama adalah perjuangan untuk keluar dari dilema kesewenang-wenangan dan formalisme membabi-buta, …
Praktisi hukum menganggap hukum sebagai sistem peraturan yang sudah jelas dengan makna yang dikendalikan oleh tujuan-tujuan bermanfaat yang harus dihubungkan oleh para pengguna hukum dengan peraturan-peraturan itu, karena kemungkinan besar niat pembuat hukum tidak meyakinkan atau memang seharusnya tidak meyakinkan.”
Aliena negotia exacto officio geruntur. Perlakuan (yang patut) terhadap pihak lainnya diterapkan dengan perhatian secara saksama.
3.84. Bahwa kecerobohan Termohon juga nampak dalam Lampiran II Perkaban No.01/2010 Butir II Ayat (1) bagian (a) “Peralihan Hak Atas Tanah dan Satuan Rumah Susun”: Peralihan Hak Jual-Beli, dimana pemohon balik-nama wajib menandatangani Formulir yang memuat: “Pernyataan tanah tidak sengketa serta Pernyataan tanah/bangunan dikuasai secara fisik”. Tampak nyata bahwa Termohon dalam menyusun Objek HUM, tidak didahului oleh suatu kajian ilmiah dan empirik, namun menerapkan sistem “copy-paste” dari ketentuan prasyarat “Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali” dari tanah negara menjadi tanah dengan kepemilikan suatu pihak yang memohonkan hak atas tanah. Tindakan gegabah dan ceroboh demikian amatlah fatal, tanpa menyadari aturan yang dibuatnya mengikat publik.
Aequum et bonum est lex legum. Apa yang adil/wajar/patut dan berfaedah adalah hukum dari para hukum.
3.85. Bahwa hukum tertulis yang telah ditetapkan bukanlah harga mati seumur hidup, sebagaimana diungkapkan Rosenstock-Hussy: “Keadilan harus selalu diperbarui.” (Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Penerjemah: Raisul muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2010. Hlm. 247)
3.86. Bahwa jika Objek HUM benar-benar diefektifkan, maka kemungkinan yang dapat terjadi ialah: matinya lembaga parate eksekusi hak tanggungan, atau masyarakat menjadi terbiasa berbohong bahwa objek lelang telah dikuasai demi mendapat apa yang memang menjadi haknya sendiri selaku pembeli lelang.
3.87. Bahwa terhadap Objek HUM yang tidak konsisten diberlakukan, karena baru efektif berlaku pada awal tahun 2015 di Jawa Timur dan belum pernah diberlakukan di kota lain, Friedman menanggapi sebagai berikut: (Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2009. Hlm. 61, 72—73, dan hlm. 188)
"Tindakan hukum dikatakan "efektif" ketika perilaku bergerak ke arah yang dikehendaki, ketika subjek patuh atau menurut."
"Setidaknya ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu tindakan hukum, yakni peraturan atau norma, bisa memiliki dampak terhadap orang tetentu yang menjadi sasarannya. Pertama, peraturan atau norma itu harus dikomunikasikan kepada subjek. Kedua, subjek itu harus mampu melaksanakan atau, bila tidak, mereka tidak melaksanakannya. Ketiga, Subjek harus memiliki dorongan untuk menjalankannya--berangkat dari keinginan, rasa takut, atau motif lainnya."
"Hukum modern pada dasarnya bersifat utilitarian atau instrumental. Hukum adalah bernalar karena hal itu berguna. Sekalipun demikian, apakah para penguasa, pemegang kekuasaan, dan mereka yang berpengaruh akan tetap mengacu pada hukum, jika hukum itu senantiasa "salah"?"
3.88. Bahwa Asas hukum adat yang dianut hukum agraria hanya mengenal asas "terang dan tunai", bukan "terang, tunai, tiada sengketa, dan wajib dikuasai". Lebih lanjut Friedman menanggapi: (Friedman, ibid., hlm. 91)
"Jika berakar pada adat kebiasaan, hukum akan memberlakukan dirinya sendiri; jika hukum tidak demikian dalam akarnya, ia tidak bisa berlaku sama sekali."
Nullus videtur dolo facere qui suo jure utitur. Tiada seorangpun dianggap sebagai melakukan pelanggaran terhadap mereka yang menjalankan apa yang memang menjadi hak legalnya.
3.89. Bahwa mengingat tanah-tanah agunan yang dilelang-eksekusi (parate eksekusi Pasal 6 UU Hak Tanggungan) sebagian besar belum dikuasasi secara fisik oleh pemenang lelang (pemohon balik-nama), karena agunan objek parate eksekusi hak tanggungan tersebut secara fisik masih dikuasai oleh debitor/penjamin yang menunggak hutang dan menolak untuk menjual sendiri agunan dengan seizin kreditornya, maka yang dihadapi oleh parate eksekusii ialah lelang dengan karakter sebuah eksekusi yang sifatnya “paksa”. Janggalnya ketentuan dalam Objek HUM, ditanggapi Philippe Nonet dan Philip Selznick dengan komentar: (Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerjemah: Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 11)
“… Ini suatu bentuk ‘kesalah-pahaman tentang kenyataan yang salah tempat’ (fallacy of misplaced concreteness).”
3.90. Bahwa Objek HUM menjadi bukti konkret betapa Termohon demikian berjarak dengan konstituen yang diaturnya, bagaikan berliang di menara gading, terdapat jurang/sekat lebar antara yang mengatur dan yang diaturnya, sebagaimana diutarakan Philippe Nonet dan Philip Selznick: (Ibid., hlm. 10—11)
“Jika otoritas sedang berada dalam kondisi kacau-balau, bidang lainnya yang kurang penting dari teori hukum dan sosial pun akan menjadi kacau. Kita tidak mempunyai ilmu hukum yang mampu menjelaskan persepsi-persepsi yang saling bertentangan, untuk mengatakan tidak ada ilmu hukum yang menguji asumsi-asumsi atau mempertemukan kembali perbedaan-perbedaan yang ada.”
“Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-rubah dan kontekstual. Prinsip ini dilanggar ketika hukum dianggap berdimensi tunggal atau dikatakan sebagai sesuatu yang memiliki atribut-atribut seragam.”
A justitia (quasi a quodam fonte) omnia jura emanant. Dari keadilan, sebagai suatu sumber dari segala keadilan memancar.
3.91. Bahwa menjadi pertanyaan besar: Apakah Objek HUM adalah pasal sponsor oleh debitor nakal?... Objek HUM disusun dan ditetapkan tanpa memiliki landasan empirik, sehingga tidak memiliki validitas, baik secara yuridis, secara sosial, maupun secara filolofis. Debitor nakal dapat sewaktu-waktu menggugat Sertifikat Hak Atas Tanah milik pemenang lelang jika debitor tersebut masih kuasai fisik dan dengan gencar melancarkan sengketa (gugatan demi gugatan mengingat hakim dilarang menolak perkara) penolakan lelang eksekusi dengan berlindung dibalik Objek HUM yang justru memihak debitor nakal—ini adalah celah hukum yang justru disediakan oleh Termohon, dengan mengingkari Sertifikat Hak Tanggungan yang (ironisnya) juga diterbitkan oleh pihak Termohon itu sendiri.
3.92. Bahwa apakah terjadi kemunduran terhadap hukum nasional? Mengutip uraian Philippe Nonet dan Philip Selznick: (Ibid, hlm. 57 dan 61)
“Jika kita meninjau kembali berbagai wujud hukum represif, muncullah dua gambaran utama. Yang pertama adalah integrasi yang dekat antara hukum dan politik, dalam bentuk subordinasi langsung institusi-institusi terhadap elit-elit yang berkuasa baik di sektor publik maupun swasta: hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan kepatuhan. Terjadilah instrumentalisme primitif. Yang kedua adalah diskresi pejabat yang tidak terkontrol, yang merupakan hasil dan sekaligus kepastian dari kemudahan untuk mengutak-atik hukum.”
“Dari awal kita perlu ingat bahwa sumber utama bagi transisi dari hukum represif ke hukum otonom, adalah pencarian akan legitimasi… . Namun demikian, bahkan sebuah legitimasi yang sederhana pun mengundang pertanyaan, quo waranto, atas dasar apa legitimasi itu muncul?”
Quid sit jus, et in quo consistit injuria, legis est definire. Apa yang diatur sebagai hak, dan dimana terdapat penistaan (terhadap hak tersebut), adalah fungsi hukum untuk mendeklarasikan diri.
3.93. Bahwa akibat dari pemberlakukan Objek HUM terkait “Peralihan Hak-Lelang” yang mensyaratkan kepada pemenang lelang membuat “Pernyataan tanah tidak sengketa” dan “Pernyataan tanah dikuasai secara fisik”, para pemenang lelang mengajukan komplain kepada Pemohon Keberatan selaku balai lelang yang ditugaskan oleh perbankan untuk mencari calon pembeli lelang, karena mereka dipaksa berdusta dengan menandatangani formulir yang menyatakan “tiada sengketa” dan “sudah dikuasai.” Konsekuensinya, Pemohon Keberatan tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat untuk berpartisipasi sebagai peserta lelang. Citra lelang yang kian terpuruk akibat ketentuan tersebut, berdampak pada sukarnya Pemohon Keberatan mencari calon pembeli lelang, yang artinya kian sulit bagi perbankan mengatasi NPL.
3.94. Bahwa tingginya angka NPL perbankan akibat sukarnya menjaring peminat dalam lelang eksekusi, berdampak sistemik berupa surutnya ekonomi nasional, baik secara makro maupun secara mikro. Oleh sebab itu, patut sekiranya Pemohon Keberatan memohon agar Mahkamah bersedia dan berkenan memberikan amar putusan yang dapat merangkul kepentingan Pemohon selaku balai lelang pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya.
Omne jus aut consensus fecit, aut necessitas constituit, aut firmavit consuetudo. Setiap hak diturunkan oleh izin, ditetapkan oleh kebutuhan, atau oleh praktik kebiasaan.
3.95. Bahwa Public Hearing yang timpang/berat sebelah, membawa dua dampak: (Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010)
“Pertama, terjadi pembungkaman hak masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menolak atau menerima rencana tersebut; Kedua, ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi besar terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari yaitu diabaikannya hak-hak masyarakat yang melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal masyarakat setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah. Menurut Mahkamah penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah dan dunia usaha ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.”
3.96. Bahwa Termohon telah membuat peraturan yang telah mengamputasi hak pembeli lelang yang diberikan oleh PP No.24/1997 maupun Permenag No.3/1997 (yang ironisnya: diterbitkan oleh Termohon sendiri), sehingga Objek HUM adalah bentuk akrobatik hukum yang dilakukan Termohon seolah memiliki semboyan: “l’etat, C’est Moi”—“Saya adalah negara”, karena menderogasi hak bagi pembeli lelang sebagaimana diatur dalam PP No.24/1997 yang notabene “Peraturan Pemerintah”.
3.97. Bahwa Termohon tidak memahami adagium hukum yang berbunyi: “Aliud est vendere, aliud vendenti consentire--Menjual adalah satu hal, dan menerima (tawaran) si penjual adalah hal lainnya lagi”. Menguasai fisik dan tiada sengketa adalah satu hal, sementara jual-beli lelang eksekusi adalah hal lainnya lagi.
Aequitas est correctio legis generaliter latae qua parte deficit. Prinsip kesetimpalan adalah koreksi terhadap bagian dari hukum dimana berdasarkan prinsip hukum umum, hukum yang ada bersifat cacat.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon Keberatan/HUM memohon kepada Mahkamah Agung RI, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM PROVISI:
Memerintahkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional maupun jajaran Kantor Pertanahan dibawahnya, untuk menghentikan pemberlakuan Lampiran II butir II Ayat (1) bagian (f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, sepanjang bagian prasyarat formulir pernyataan “tiada sengketa” dan “kuasai secara fisik”, sampai adanya putusan tetap dari Permohonan Keberatan/HUM ini.
DALAM POKOK PERMOHONAN KEBERATAN:
I. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan keberatan/HUM dari Pemohon Keberatan/HUM;
II. Menyatakan Lampiran II butir II Ayat (1) bagian (f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, sepanjang bagian formulir pernyataan “tiada sengketa” dan “kuasai secara fisik”, telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni terhadap: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta bertentangan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah;
III. Menyatakan Lampiran II butir II Ayat (1) bagian (f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, sepanjang bagian formulir pernyataan “tiada sengketa” dan “kuasai secara fisik”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan tidak berlaku umum;
IV. Memerintahkan Termohon Keberatan untuk tidak memberlakukan dan membatalkan/mencabut Lampiran II butir II Ayat (1) bagian (f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, sepanjang bagian formulir pernyataan “tiada sengketa” dan “kuasai secara fisik”;
V. Menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berlaku sebagai dasar hukum pelayanan Kantor Pertanahan terhadap pemohonan balik nama hak atas tanah berdasarkan risalah lelang;
VI. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
VII. Memerintahkan Termohon Keberatan maupun instansi terkait lainnya untuk mencabut ketentuan Lampiran II butir II Ayat (1) bagian (f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, sepanjang bagian formulir pernyataan “tiada sengketa” dan “kuasai secara fisik” dari Lembaran Negara.
VIII.Memerintahkan Termohon Keberatan untuk menerbitkan peraturan yang bersifat umum sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah a quo secara seketika.
IX. Secara seketika dan sekaligus membebankan biaya Permohonan Keberatan/HUM pada Termohon Keberatan, dan menghibahkan panjar biaya Permohonan Keberatan/HUM a quo yang telah dibayarkan oleh Pemohon Keberatan kepada kas negara.
SUBSIDAIR:
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Jakarta, 05 Juni 2015
Kuasa Hukum Pemohon Keberatan/HUM
PT. …
[ttd & Materai]
Hery Shietra, S.H.
Konsultan Hukum
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.