Konsekuensi Melanggar Syarat Sah Perjanjian berupa Causa yang Sahih, Penggunaan Bahasa Asing dalam Kontrak yang Dijalankan Di Indonesia

LEGAL OPINION
Question: Apakah betul bahwa kontrak / perjanjian hubungan bisnis keperdataan yang dijalankan di Indonesia wajib berbahasa Indonesia? Bagaimana jika ketentuan tersebut diterobos dalam praktiknya?
Answer: Memang benar, terdapat ketentuan tegas dalam undang-undang yang menyatakan secara eksplisit, bahwa kontrak yang melibatkan unsur warga negara atau badan hukum nasional Indonesia, wajib berbahasa Indonesia.
Yang rugi adalah pihak asing, dan yang diuntungkan adalah pihak Indonesia, karena sewaktu-waktu pihak dari Indonesia dapat mengajukan gugatan pembatalan kontrak tersebut ke hadapan pengadilan bila merasa tidak cocok lagi melangsungkan kontrak.
Bukankah ini tampak seperti sebuah celah hukum? Ya, namun celah hukum yang menguntungkan bagi pihak nasionalis Indonesia. Disisi lain, amat jarang investor asing yang tidak memiliki legal counsel yang paham hukum Indonesia, atau setidaknya mereka meng-hire konsultan hukum di Indonesia untuk menangani masalah kontrak bisnis.
Kelalaian pihak afiliasi investor asing dalam memberikan advice sehubungan dengan hukum di Indonesia, adalah tanggung jawab pihak investor tersebut dengan konsultan hukumnya, sehingga secara moril tidaklah dapat dikatakan “celah hukum” bila celah tersebut justru dibuka oleh pihak asing.
KESIMPULAN DAN PENUTUP :
Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009):
(1)       Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2)       Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Penjelasan Resmi Pasal 31Ayat (1) UU No. 24/2009:
Ayat (1): “Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
Ayat (2): “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.”
Pihak Kementerian Hukum dan HAM RI telah menerbitkan peraturan bahwa kontrak asing dengan pihak asing yang berbahasa Indonesia tetap sah dan berlaku, pada prinsipnya tidak dibenarkan, sebab keputusan menteri tidak dapat bertentangan dengan undang-undang, dan hakim bebas untuk memutus berdasar undang-undang dengan menyimpangi keputusan menteri demikian.
Terdapat pihak-pihak yang beragumentasi, bahwa ketentuan UU tentang Bahasa tersebut tidak memiliki ketentuan sanksi bila dilanggar. Jawaban: segala hukum yang menyangkut hubungan hukum keperdataan, memiliki ketentuan sanksi bila syarat sah perjanjian tidak terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Bila peraturan perundang-undangan “melarang” atau “mewajibkan”, sementara kontrak yang ada justru menabrak “perintah”, “kebolehan”, ataupun “larangan”, maka ia masuk dalam kategori “causa yang tidak sahih” sehingga syarat objektif syarat sah perjanjian tidak terpenuhi—dengan konsekuensi batal demi hukum: dianggap perjanjian tersebut tidak pernah ada sejak awal, dan segala sesuatu dikembalikan seperti kondisi semula (vide Pasal 1265 KUHPerdata)
Sanksi “batal demi hukum” dianggap selalu ada dalam setiap peraturan perundang-undangan, yang mana hal tersebut terjadi bila kontrak keperdataan melanggar ketentuan yang ada. Sama seperti istilah “perbuatan melawan hukum” dalam setiap rumusan delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga sama seperti “perintah untuk menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan” meski putusan tidak menyatakan demikian, dianggap telah tercantum.
Untuk lebih jelas, lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar Tahun 2013 yang telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat banding dalam nomor register 601 K/PDT/2015, akibat membuat kontrak dalam bahasa asing.
Adapun bunyi Putusan PN JAKARTA BARAT Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar antara PT. BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI,; Lawan; NINE AM Ltd.:
“… Menyatakan bahwa Loan Agreement tertanggal 23-April-2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat batal demi hukum;
“Menyatakan bahwa Akta Perjanjian Jaminan Fiducia atas Benda tertanggal 27-April-2010 Nomor : 33 yang merupakan Perjanjian Ikutan (Accesoir) dari Loan Agremeent tertanggal 23-April-2010 batal demi hukum 
“Memerintahkan kepada Penggugat untuk mengembalikan sisa uang dari pinjaman yang belum diserahkan kembali kepada Tergugat sebanyak USD.115.540. (seratus lima belas ribu lima ratus empat puluh Dolar Amerika Serikat)…”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.