Menggugat Sikap Pasif Penyelenggara Negara dalam Melayani Warga Negara, Diam Diartikan Dikabulkannya Permohonan Warga Negara, Kepastian Hukum Permohonan Konkretisasi ke Hadapan PTUN yang Memutus dalam Tempo 21 Hari

LEGAL OPINION
DIAM DIARTIKAN DIKABULKANNYA PERMOHONAN WARGA NEGARA
Question: Saya mengajukan permohonan dispensasi ke kantor pelayanan masyarakat, namun setelah sekian lama belum juga terdapat jawaban positif ataupun negatif terhadap permohonan yang saya ajukan. Posisi perusahaan yang saya jalankan kini menggantung. Apa langkah yang dapat kami lakukan bila tiada kepastian hukum demikian? Mohon gambaran detail atas langkah-langkah yang dapat kami ajukan demi kepastian permohonan dispensasi pihak kami.
Answer: Tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, dalam terminologi hukum dikenal dengan istilah “Administrasi Pemerintahan”. Salah satu produk keputusan Badan / Pejabat Pemerintahan ialah Dispensasi.
Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah, dalam hukum dikenal dengan istilah “Dispensasi”. Dispensasi adalah hal/isu yang sensitif, karena menyangkut suatu larangan atau perintah, biasanya diiringi oleh suatu sanksi keras bila perintah atau larangan tersebut dilanggar.
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, mengatur:
(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah.
(5) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.
Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan, dimana Hak tersebut salah satunya ialah menerbitkan Dispensasi, disamping kewenangan menerbitkan izin serta konsesi.
Jika lewat masa tempo 10 hari kerja sebagaimana diatur ketentuan tersebut diatas, tanpa surat keterangan/jawaban atas permohonan Dispensasi yang Anda ajukan, maka berdasarkan hukum, permohonan Anda dianggap di-KABULKAN—dengan catatan perlu permohonan konkretisasi ke hadapan PTUN yang akan memutus paling lama 21 hari.
Namun yang perlu diperhatikan ialah ketentuan Pasal 39 Ayat (6) diatas, dimana Izin, Dispensasi, maupun Konsesi, dianalogikan sama seperti perjanjian perdata yang bersifat “syarat batal”—artinya, jika izin ataupun konsesi tersebut dikemudian hari ternyata melahirkan kerugian negara, maka izin ataupun konsesi tersebut menjadi tidak sah.
Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 5 Tahun 2015 mengenai tata cara pengajuan permohonan konkretisasi persetujuan secara diam-diam tersebut.

EXPLANATION:
Keputusan Administrasi Pemerintahan, yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara (yang selanjutnya cukup disebut “Keputusan”), adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, “jawaban lisan” bukan merupakan Keputusan, karena tiada produk hukum Keputusan berupa ketetapan tertulis. Jawaban secara lisan atas permohonan Pemohon, disamakan dengan “sikap pasif”
Sementara yang dimaksud dengan Tindakan Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya cukup disebut “Tindakan”, adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan mengatur, sejak diberlakukannya UU Administrasi Pemerintahan, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Konsep-konsep dasar diatas perlu dipahami oleh setiap warga masyarakat dalam memahami hukum administrasi negara. Irvan Mawardi, SH, MH dalam artikelnya “KTUN Fiktif Positif Dan Akuntabilitas Administrasi Pemerintah”, menuliskan:
 “Adanya penolakan terhadap penerbitan sebuah Keputusan yang telah menjadi kewenangannya berpotensi melahirkan sengketa administrasi. Selain menguji keluarnya keputusan Pejabat TUN, PTUN juga memiliki wewenang untuk mengadili sikap pejabat TUN yang mengabaikan permohonan warga agar diterbitkan sebuah KTUN.  Sikap mengabaikan atau mendiamkan permohonan jelas dapat menimbulkan kerugian di pihak warga masyarakat yang memohonkannya. Di dalam teori tentang etika administrasi negara, salah satu cara untuk mengawasi dan mencegah terjadinya sikap mengabaikan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah dengan melakukan apa yang disebut sebagai sistem pertanggungjawaban legal.[1]
Dalam konsep hukum administrasi negara, sikap diam aparatur negara diistilahkan sebagai “keputusan fiktif”, artinya “diam adalah keputusan itu sendiri”, karena tidak mengeluarkan suatu keputusan tata usaha negara yang dimohonkan oleh warga masyarakat maupun badan hukum di Indonesia. Keputusan Fiktif tersebut adalah salah satu ranah dalam objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Mengapa sikap diam dapat dijadikan dasar gugatan? Karena menurut filosofi pembentukan lembaga eksekutif, adalah kewajiban para penyelenggara negara dalam melayani masyarakat—kini sejak UU Administrasi Pemerintahan terbit, terjadi perluasan terhadap setiap pejabat tata usaha negara dalam lingkungan lembaga yudikatif maupun legislatif. Kelalaian atau kesengajaan menunda pemenuhan hak-hak warga masyarakat, itulah yang disebut dengan “sikap diam”.
Hanya saja, yang kini perlu diketahui oleh para penyelenggara negara maupun warga masyarakat, Keputusan Pejabat Pemerintah bukan hanya berupa Keputusan / Ketetapan / jawaban tertulis, namun suatu TINDAKAN FAKTUAL-pun masuk dalam kategori definisi “Keputusan Pejabat Pemerintahan”. Pengecualian untuk itu, adalah sebuah “jawaban lisan”, dimana tidak diikuti jawaban tertulis maupun tindakan faktual, maka itu dianalogikan sama seperti “tidak dijawab”.
Dalam rezim PTUN pra tahun 2014 (atau pra UU Administrasi Pemerintahan), sikap diam tersebut diartikan sebagai suatu “penolakan”. Berkebalikan dengan prinsip dalam resim klasik tersebut, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, mengatur sebaliknya, sebagaimana dientukan dalam Pasal 53, yang mengatur:
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. [Note: untuk mengetahui “lengkap” tidaknya, bukan berdasarkan pernyataan lisan dari pejabat bersangkutan, namun merujuk pada persyaratan yang tertuang dalam SOP instansi yang bersangkutan.]
 (3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan tersebut tidak lepas dari ketentuan Pasal 52 Ayat (1) yang menyatakan: “Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.”
Pasal 52 Ayat (1) ketika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 53, mengandung sifat resiprosikal/resiprositas (prinsip timbal-balik, reciprocity principle). Artinya, sikap diam aparatur pemerintahan tidak dapat dijadikan pokok sengketa berdasarkan mekanisme Pasal 52 UU Administrasi Pemerintahan, apabila:
1.     Permohonan suatu keputusan tata usaha negara tidak ditujukan kepada pejabat yang berwenang;
2.     Diajukan tidak sesuai prosedur maupun persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
3.     Meminta substansi/judul keputusan yang tidak sesuai dengan judul/substansi permohonan yang disampaikan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya, adalah keliru jika membuat keputusan yang bertentangan dengan prosedur. Sebaliknya, warga masyarakat pun tidak dapat menuntut keputusan aparatur pemerintah jika mengajukan permohonan tidak melalui prosedur yang benar / memadai. Inilah yang dimaksud dengan asas resiprositas dalam rezim UU Administrasi Pemerintahan.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah yang dipermasalahkan oleh warga masyarakat adalah “sikap diamnya” dari aparatur negara, ataukah karena adanya “penyalahgunaan wewenang” oleh aparatur negara dalam melayani masyarakat? Apa juga perbedaan antara “sikap diam” dengan “penyalahgunaan wewenang”?
Dalam permohonan Dispensasi, tetap terbuka kemungkinan adanya “penyalahgunaan wewenang” oleh aparatur pemerintahan, terutama bila itu terkait suatu “perintah/kewajiban” yang dimintakan Dispensasi. Suatu keadaan atau faktor kondisi mempengaruhi rasional atau tidaknya suatu perintah, sehingga secara ekonomi maupun psikologi-sosial mendesak warga negara untuk mengajukan permohonan Dispensasi. Namun secara kasuistik, suatu Keputusan “larangan” pun dapat merupakan ekses penyalahgunaan wewenang, sehingga warga masyarakat merasa perlu untuk mengajukan permohonan Dispensasi. Dispensasi yang tertunda dapat mengakibatkan kerusakan pada praktiknya di tengah masyarakat umum.
“Sikap diam”, lebih kepada sikap pasif/lalai (culpa). Sementara “penyalahgunaan wewenang”, lebih kepada sikap aktif namun secara sengaja telah menyalahgunaan kekuasaan yang diembannya dalam melayani masyarakat. Oleh sebab itu, untuk menentukan apa yang hendak digugat ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu kiranya dipahami konsep “Larangan Penyalahgunaan Wewenang” dalam rezim UU Administrasi Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Pasal 18 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penjelasan Resmi Pasal 19 UU Administrasi Kependudukan:
Ayat (1): “Yang dimaksud dengan “tidak sah” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.”
Ayat (2): “Yang dimaksud dengan “dapat dibatalkan” adalah pembatalan Keputusan dan/atau Tindakan melalui pengujian oleh Atasan Pejabat atau badan peradilan.”
Terhadap masing-masing konstruksi hukum mal-adminstrasi pemerintahan yang terjadi, terdapat mekanisme teknis yang saling berbeda.
1.     Pedoman beracara di PTUN dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 4 Tahun 2015; sementara
2.     Pedoman beracara untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan, diatur dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2015.
Terdapat tiga istilah pokok dalam jenis Keputusan, yakni:
                      I.          Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                   II.          Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                 III.          Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun untuk ranah konstruksi hukum dalam seluruh bahasan diatas, baik sengketa yang ditimbulkan akibat “sikap pasif” maupun “penyalahgunaan wewenang”, yurisdiksi/kompetensi pengadilan yang berwenang ialah PTUN. Pertama-tama kita akan bahas mengenai tindak lanjut terhadap “sikap pasif” aparatur pemerintahan sebagaimana diatur dalam PERMA No.5 Tahun 2015:
1)      Yang dimaksud dengan Permohonan untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Pengadilan dalam hal permohonan dianggap dikabulkan secara hukum yang disebabkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan.
2)      Pemohon ialah pihak yang permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum akibat tidak ditetapkannya Keputusan dan/atau tidak dilakukan Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dan karenanya mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan putusan atas penerimaan permohonan.
3)      Termohon ialah Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mempunyai kewajiban untuk menetapkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan sebagaimana dimaksud dalam permohonan dari pemohon.
4)      Permohonan diajukan secara tertulis dalam lima rangkap yang memuat:
-       identitas pemohon, baik pemohon berupa orang-perorangan maupun permohon berupa Badan Hukum Perdata ataupun Badan Hukum Pemerintahan;
-       uraian yang menjadi dasar Permohonan, meliputi:
a.     Kewenangan Pengadilan;
b.    kedudukan hukum (legal standing)/kepentingan Pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan akibat tidak ditetapkannya Keputusan dan/atau tidak dilakukannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam batas waktu kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (atau apabila batas waktu dimaksud tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maka dihitung dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerinthaan;
c.     alasan Permohonan yang diuraikan secara jelas dan rinci mengenai kewenangan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, prosedur, dan substansi penerbitan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Yang perlu kita garis-bawahi, asas-asas umum pemerintahan yang baik bersifat tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga bila suatu perbuatan atau kelalain tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan namun dapat melanggar asas umum pemerintahan yang baik, seperti kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan,  kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik, ataupun berdasarkan rasio / nalar akal budi hakim dalam pertimbangan hukumnya ketika memutus (lihat Pasal 10 Ayat 2 UU Administrasi Pemerintahan);
-       hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan, yaitu:
                             I.          mengabulkan permohonan Pemohon; dan
                           II.          mewajibkan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerinthaan untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai permohonan Pemohon.
-       Permohonan tersebut ditanda-tangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya.
5)      Selain dalam bentuk tercetak, permohonan ke hadapan PTUN ini juga dilengkapi sofcop format digital dalam piringan CD atau sebagainya.
6)      Bila Pemohon diwakili oleh kuasanya, identitas Pemohon dalam Permohonan diuraikan terlebih dahulu diikuti identitas kuasanya, lengkap dengan surat kuasa khusus bagi sang penerima kuasa.
7)      Permohonan diajukan kepada PTUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan termohon melalui Kepaniteraan. PERMA menyatakan apabila termohon berkedudukan di luar negeri, Permohonan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta (bandingkan dengan Pasal 5 PERMA No.4 Tahun 2015, yang menyatakan apabila Pemohon berkedudukan di luar negeri, Permohonan diajukan kepada PTUN di Jakarta).
8)      Bila berkas permohonan dinilai telah lengkap, terdiri antara lain bukti yang berkaitan dengan identitas pemohon maupun bukti surat / tulisan yang berkaitan dengan permohonan yang sudah diterima lengkap oleh Termohon (wajib di-nasegel) berkas permohonan dinyatakan diterima dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara yang ditanda-tangani oleh Panitera setelah membayar pnjar biaya perkara.
9)      Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatata dalam Buku Register Perkara dan diberi nomor perkara, tanpa menutup kemungkinan untuk dicabut kembali oleh pemohon.
10)    Panitera menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak permohonan tersebut diregistrasi, dan Ketua PTUN menetapkan susunan Majelis Hakim (terdiri dari 3 hakim) yang akan memeriksa permohonan tersebut paling lama 2 (dua) hari kerja sejak berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan.
11)    Hakim Ketua Majelis menetapkan sidang pertama dan jadwal persidangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak berkas permohonan diterima oleh Majelis.
12)    Penetapan sidang pertama dan jadwal persidangan diberitahukan kepada pemohon dan Termohon, dan dalam relaas panggilan sidan bagi Termohon dilampiri serta surat permohonan oleh pemohon.
13)    Bagi Termohon, saat mengajukan tanggapan atas Permohonan, dapat melengkapi bukti tertulis, daftar calon saksi dan/atau ahli yang akan diajukan dalam persidangan, dalam hal pemohon bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli.
14)    Jadwal persidangan tersebut bersifat mengikat, dan tidak ditaatinya jadwal tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan atau hak bagi pihak yang bersangkutan untuk berproses kecuali terdapat alasan yang sah.
15)    Panggilan sidang pertama disertai dengan:
-       Jadwal persidangan;
-       Perintah untuk melengkapi bukti-bukti tambahan lainnya selain bukti yang telah diajukan saat pendaftaran Permohonan;
-       Perintah untuk mempersiapkan saksi dan/atau ahli yang akan diajukan dalam persidangan sesuai dengan jadwal persidangan yang telah ditetapkan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli.
16)    Panggilan sidang ditandatangani oleh Panitera atau Panitera Pengganti yang menangani permohonan dan disampaikan secara langsung oleh Jurusita atau Jurusita Pengganti atau melalui telepon, faksimili, email, dan/atau surat tercatat yang dibuktikan dengan berita acara pengiriman—dan harus sudah dikirim kepada pemohon dan termohon/kuasanya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
17)    Surat Panggilan tersebut dianggap sah, bila pihak yang bersangkutan tersebut telah dikirimkan (alias telah menerima) surat panggilan 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
18)    Pemeriksaan persidangan dilakukan oleh majelis hakim tanpa melalui proses dismissal maupun pemeriksaan persiapan, dalam sidang yang terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
19)    Pemeriksaan persidangan berupa pemeriksaan pokok permohonan, tanggapan termohon, bukti surat/tulisan, mendengarkan keterangan saksi dan/atau ahli, pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.
20)    Pemeriksaan pokok permohonan dimulai dengan memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok Permohonan seperlunya.
21)    Bila pemohon mengajukan pencabutan permohonan, Majelis Hakim menerbitkan Penetapan Pencabutan Permohonan dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret Permohonan dari Buku Register Permohonan, yang salinannya diberikan kepada para pihak.
22)    Jenis-jenis alat bukti yang dapat diajukan untuk diperiksa di persidangan, meliputi: surat/tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim, serta alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.
23)    Sementara saksi dan/atau ahli dapat diajukan oleh pemohon, termohon, atau dipanggil atas perintah pengadilan.
24)    Yang termasuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dapat berupa rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik ataupun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka yang memiliki makna.
25)    Salah satu penerapan asas resiprosikal, ialah unsur di dalam alasan hukum yang menjadi dasar putusan atas penerimaan Permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan, salah satunya ialah pendapat majelis terhadap pokok permohonan mengenai kewenangan Badan atau Pejabat Pemerintah, prosedur, dan/atau substansi penerbitan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
26)    Amar putusan dapat berbunyi:
-       “Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, bila permohonan tidak memenuhi syarat formal, tidak sesuai kompetensi absolut / relatif pengadilan, ataupun bila pemohon tidak memiliki legal standing;
-       “Mengabulkan Permohonan Pemohon” dan “Mewajibkan kepala Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk menerbitkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan”—sesuai Permohonan Pemohon;
-       “Menyatakan permohonan pemohon ditolak”, dalam hal alasan Permohonan tidak beralasan hukum;
-       “Menyatakan permohonan gugur”, dalam hal pemohon tidak hadir dalam persidangan 2 (dua) kali berturut-turut pada sidang pertama dan kedua tanpa alasan yang sah atau pemohon tidak serius.
27)   Putusan PTUN atas penerimaan permohonan untuk mendapatkan  Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan bersifat final dan mengikat.
Sementara itu, PERMA No. 4 Tahun 2015 yang mengatur pedoman beracara dalam penilaian ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang, mengatur:
1)    Yang dimaksud dengan Wewenang ialah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2)    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan ialah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
3)    Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan ialah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
4)    Tindakan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
5)    Permohonan ialah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada PTUN untuk menilai ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
6)    PTUN berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana—dan PTUN baru berwenang untuk itu, setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah.
7)    Pasal 3: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang.”—adalah suatu akrobatik logika hukum, dimana seolah masyarakat wajib berasumsi bahwa terdapat itikad baik dari instansi pemerintah itu sendiri dalam menindak oknum/aparaturnya yang mal-administrasi. Asumsi ini tentunya baru benar ketika kita mengandalkan asumsi bergantung pada itikad baik dari instansi pemerintah itu sendiri dalam mengawasi dan menindak aparaturnya yang mal-administrasi. Apakah dengan ini Mahkamah Agung menutup pintu bagi warga masyarakat dalam mengajukan gugatan terhadap aparatur negara yang melakukan penyalahgunaan wewenang, karena “pintu” hanya dibuka untuk aparat pengawas intern pemerintah itu sendiri? Sementara telah menjadi rahasia umum, bahwa budaya hukum di dalam instansi pemerintah adalah masih menganut budaya semangat koprs yang saling menutupi dan melindngi.
8)    Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 21 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
Dalam Ayat Kedua diatas, UU Administrasi Pemerintahan hanya bermaksud untuk menyatakan, bahwa (selain warga masyarakat) pihak Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat pula mengajukan permohonan kepada PTUN untuk menilai ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang. Sehingga tidak dapat dimaknai sebagai “Badan dan/atau Pejabat Pemerintah sebagai satu-satunya yang dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan”. Dasar utama argumentasi penulis, UU PTUN belum mengenal konsepsi bawasannya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat menggugat Keputusan TUN ke hadapan PTUN. Namun, UU Administrasi Pemerintahan telah memberi hak tersebut, disamping kepada warga masyarakat, juga kepada lembaga pemerintah itu sendiri.
9)    Secara filosofi, yang paling berkepentingan karena telah dirugikan oleh tindakan mal-administrasi ialah warga masyarakat, sehingga kepentingan yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk menggugat aparatur pemerintah yang melakukan penyelahgunaan wewenang adalah hak primair. Namun, PERMA ini justru memberi hak kepada pejabat pemerintahan untuk meminta agar permohonannya untuk menyatakan keputusan dirinya selaku pejabat pemerintahan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang; sementara hak untuk memperkarakan oknum tersebut justru dianugerahkan kepada pemohon berupa badan pemerintahan secara monopolistik untuk menyatakan keputusan dan/atau tidnakan pejabat pemerintahan ada unsur penyalahgunaan wewenang serta untuk menyatakan batal atau tidak sah Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan. Bila Pemohon Badan Pemerintahan dapat meminta hal demikian dikabulkan oleh PTUN, mengapa tertutup bagi warga masyarakat hak yang sama untuk mengajukan permohonan demikian? Bagaimana jika Badan Pemerintahan tidak memiliki kompetensi memadai atau bahkan tidak memiliki itikad baik untuk menindak aparatur instansinya sendiri? Mengapa justru memberikan “senjata pamungkas” pada pihak instansi itu sendiri yang tentunya akan melindungi aparatur yang menjadi bagian dari korps instansi bersangkutan.
10)  Menjadi pertanyaan besar: PERMA justru membuat konstruksi sengketa di PTUN, negara melawan negara, melenceng dari filosofi dibentuknya lembaga PTUN. Pertanyaan besar lainnya: apakah setiap kali Badan Pemerintahan hendak mengkoreksi atau membatalkan dan merevisi Keputusan seorang Pejabat Pemerintahan, harus lewat mekanisme permohonan ke PTUN ini? Bagaimana jika dilakukan secara konvensional, dalam arti Badan Pemerintahan memiliki kewenangan prerogatif untuk meng-koreksi dan mencabut Keputusan Aparatur Negara yang menyalahi prosedur dan kaidah hukum? Apakah jika tetap menggunakan cara konvensional, maka Keputusan Badan Pemerintah yang membatalkan Keputusan Pejabat Pemerintahan, menjadi tidak sah?
11)  PERMA ini banyak mengandung salah persepsi dan salah kaprah, dengan menyimpang dari filosofi pembentukan dan pendirian PTUN. UU Administrasi Pemerintahan tidak pernah menyebutkan bahwa untuk mempermasalahkan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara, adalah monopoli urusan Badan Pemerintah, bukan menjadi hak warga masyarakat. Jika “Pemerintah RI” vs “Pemerintah RI”, maka cukup diselesaikan secara internal lembaga eksekutif, tanpa melibatkan lembaga yudikatif seperti PTUN. PTUN hanya relevan untuk hadir dan terlibat, ketika ranah sengketa administrasi pemerintahan terjadi antara “warga masyarakat” vs “negara/pemerintah”.
12)  Pengadilan wajib memutus Permohonan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak sidang pertama dilakukan.
13)  Pemohon dapat mengajukan pemeriksaan banding terhadap putusan PTUN kepada Pengadilan Tingi Tata Usaha Negara.
14)  Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus Permohonan banding paling lama 21 hari keja sejak penetapan susunan majelis, dan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut bersifat final dan mengikat.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Satu hal ambigu, dalam konteks PERMA No. 5 Tahun 2015, ialah rancu-nya konsep pemisah antara “sikap pasif” dan “penyalahgunaan wewenang”, ialah bilamana pejabat pemerintahan telah melakukan perbuatan keliru, namun tidak segera mengambil langkah mitigasi ataupun korektif meski telah diajukan surat permohonan koreksi, apakah hal tersebut masuk dalam kategori “merasa kepentingannya dirugikan akibat tidak dilakukannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam batas waktu kewajiban” (yang merupakan ranah “sikap pasif”) ataukah merupakan “perbuatan penyalahgunaan wewenang” ?
Ingat, aparatur pemerintah / pejabat pemerintahan memiliki kekuasaan monopolistik dalam hal administrasi kepemerintahan, dalam arti Keputusan untuk suatu hal hanya dapat melalui satu pintu, tidak terdapat alternatif lain bagi masyarakat untuk mengajukan permohonan, sehingga pembatalan atas Keputusan sebelumnya yang cacat prosedur/substansi wajib seketika itu juga dimitigasi/dikoreksi dengan penerbitan Keputusan baru. Warga masyarakat tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan maupun penerbitan Keputusan baru dari pihak lain—sifat ketimpangan “berat sebelah” inilah yang dicoba untuk diseimbangkan oleh UU Administrasi Pemerintahan sebagai tanggapan terhadap lemahnya pengaturan dalam UU PTUN yang selama ini ada.
Tidak melakukan tindakan memang merupakan “sikap pasif”, namun ketika “sikap pasif” tersebut merupakan “penyalahgunaan wewenang secara terselubung”, dalam arti tidak melakukan langkah mitigasi maupun korektif terhadap suatu cacat prosedur sebelumnya yang menjadi pokok sengketa, maka ia lebih cenderung kepada “penyalahgunaan wewenang”.
Bukankah lalai ataupun sengaja “untuk tidak mengambil langkah mitigasi dan korektif terhadap mal-administrasi yang terjadi sebelumnya” dimana sebetulnya pejabat pemerintah tersebut mampu mengambil sikap, juga merupakan suatu “penyalahgunaan wewenang”? Aparatur Pemerintah diwajibkan konstitusi untuk memperbaiki keputusannya yang cacat substansi dan/atau cacat prosedur, namun pembiaran demikian tentunya melukai hak konstitusi warga masyarakat yang dirugikan oleh mal-administrasi tersebut.
Ambil contoh ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan: “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:
b. mematuhi Asas Umum Pemerinthan Yang Baik (AUPB) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan;
Pasal 52 Ayat (1) Butir (b) UU Administrasi Pemerintahan: “Syarat sahnya Keputusan meliputi: … dibuat sesuai prosedur;”
Pasal 64 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:
a. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas perintah Pengadilan.
Pasal 71 UU Administrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:
a. terdapat kesalahan prosedur; atau
b. terdapat kesalahan substansi.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan
b. berakhir setelah ada pembatalan.
(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.
(4) Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.
(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Penjelasan Resmi Pasal 71 Ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan:
Huruf a: “Yang dimaksud dengan “kesalahan prosedur” adalah kesalahan dalam hal tatacara penetapan Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur.”
Huruf b: “Yang dimaksud dengan “kesalahan substansi” adalah kesalahan dalam hal tidak sesuainya materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam Keputusan yang dibuat, misal terdapat konflik kepentingan, cacat yuridis, dibuat dengan paksaan fisik atau psikis, maupun dibuat dengan tipuan.”
Yang perlu warga masyarakat sadari, sikap pasif terhadap permohonan Dispensasi, dapat jadi merupakan suatu “kesalahan prosedur”, mengingat prosedur yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan, dinyatakan bahwa dalam tempo waktu 10 hari kerja, surat permohonan wajib diberikan jawaban secara pasti dan tertulis. Jika tidak dijawab secara pasti dan tertulis, maka itu adalah kesalahan prosedur itu sendiri. Ingat, “diam” adalah Keputusan itu sendiri.
Namun, terlepas dari dialektika tersebut, tidak dibatalkannya Keputusan sebelumnya yang mengandung cacat, dan tidak seketika menerbitkan Keputusan baru sebagai langkah korektif, merupakan suatu “sikap pasif”—entah “sikap pasif murni” ataukah “penyalahgunaan wewenang terselubung sikap pasif”.
Dengan kata lain, “sikap pasif” bisa jadi merupakan “penyalahgunaan wewenang”, namun tidak semua “penyalahgunaan wewenang” berupa “sikap pasif”.
Namun, terlepas dari itu, filosofi utama pembeda antara sengketa tata usaha negara “sikap pasif” dengan “penyalahgunaan wewenang”, ialah berupa paramater sederhana dari konsepsi “sengketa akibat sikap pasif”, yakni: apakah tujuan utamanya mengajukan Permohonan ke hadapan PTUN adalah untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan, ataukah untuk menghukum penanggung jawab Badan/Pejabat Pemerintahan?
Tentu kita dapat menjawab: jika bisa keduanya berjalan secara paralel: permohonan mendapatkan Keputusan (baik Keputusan awal maupun Keputusan Korektif) yang lalai diterbitkan oleh aparatur pemerintah, serta permohonan agar aparatur penyelenggara negara tersebut dinilai menyalahgunakan wewenang.
Penulis melihat, bahwa keduanya dapat berjalan paralel, oleh sebab yang satu lebih condong ke ranah privat (hak keperdataan) dan yang satu adalah ranah hukum publik (administrasi negara/pemerintahan). Sama seperti perkara perdata yang dapat berjalan paralel dengan perkara pidana.
Perhatikan bunyi Pasal 2 Ayat (1) PERMA No. 4 Tahun 2015, yang menjadi kunci inferensi diatas:
PTUN berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana.”
Namun, PERMA No. 4 Tahun 2015 menjadi blunder yang mengamputasi UU Administrasi Pemerintahan, oleh sebab yang dapat menjadi Pemohon dalam kaitan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang, justru adalah pihak aparatur pemerintah itu sendiri secara monopolistik, bukan dari masyarakat sipil yang dirugikan oleh aparatur negara yang menyalahgunakan wewenang.
Pertanyaan utama yang gagal dijawab oleh UU Administrasi Pemerintahan maupun PERMA No. 4 Tahun 2015, ialah suatu Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang, hanya dapat dinyatakan tidak sah ataupun dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap—namun siapa yang dapat mengajukan gugatan pembatalan tersebut jika bukan masyarakat sipil dengan alasan adanya penyalahgunaan wewenang, sementara UU No. 51 Tahun 2009 telah mengamputasi hak warga masyarakat untuk menggugat Keputusan aparatur negara dengan alasan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diakui dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
PERMA No.4 Tahun 2015 membuat ambigu dan rancu ketentuan Pasal 1 UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya—sementara itu yang disebut dengan Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. Oleh karena itu, PERMA No.4 Tahun 2015 telah merusak tatanan filosofis eksistensi PTUN itu sendiri. Serta yang paling ironis, teramputasinya hak warga masyarakat dalam menggugat perbuatan penyalahgunaan wewenang aparatur negara.
Terkait permohonan Dispensasi yang tidak kunjung mendapat jawaban secara pasti, maka secara hukum permohonan Anda telah dinyatakan “DIKABULKAN”—hanya saja perlu diajukan permohonan konkretisasi ke hadapan PTUN dan akan diputus secara seketika dalam tempo 21 hari kerja.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


[1] http://ptun-samarinda.go.id/index.php/layanan-publik/42-ktun-fiktif-positif-dan-akuntabilitas-administrasi-pemerintah