Actio Pauliana dalam Kepailitan beserta Delik Pidana yang Menyertainya

LEGAL OPINION
Question: Apa ketentuan pidana bagi debitor (dalam pailit) yang “menggelapkan” harta kekayaannya sehingga merugikan para pemiutang?
Answer: Perbuatan merugikan pemilik piutang atau orang yang mempunyai hak tagih atas hutang, diatur dalam Pasal 396 KUHP hingga Pasal 405 KUHP.
Explanation:
Pasal 396 KUHP, berbunyi:[1]
“Seorang pengusaha yang telah dinyatakan pailit atau yang oleh pengadilan telah diizinkan untuk menyerhakan seluruh harta kekayaannya kepada orang-orang yang mempunyai piutang kepadanya karena berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya, karena bersalah dalam keadaan pailit telah merugikan secara sederhana orang-orang yang mempunyai piutang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan empat bulan:
1.    jika pengeluaran-pengeluarannya ternyata berada di luar batas kepantasan;
2.    jika ia dengan maksud untuk menangguhkan kepailitannya telah menerima utang-utang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal ia mengetahui bahwa dengan utang-utang tersebut, kepailitannya tidak dapat dicegah;
3.    jika ia tidak segera dapat menunjukkan buku-buku dan surat-surat yang didalamnya menurut Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ia wajib membuat catatan-catatan serta tulisan-tulisan yang menurut pasal tersebut ia wajib untuk menyimpannya, dalam keadaant tidak cacat.”
Penulis menilai, Pasal 396 KUHP tersebut diatas berlaku juga bagi debitor yang melakukan tindakan delik merugikan pemiutang, sebelum ia kemudian dinyatakan pailit, terutama bila melihat rumusan dalam Ayat (2) dengan unsur berhutang secara tidak proporsional meski hal tersebut disadarinya tidak akan membuatnya lolos dari kemungkinan jatuh pailit dengan tujuan mengamputasi hak kreditor yang sebenarnya. Hal kedua, “guna menangguhkan kepailitan” dalam ayat ke-2 memiliki relevansi dengan undang-undang mengenai PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang), dimana hal tersebut mendudukkan pihak pengurus sebagai wali dari debitor ter-PKPU. Ketiga, bila debitor telah dinyatakan “dalam pailit”, maka hal tersebut menjadi kewenangan kurator dalam kedudukannya sebagai wali dari debitor. Dengan kata lain, pasal tersebut juga dapat dikenakan terhadap kurator kepailitan maupun pengurus PKPU.
Dapat juga ditafsirkan, bila debitor menyadari bahwa keadaan keuangannya mengarah pada suatu kesimpulan pailit yang tidak dapat dihindari, atau bila debitor itu sendiri yang dengan borosnya menghamburkan harta kekayaan dan meminjam hutang yang tidak wajar hanya untuk kemudian mempailitkan dirinya sendiri.
Untuk itu penulis akan membahas sekilas mengenai Actio Pauliana, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU:
(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
Dari ketentuan UU Kepailitan, tampak bahwa proses pidana berdasarkan Pasal 396 KUHP dapat dijalankan secara paralel dengan gugatan actio pauliana berdasarkan Pasal 41 UU Kepailitan.
Kini kita beralih pada pembahasan ketentuan Pasal 397 KUHP:[2]
“Seorang pengusaha yang telah dinyatakan pailit atau yang telah diizinkan untuk menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepada orang-orang yang mempunyai piutang kepadanya oleh pengadilan, karena berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya, karena bersalah dalam keadaan pailit telah merugikan orang-orang yang berpiutang secara curang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika untuk mengurangi secara curang hak-hak mereka:
1.    telah mengarang atau mengarang tentang adanya utang-utang, telah tidak mempertanggungjawabkan atau tidak mempertanggungjawabkan tentang adanya keuntungan-keuntungan atau telah mencabut atau mencabut sesuatu benda dari harta kekayaannya;
2.    telah mengasingkan suatu benda baik secara cuma-cuma maupun secara nyata di bawah harga;
3.    dengan sesuatu cara telah menguntungkan atau menguntungkan salah seorang dari orang-orang yang mempunyai piutang kepadanya pada waktu ia berada dalam keadaan pailit atau pada saat ia mengetahui bahwa kepailitannya sudah tidak dapat dicegah lagi;
4.    telah tidak memenuhi atau tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk membuat catatan seperti yang ditentukan dalam Pasal 6 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan untuk menyimpan dan menunjukkan buku, surat-surat dan tulisan-tulisan seperti yang ditentukan dalam ayat (3) dari pasal tersebut.”
Ketentuan Pasal 397 KUHP diatas dapat dijalankan secara paralel bersamaan dengan keberlakuan Pasal 42 UU Kepailitan yang berbunyi:
“Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor…”;
Terkait dengan itu, Pasal 43 UU Kepailitan mengatur:
“Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.”
Pasal 45 UU Kepailitan:
“Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan, atau dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor dan Kreditor dengan maksud menguntungkan Kreditor tersebut melebihi Kreditor lainnya.”
Memang, Pasal 42 maupun Pasal 43 UU Kepailitan tampaknya terjadi sebelum debitor ditetapkan sebagai “pailit”, namun dalam ilmu hukum pidana, hal tersebut termasuk dalam kategori “sengaja sebagai tujuan” ataupun “sengaja sebagai kepastian”, dimana tujuan utamanya ialah dirugikannya kreditor tertentu, dan hal tersebut pasti akibat konsekuensi logis tindakan faktualnya, meski kepailitan masih belum ditetapkan.
Hoge Raad dalam arrest-nya tanggal1 Juni 1891, W.6044, menyatakan: “Tidaklah perlu bahwa hak-hak dari semua orang yang mempunyai piutang menjadi dikurangi.”[3]
Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, ketika debitor telah masuk dalam keadaan pailit, apakah hanya kurator yang berhak mengajukan actio pauliana ke hadapan pengadilan bila debitor sebelum dinyatakan pailit telah menggelapkan harta kekayaannya?
Bahwa benar, yang menjadi permasalahan utama ialah dikuncinya hak kreditor oleh Pasal 47 Ayat (1) UU Kepailitan, yang menyatakan: “Tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diajukan oleh Kurator ke Pengadilan.”—maka dari itu bila kurator dianggap tidak kooperatif terhadap para kreditor, ketentuan pasal pidana tersebut diatas dapat dijadikan alternatif bagi debitor pailit yang merugikan hak para pelunasan para kreditornya.
KUHPerdata mengenal konsep actio pauliana, namun dalam kasus kepailitan, UU Kepailitan menjadi lex spesialis, sehingga hak kreditor mengajukan actio pauliana terhadap debitor pailit memang tertutup, sehingga itikad baik kurator menjadi mutlak. Namun, UU Kepailitan tidak memberikan monopoli bagi kurator untuk mengajukan laporan tindak pidana terhadap debitor pailit, sehingga masing-masing kreditor dapat saja mengajukan dirinya sebagai pelapor, disamping opsi lainnya seperti mengajukan kurator pengganti kepada hakim pengawas di Pengadilan Niaga yang menetapkan putusan pailit atas debitor.
Penutup:
Satu hal menarik untuk disimak, UU Kepailitan maupun Undang-Undang Hak Tanggungan dan undang-undang Fidusia menyatakan secara ekplisit bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan dapat mengeksekusi agunan yang dipegangnya seolah tidak terjadi kepailitan. Artinya, agunan tak masuk dalam boedel pailit, sehingga kreditor pemegang jaminan kebendaan tetap dapat mengajukan gugatan actio pauliana terhadap debitor selama yang telah digelapkan debitor adalah agunan yang dipegang sang kreditor.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


[1] KUHP versi terjemahan P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Edisi Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009).
[2] Versi terjemahan Lamintang, ibid.
[3] Ibid, hlm. 264.