Tidak Selamanya Agunan Berasal dari Debitor, Debitor dapat Mengajukan Kredit, sementara Jaminan Kebendaan Berasal dari Pemilik Agunan (Pihak Ketiga)

LEGAL OPINION
Question: Perusahaan yang kami dirikan hendak meminjam sejumlah kredit investasi dan modal kerja ke sebuah perbankan. Yang menjadi pertanyaan kami, salah satu dari para pendiri hendak memberikan inbreng kepada perusahaan (yang berbentuk Perseroan Terbatas), berupa sebidang tanah, agar tanah tersebut menjadi harta kekayaan perusahaan. Tujuan inbreng tanah tersebut, agar tanah tersebut dapat menjadi agunan sebagai jaminan bagi bank yang hendak memberikan kucuran kredit kepada kami. Apakah benar, bahwa PT tidak dapat memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik atas tanah) sehingga SHM tersebut harus diturunkan dahulu derajatnya menjadi SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) sebelum dapat dijadikan agunan?
Answer: Yang dimaksud dengan inbreng, adalah dimasukkannya suatu hak kebendaan, baik bergerak maupun tidak bergerak, untuk menjadi modal atau harta kekayaan perusahaan.
Dalam hukum jaminan kebendaan yang berlaku di Indonesia, tidak terdapat kewajiban subjek debitor tersebut yang harus memberikan harta kekayaan dirinya sebagai agunan jaminan pelunasan piutang kreditor.
Sehingga, perusahaan Anda tetap dapat mengajukan proposal permohonan kredit kepada pihak perbankan, dengan turut serta tampilnya pihak ketiga selaku penjamin ataupun pemberi agunan sebagai pihak yang turut mengikatkan diri.
Sehingga, tidak perlu bagi salah satu dari Anda menyetorkan inbreng, dengan konsekuensi turunnya derajat hak atas tanah dari SHM menjadi SHGB. Cukup PT menjadi “debitor”, bank menjadi “kreditor”, dan pemilik SHM sebagai “Pemberi Agunan/Hak Tanggungan”, atau jika perlu pihak pemberi personal guarantee sebagai “Penjamin” (kalangan notaris dan perbankan acapkali salah kaprah mencampuradukkan antara pemberi jaminan perorangan dengan pemberi jaminan kebendaan).
Hukum jaminan kebendaan mengenal istilah “Pemberi Jaminan” atau “Penjamin”, yakni pihak lain diluar debitor, yang memberikan harta kekayaannya sebagai jaminan pelunasan hutang debitor, dengan cara turut memberikan tanda-tangan terhadap APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan) maupun Akta Pembebanan Fidusia.
Patut dicatat, bahwa “Pemberi Jaminan” atau “Penjamin” berupa agunan benda bergerak atau tidak bergerak, dapat baru tampil saat pengikatan dalam APHT ataupun Akta Pembebanan Fidusia, sekalipun ia belum muncul dalam Akad Kredit.
Akta kredit yang menjadi perjanjian pokok yang melahirkan produk turunan (accessoir) berupa Hak Tanggungan maupun Fidusia, memiliki fungsi pokok berupa hutang-piutang, bukan perihal tanggung-menanggung. Pihak yang hendak menjadi penanggung, baik personal/corporate guarantee maupun pemberi agunan, dapat tampil saat APHT ataupun Akta Pembebanan Fidusia.
Hanya saja, hal tersebut cukup beresiko, oleh sebab akad kredit berfungsi pula sebagai pengikatan komitmen perdata secara hukum bagi pihak-pihak yang menyatakan bersedia menjadi penanggung ataupun pemberi jaminan sebagai agunan pelunasan kredit.

KESIMPULAN DAN PENUTUP :
Memang benar undang-undang agraria nasional di Indonesia belum memungkinkan bagi suatu badan hukum Perseroan Terbatas memiliki sertifikat Hak Milik atas tanah (kecuali bank berbentuk PT. Persero), namun membuka peluang untuk penguasaan SHGB, SHGU, dan Hak Pakai atas tanah negara.
Dalam praktik, sering dijumpai bahwa debitor tidak memiliki jaminan kebendaan untuk dijadikan agunan, namun kreditor dapat tetap menyalurkan kredit karena tampilnya pihak ketiga sebagai penjamin ataupun pemberi jaminan kebendaan.
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:
(1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya.
(2) Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan.
(3) Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT):
 (1). Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2). Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Pasal 10 UU HT:
(1). Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
(2). Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Resmi Pasal 10 Ayat (1) UU HT menjelaskan:
“Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang-piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia.”
Melihat klausul hukum tersebut diatas, bisa jadi akad kredit tidak menyebutkan suatu agunan tertentu ataupun penjamin tertentu, dimana penjamin dan agunan tertentu baru tampil saat pembentukan SKMHT ataupun APHT. Sebab pada prinsipnya, APHT yang disempurnakan dalam SHT, adalah berupa pengikatan terhadap agunan guna pelunasan hutang-piutang dalam akad kredit. Akad kredit memiliki fungsi utama sebagai hubungan hukum hutang-piutang, bukan hubungan hukum tanggung-menanggung, sehingga dapat saja hal tersebut terjadi tanpa menutup kemungkinan terdapat pemberi agunan lain yang menampilkan dirinya saat pengikatan dalam APHT.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.