Sengketa Hak Asuh atas Anak, Putusan Pengadilan Tidak dapat Mengeksekusi Pihak yang Bukan Tergugat, dan Tidak dapat Mengamputasi Hak Anak untuk Memilih kepada Siapa ia Hendak Dibesarkan

LEGAL OPINION
Question: Pengadilan atas perkara perceraian yang saya hadapi, memberikan hak asuh terhadap sang Ibu dari anak-anak, meski hingga saat ini para anak-anak tinggal serta diasuh dan dibesarkan oleh saya selaku ayah mereka. Mereka pun memilih untuk dirawat oleh saya. Namun, petugas kelurahan secara sepihak merubah data kependudukan anak saya tanpa kartu keluarga asli yang hingga kini saya pegang, sehingga terjadi duplikasi data kependudukan dimana kini kartu keluarga mantan istri saya juga mencantumkan NIK serta nama anak. Pihak kelurahan tempat tinggal saya tampak lepas tanggung jawab atas mal-administrasi kependudukan ini. Langkah apa yang dapat saya lakukan untuk mempertahankan hak anak-anak saya untuk memilih tinggal dengan siapa? Sebagai tambahan, pihak kelurahan bukan menjadi pihak turut tergugat dalam gugatan perceraian yang saya alami.
Answer: Hanya juru sita pengadilan yang dapat melakukan eksekusi. Secara teknis prosedural administrasi kependudukan, seseorang baru dapat masuk sebagai salah satu anggota keluarga dalam Kartu Keluarga salah satu kepala keluarga, jika memiliki surat keterangan pindah datang, serta secara sehari-hari memang berdomisili (de facto) pada domisili tersebut.
Selama anak tersebut memang belum dieksekusi untuk dipindahkan secara fisik tinggal sehari-hari dengan sang ibu, maka anak tersebut tidak dapat dipindah data kependudukannya kepada pihak lain. Dengan kata lain, kelurahan telah melompati wewenang juru sita pengadilan (karena senyatanya fisik anak tersebut tetap tinggal bersama sang ayah), berhubung pihak kelurahan tidak dijadikan turut tergugat untuk merubah data dalam kartu keluarga para pihak yang bersengketa.
Namun, satu hal prinsip terpenting dalam hukum perdata, pihak yang tidak digugat, tidak terikat dan tidak tunduk pada putusan tersebut. Para pihak yang bersengketa dalam perkara perceraian ialah pihak suami dan istri, maka itu hanya mengikat sang pria dan sang wanita yang saling bersengketa perceraian tersebut. Karena anak tidak menjadi pihak tergugat, maka secara teori-yuridis formil, hak asuh adalah putusan yang tidak dapat dieksekusi, bilamana sang anak itu sendiri memilih untuk berlindung pada pihak yang tidak diberikan hak asuh tersebut.
Dengan kata lain, putusan mengenai hak asuh adalah putusan bersyarat, dimana jika sang anak memang berkehendak tinggal bersama pihak yang diberikan hak asuh namun ditahan oleh pihak yang dikalahkan, barulah putusan tersebut memiliki sifat konstitutif dan condemnatoir: membuat ketetapan hukum dan dapat dieksekusi karena melanggar perintah hukum.
EXPLANATION:
Pelayanan administrasi kependudukan merupakan salah satu ruang lingkup Administrasi Pemerintahan. Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), mengatur:
 (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan:
a. peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik).
(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Pasal 10 Ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan: “AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.”
Pasal 17 Ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang.
Menganai Syarat Sahnya Keputusan merubah data administrasi kependudukan, diatur dalam Pasal 52 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Pasal 63 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan dapat dilakukan perubahan apabila terdapat:
a. kesalahan konsideran;
b. kesalahan redaksional;
c. perubahan dasar pembuatan Keputusan; dan/atau
d. fakta baru.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mencantumkan alasan objektif dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditetapkan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan surat keputusan dan berlaku sejak ditetapkannya Keputusan perubahan tersebut.
(4) Keputusan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Keputusan perubahan tidak boleh merugikan Warga Masyarakat yang ditunjuk dalam Keputusan.
Pasal 64 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:
a. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas perintah Pengadilan.
(4) Keputusan pencabutan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
(5) Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
Pasal 66 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dibatalkan, harus ditetapkan Keputusan yang baru dengan mencantumkan dasar hukum pembatalan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 67 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Dalam hal Keputusan dibatalkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menarik kembali semua dokumen, arsip, dan/atau barang yang menjadi akibat hukum dari Keputusan atau menjadi dasar penetapan Keputusan.
(2) Pemilik dokumen, arsip, dan/atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembalikannya kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan pembatalan Keputusan.
Pasal 71 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:
a. terdapat kesalahan prosedur; atau
b. terdapat kesalahan substansi.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan
b. berakhir setelah ada pembatalan.
(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.
(4) Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.
(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Pasal 75 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. keberatan; dan
b. banding. (Penjelasan: Yang dimaksud dengan “banding” adalah banding administratif yang dilakukan pada atasan Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan konstitutif.)
Pasal 76 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.
(2) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada Atasan Pejabat.
(3) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. (Note: yang dimaksud dengan “Pengadilan” disini ialah PTUN, Pengadilan Tata Usaha Negara, lihat Pasal 1)
(4) Penyelesaian Upaya Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) berkaitan dengan batal atau tidak sahnya Keputusan dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan tuntutan administratif.
Pasal 76 Ayat (2) dalam kaitannya dengan Ayat (1) pasal yang sama, secara ekplisit mengatur, bila Badan / Pejabat Pemerintahan membuat surat penolakan terhadap keberatan yang diajukan warga negara, maka warga negara tersebut dapat mengajukan upaya hukum “banding” kepada atasan pejabat yang bersangkutan, misal surat penolakan oleh Lurah diajukan banding kepada Camat. Namun, jika dalam waktu 10 (sepuluh) hari surat keberatan Anda terhadap mal-administrasi pihak Kelurahan yang telah merubah data administrasi kartu keluarga Anda, tidak dibalas dengan surat jawaban, maka berlakulah ketentuan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan (Tata Usaha Negara) untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Pasal 77 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai permohonan keberatan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan Keputusan sesuai dengan permohonan keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 78 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan dapat diajukan banding dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keputusan upaya keberatan diterima.
(2) Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan banding.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan banding paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan banding dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 80 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36 ayat (3), Pasal 39 ayat (5), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 44 ayat (5), Pasal 47, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66 ayat (6), Pasal 67 ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 77 ayat (3), Pasal 77 ayat (7), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 78 ayat (6) dikenai sanksi administratif ringan.
(2) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (6), Pasal 70 ayat (3), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif sedang.
(3) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi administratif berat.
Sementara jika kita tinjau dari Pasal 45 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 49 UU Perkawinan:
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal tersebut diatas menerangkan, terdapat perbedaan antara “hak asuh” dengan “dicabutnya kekuasaan terhadap seorang anak”. Orang tua yang memiliki itikad baik merawat dan membesarkan anaknya, sekalipun “hak asuh” tidak dianugerahkan oleh pengadilan pada salah satu orang tua tersebut, maka putusan “hak asuh” pada dasarnya non-executeable—tidak dapat dieksekusi oleh juru sita pengadilan. Jika putusan tentang hak asuh kontraproduktif terhadap kepentingan sang anak, maka sejatinya pengadilan telah melanggar hak konstitusional sang anak.
Secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat : … b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak ;”—dengan demikian, ketika Anda pada faktanya menjamin dan benar-benar merawat, mendidik, dan membesarkan sang anak dengan penuh tanggung-jawab, maka putusan pengadilan yang tidak memberikan “hak asuh” pada Anda menjadi tidak lagi relevan. Tujuan dari putusan “hak asuh”, pada filosofinya ialah demi kebaikan sang anak itu sendiri—tidak bisa putusan “hak asuh” justru bertentangan dengan kehendak dan kepentingan sang anak.

Sementara itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, menjelaskan:
-       Pasal 1 Butir 11. “Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.”—Domisili sehari-hari anak pada Sang Ayah, mengapa KK diubah?
-       Pasal 1 Butir 13: “Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.”
Sebagaimana disebutkan dalam situs resmi http://satulayanan.id/layanan/index/1/kartu-keluarga-pengubahan-data/kemendagri , kartu keluarga asli adalah prasyarat dalam mengubah data kependudukan anggota keluarga, dimana masing-masing mantan suami dan istri telah terpisah rumah tangga, sehingga masing-masing menjadi kepala rumah tangga atas kartu keluarganya sendiri, sehingga memindahkan data anak kedalam salah satu kartu keluarga, akan membawa konsekuensi turut berubahnya data dalam kartu keluarga pihak lain. Itulah sebabnya, tanpa kesediaan kedua orang tua menyerahkan kartu keluarga untuk diubah, maka pemindahan data administrasi kependudukan terhadap NIK (nomor induk kependudukan) sang anak, adalah tindakan ilegal. Oleh sebab itu, selama juru sita pengadilan tidak pernah mengeksekusi dan menyita kartu keluarga sang ayah maupun sang ibu untuk diserahkan kepada kelurahan, maka pihak Kelurahan tidak memiliki kewenangan untuk merubah data dalam kartu keluarga tersebut.
Secara nalar, putusan pengadilan mengenai hak asuh tidak dapat melawan kepentingan sang anak itu sendiri. Jika Sang Anak memilih untuk tinggal bersama Sang Ayah, maka adalah hak atas keputusan sang Anak sendiri untuk tinggal dengan siapa.
Sebuah data yuridis dalam Kartu Keluarga, mengikuti keadaan de facto (senyatanya di lapangan). Jika Sang Anak memilih tinggal dengan sang ayah, dan benar-benar berdomisili dengan sang Ayah, maka KK tidak dapat diubah dengan alasan apapun—sekali lagi, putusan pengadilan mengenai hak asuh tidak dapat melawan kepentingan dan kehendak Sang Anak itu sendiri.
Seorang Anak, dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. Dengan demikian perbuatan Kelurahan yang telah merenggut hak sang anak, melanggar UU tentang Perlindungan Anak.
KK hanya dapat berubah, bila Sang Anak memilih untuk sebaliknya. Hak Asuh, pada filosofinya hanya berlaku dalam kasus ketika sang anak belum mampu memilih demi kebaikan dirinya sendiri. Misal, seorang Balita. Yang dapat mengeksekusi putusan pengadilan, adalah juru sita. Juru sita pengadilan tidak pernah menarik dan men-sita anak Anda untuk diserahkan ke dalam penguasaan Sang Ibu, sehingga tidak terjadi perubahan domisili terhadap Sang Anak sebagaimana tiadanya surat pindah maupun surat pindah datang yang menjadi syarat mutlak dari perubahan KK.

Sebagai gambaran, Peraturan Daerah DKI Jakarta No.2 Tahun 2011 mengatur secara tegas dan eksplisit:
-        Pasal 13 Ayat (4): Setiap penduduk hanya terdaftar dalam 1 (satu) KK sesuai dengan nomor yang ditetapkan Dinas.
-        Pasal 66 Ayat (1): “Setiap orang yang tidak mempunyai hak dilarang mengubah, menambah, atau mengurangi, isi eleman data dan Dokumen Kependudukan.
-        Pasal 75:
(1)  Peran serta masyarakat dan pengurus RT/RW dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil dilaksanakan melalui partisipasi aktif dalam penyebarluasan informasi mengenai peraturan dan pelayanan administrasi kependudukan kepada sesama warga masyarakat.
(2) Peran serta pengurus RT/RW untuk melaporkan kepada Dinas melalui Lurah apabila:
a.    Terdapat penduduk yang sudah lebih dari satu tahun tidak berdomisili di alamat yang sesuai dengan KTP dan KK; dan
b.    Terdapat penyalahgunaan dokumen kependudukan oleh orang dan atau pihak lain.
-        Pasal 78:
(1) Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang administrasi kependudukan berdasarkan penugawasan Kepala Dinas.
(2) Tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayar (2), dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan kewenangan:
a.    Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.    Melaksanakan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c.     Melakukan penyitaan benda atau surat;
d.   
-        Pasal 79 Ayat (2): “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan:
a.    Pemalsuan surat dan/atau dokumen kependudukan;
b.    Mengubah, menambah, dan mengurangi isi elemen data pada dokumen kependudukan;
c.     Tanpa hak mengakses database kependudukan;
d.    Tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan blanko kependudukan; dan
e.     Mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari 1 (satu) KK;
Dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
-       Pasal 79 Ayat (3): “Dalam hal tindak pidana sebagaimaan dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pejabat atau petugas pada instansi pelaksana dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditambah 1/3 (satu pertiga).”
Penulis meyakini telah terjadi tindak pidana pemalsuan surat. Logikanya: tidak mungkin ada dua KK asli yang isinya saling overlaping. Karena ada dua versi, berarti satu KK adalah dokumen “aspal”—asli tapi palsu. Karena ada dokumen “aspal”, berarti ada pelaku tindak pidana pemalsuan surat, entah pemalsuan surat KK sang Ayah oleh seorang oknum ketika merubah isi KK tersebut, atau surat lainnya oleh RT, RW, atau pihak kelurahan itu sendiri.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
 Dapat dibuat pengaduan terhadap tindakan aparatur pemerintah setempat kepada Ombudsman, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Komnas Perlindungan Anak, Gubernur, Camat, bahkan hingga Presiden RI lewat surat yang diserahkan kepada Sekretariat Negara.
Anak, adalah subjek hukum yang berdiri sendiri, terpisah dari subjek hukum orang tuanya, sehingga putusan sengketa perkawinan yang berujung pada perceraian rumah tangga, tidak dapat membebankan suatu kewajiban kepada sang anak. Sang anak bukanlah pihak tergugat maupun turut tergugat, sehingga sekalipun putusan perceraian memberikan hak asuh pada salah satu orang tua, putusan hak asuh pada prinsipnya tidak dapat dieksekusi.
Eksekusi suatu putusan pengadilan, hanya dapat dilakukan oleh juru sita pengadilan setempat. Adalah mustahil untuk mengeksekusi sang anak untuk dipindahkan secara paksa terhadap salah satu orang tua yang memenangkan hak asuh.
Oleh karena itu, sang anak dapat membuat surat pernyataan pilihan domisili tetap pada salah satu orang-tuanya, dan dengan demikian pihak kelurahan wajib mengkoreksi dokumen kependudukan maupun Kartu Keluarga salah satu orang tua yang dipilihnya sebagai kepala keluarga tempat ia memilih bertempat-tinggal tetap.
Kelurahan, selama tidak dijadikan pihak Turut Tergugat, tidak dapat secara sepihak merubah data kependudukan, terlebih tanpa terdapat surat keterangan pindah, surat keterangan pindah datang, maupun Kartu Keluarga asli kedua orang tua yang direvisi oleh pihak Kelurahan.
Atas cacat prosedur yang dilakukan oleh piha Kelurahan, wajib dikoreksi oleh pihak kelurahan yang bersangkutan, dimana jika tidak, akan menjadi sengketa tata usaha negara yang berujung pada digugatnya lembaga negara ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.