ARTIKEL HUKUM
Wacana di berbagai media massa Indonesia menggaungkan isu salah satu petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mereka sebut sebagai “korban” kriminalisasi kepolisian. Benarkah demikian? Itulah opini publik yang disetir oleh opini media.
Mari kita tinjau dengan sudut pandang lain. Mungkinkah kita membela petinggi KPK tersebut secara membuta hanya karena ia adalah petinggi KPK?
Belajar dari pengalaman salah seorang calon petinggi POLRI yang batal menjadi Kapolri lantaran fakta bahwa calon Kapolri tersebut telah memenangkan praperadilan terhadap KPK, justru menghadiahkan antipati masyarakat terhadap dirinya. Mengapa demikian, meski setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadiahkan “kebebasan” terhadap status tersangka calon Kapolri tersebut?
Karena masyarakat umum akan menilai, belum ada putusan yang menyatakan bahwa dirinya bebas korupsi, tidak terbukti korupsi. Yang ada ialah putusan praperadilan yang tidak memberi makna apapun selain bebasnya beliau dari proses peradilan untuk membuktikan benar atau tidaknya kejahatan yang dilakukan seseorang.
Singkat kata: akan lebih baik bagi dirinya membersihkan namanya dengan siap ksatria bertempur di pengadilan, jika memang benar dirinya bersih, agar namanya benar-benar harum dan terjaga hingga kapan pun. Namun nasi telah menjadi bubur, dan masyarakat justru tidak belajar dari pengalaman tersebut.
Felix qui potuit rerum cognoscere causas. Fortunate is he who has been able to learn the causes of things.
Charles Kettering menyebutkan: “A problem well stated is a problem half solved.” Permasalahan salah satu petinggi KPK yang ditetapkan sebagai berstatus tersangka, sebagai anggota masyarakat yang baik, justru harus mendorong agar proses peradilan terhadap dirinya dapat segera digelar, tanpa penundaan, tanpa eforia berlebih, agar statusnya dapat dipastikan, apakah benar telah melakukan manipulasi saksi di persidangan dalam karir terdahulunya, ataukah akan diputus murni bersih—tentunya oleh hakim, bukan oleh opini media massa.
Akan lebih baik bila sejarah mencatat dirinya sebagai pemenang atas tuntutan “perlawanan balik” POLRI terhadap KPK, dengan dinyatakan bersih dari segala tuduhan jaksa penuntut umum. Ketimbang sejarah akan mencatat dirinya sebagai “lolos” dari hukuman karena intervensi Presiden yang menghentikan proses penyidikan dan penuntutan dirinya. Sekalipun oleh hakim dinyatakan bersalah, rakyat akan tetap memberi simpati dengan berasumsi bahwa beliau menjadi korban kriminalisasi. Hakim pun akan mempertimbangkan aspirasi rakyat sehingga dapat dipastikan Hakim Tinggi ataupun Hakim Agung pada tingkat kasasi akan berpihak pada petinggi KPK yang dikriminalisasi tersebut. Secara sosiologis dan secara psikologis, komponen rakyat berpihak pada KPK dan para petingginya, meski disaat bersamaan berperang melawan penguasa kepolisian yang hendak menjerumuskannya ke dalam sel penjara.
Sejarah kelak akan memberikan gambaran bagi sang anak-cucu, bahwa tokoh tersebut “lolos” tanpa persidangan. Benarkah dirinya melakukan manipulasi? Adakah putusan yang menyatakan bahwa dirinya bersih? Mengapa proses penyidikan dan penuntutan terhadap dirinya harus dihentikan?
Belajar dari kasus calon Kapolri yang memenangkan pra-peradilan, namun tak semanis kenyataan atas antipati masyarakat karena “kemenangannya” tersebut; seyogianya kita belajar, bahwa kemenangan atas pra-peradilan bukanlah kemenangan atas putusang pengadilan atas tuduhan yang disampaikan. Tuduhan yang didakwakan bahkan belum disentuh dan belum periksa terlebih diputus oleh Majelis Hakim. Sehingga status “ada indikasi kotor” terhadap dirinya tetap melekat hingga sepanjang hayat, terlebih hakim yang memutus perkara pra-peradilan merupakan hakim tunggal.
Lebih baik segera tuntaskan dengan proses pembuktian di persidangan. Jika bersih, maka itu akan membesihkan dirinya dalam catatan sejarah: ia tokoh yang murni bersih, tertanda “putusan pengadilan”.
Catatan demikian akan menjadi lembar sejarah yang indah, mewarisi sikap jantan terhadap generasi penerus: jangan ada intervensi, jika ada tuduhan, hadapi dan segera tuntaskan. KPK sudah memiliki "modal" berupa dukungan rakyat, jadi tak perlu takut menghadapi kriminalisasi.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.