Daerah Hunian Penduduk, Tertutup bagi Kegiatan Usaha yang Meresahkan / Mengganggu Ketenangan Masyarakat. Kegiatan Usaha Tanpa Izin, adalah Ilegal. Penjual Online ILEGAL Casing Handphone dengan Merek Dagang CASE PEDIA

LEGAL OPINION
Question: Saya adalah warga setempat yang setiap hari menjadi korban polusi suara dan polusi udara tetangga kami yang menjadikan rumahnya sebagai bengkel mebel dan furniture. Bunyi mesin pemotong kayu dan semprotan cat pelitur yang mencemari udara menjadi makanan sehari-hari kami, para tetangga yang terusik. Saya dan beberapa tetangga pernah mencoba menegur, namun tidak membuahkan hasil, karena ia berdalih telah mendapat izin RT untuk menjadikan rumahnya sebagai bengkel mebel. Apakah benar lingkungan perumahan dapat dijadikan tempat industri atau pabrik yang mengganggu lingkungan penduduk dengan berbagai polusi suara dan udaranya? Apa langkah yang dapat kami ambil agar hak-hak para tetangga untuk hidup tenang dapat dijaga dan dihormati oleh mereka yang tidak menghargai hak kami untuk hidup tenang bebas dari berbagai polusi demikian?
Answer: Setiap kegiatan usaha, terutama pabrik maupun industri, sekalipun itu berskala kecil, wajib memiliki izin usaha dari pemerintah setempat, bukan dari RT maupun RW. Untuk memiliki izin usaha, wajib didahului dengan dimilikinya izin usaha, izin lokasi, izin bebas gangguan dari pihak kelurahan setempat. Oleh sebab itu, hendaknya warga mengetahui konsekuensi jika mereka memberikan izin gangguan bagi operasional calon pelaku usaha agar tidak menyesal dikemudian hari. Selain perizinan, hukum tata ruang dan zonasi wilayah menjadi prasyarat mutlak, apakah tempat tersebut dapat menjadi lokasi tempat usaha atau tidaknya. Lingkungan zonasi perumahan, hanya dapat menjadi lokasi penghunian penduduk, tidak dapat digunakan untuk tempat kegiatan usaha terlebih sebagai pabrik meski berskala pabrik rumahan (home factory).
EXPLANATION:
Contoh sederhana berikut dapat menjadi ilustrasi. Jika pihak pemerintah daerah telah menyatakan bahwa suatu wilayah merupakan zonasi rumah hunian, membangun rumah toko di wilayah tersebut pun akan dilarang. Jika dilarang, maka pembangunan dan operasional rumah toko adalah ilegal, atau setidaknya tidak akan pernah dapat diberikan izin domisili usaha. Setiap penghuni atas penghunian, berhak atas ketenangan hidup, bebas dari segala jenis gengguan oleh kegiatan usaha yang berdampak meresahkan warga penghuni.
Untuk kasus yang Anda alami, kemungkinan besar masuk dalam zona perumahan karena seperti yang Anda sampaikan, bahwa daerah Anda adalah daerah yang diperuntukkan untuk penghunian penduduk. Untuk itu, Anda dapat melaporkan keluhan dan keberatan Anda terhadap pelaku usaha yang menjadikan rumahnya sebagai pabrik tersebut kepada pihak Kelurahan setempat, dimana jika Kelurahan setempat tidak menanggapi, dapat dilaporkan kepada Kecamatan. Jika pihak Kecamatan tidak memberikan respon ataupun tindak lanjut, maka dapat dilaporkan kepada Walikota / Bupati hingga Gubernur selaku Kepala Daerah.
Sekalipun ternyata izin telah didapatkan oleh pelaku usaha pabrik mebel tersebut telah dimilikinya namun dalam kenyataannya mengganggu ketenangan hidup warga setempat, maka bukan diartikan bahwa izin tersebut membenarkan kelakuan pelaku usaha yang mengganggu ketenangan hidup masyarakat.
Palaku usaha tersebut dapat digugat secara perdata oleh para tetangga yang merasa ketenangan hidupnya terganggu dan dirampas, atau menggugat Pemerintah Daerah yang menerbitkan izin tersebut ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara agar izin yang hanya mengganggu ketenangan hidup warga setempat dapat dibatalkan..
Namun, izin usaha itu pun dapat dicabut oleh pemerintah setempat berdasarkan keberatan yang dilaporkan oleh warga bila pejabat pemerintah memang memiliki itikad baik untuk melindungi warga negaranya. Kasus demikian, rumah di lingkungan perumahan yang menjelma pabrik, adalah kasus yang jamak terjadi di tengah masyarakat.
Hal ini adalah fenomena yang menjadi cerminan lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan instansi pemerintah di bidang tata kota. Fenomena kedua, pasifnya para tetangga, dimana meski secara konkret mengganggu, hanya terdapat satu atau dua kepala keluarga yang mengajukan keluhan, sementara pihak RT dan RW justru terkesan melindungi pelaku usaha yang mengganggu warga binaannya sendiri (RT setempat pastilah mengetahui usaha ilegal demikian, karena tetap mengutip iuran kebersihan setiap bulannya).
KESIMPULAN DAN PENUTUP :
Masing-masing daerah, baik di kota maupun kabupaten setiap provinsi, dapat dipastikan mengatur mengenai ketentuan mengenai ketertiban umum yang diatur dalam suatu Peraturan Daerah (Perda). Pelaku usaha yang menjadikan lokasi usaha tidak sesuai dengan peruntukkannya, termasuk dalam ranah pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Pada dasarnya setiap kegiatan usaha yang meresahkan warga masyarakat, dapat dicabut / dibatalkan izin usahanya, baik oleh pejabat / instansi penerbit izin maupun oleh atasan dari instansi pemerintah yang dahulu menerbitkan izin usaha tersebut.
Terlebih, jika kegiatan usaha dilakukan di lingkungan zonasi perumahan, maka itu adalah tindakan ilegal yang dapat dikenakan sanksi hukum, karena dipastikan tidak memiliki izin usaha dan izin gangguan. Jika sampai benar-benar merugikan warga negara lainnya, maka dapat dituntut ganti rugi materil maupun imateriel, serta upaya paksa lewat gugatan perdata.
Pemerintah perlu bersikap tegas, bukan hanya dengan menerbitkan pedagang kaki lima yang mengokupasi pedestrian bagi pejalan kaki, namun juga pelaku usaha yang dengan terlampau beraninya mencari keuntungan dengan mengorbankan hak-hak para warga setempat untuk hidup tenang.
Selain izin gangguan dari warga setempat, izin usaha, terdapat pula apa yang dinamakan surat keterangan domisili usaha yang biasanya menyatakan bahwa domisili usaha dapat dicabut bila pelaku usaha mencemari lingkungan ataupun mengganggu ketentraman warga setempat.
Pembiaran dan wujud pengabaian mencerminkan bagaimana tiadanya fungsi negara dalam melindungi warga masyarakatnya sendiri dari segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, negara seolah memelihara aksi-aksi yang menyerupai premanisme, karena negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat ketika dibutuhkan.
Secara psikologi, hal tersebut merupakan dampak bawaan dari pembiaran terhadap ulah masyarakat setempat pula, dimana dengan alasan hajatan mereka merasa memiliki hak untuk menutup jalan yang merupakan hak dari lalu lintas umum, dengan alasan berjualan mencari nafkah mereka merasa memiliki hak untuk memasang pengeras suara demikian keras yang mengganggu ketenangan hidup warga setempat di pemukiman, dengan alasan ada yang meninggal seolah membuat mereka merasa berhak untuk mengadakan konvoi dan menghalangi para pengguna jalan lain, dsb.
Semua pembenaran diri tersebut berujung pada muara pembenaran diri lain, tidak terkecuali para pelaku usaha nakal yang juga ikut-ikutan merasa berhak untuk membuat polusi suara dan polusi lainnya. Jika mereka boleh, mengapa saya tidak? Hukum menjadi “impoten” bila praktik masyarakat itu sendiri banyak melanggar hak-hak warga masyarakat lainnya. Pada prinsipnya, hukum kesetimpalan (fairness) memiliki suatu kaidah emas: prnsip resiprositas / resiprokal, bahwa jika mereka boleh mengganggu saya, saya pun boleh serta sah untuk mengganggu mereka.
Untuk mengubah kultur tidak sehat ini, marilah semua warga melakukan intropeksi, apakah selama ini mereka telah menghargai hak warga negara lain satu sama lain? Prinsip egosentris tidak pernah menampakkan wajah keseimbangan, disitulah kemudian timbul banyak anomali sebagai eksesnya.
Untuk menghentikan berbagai fenomena penyimpangan demikian, perlu dihentikan irasional yang menjadi akal budaya tidak sehat yang tumbuh dan dibiarkan meraja-lela di tengah masyarakat itu sendiri.
Sisi positif dari kejadian ini: intropeksi diri seluruh lapisan masyarakat, baik pejabat pemerintahan yang menutup mata atas lalainya peran mereka, hingga warga masyarakat setempat. Inilah yang disebut dengan budaya “korup” (penyalah-gunaan kesempatan) dengan “saling sandera”. Momentum ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua kalangan. Bila merasa berhak hidup nyaman dan tenteram, hendaknya hormati pula hak warga negara lainnya untuk hidup yang juga nyaman dan tenteram. Bukan sekadar bicara namun tiada konsistensi dalam praktik.

Kini, fenomena pengusaha ilegal di kawasan pemukiman menjamur sejak tren jual-beli via online. Skalanya dapat menyerupai tempat usaha besar di tengah-tengah pemukiman padat penduduk, dimana sekalipun dengan lebar jalan yang sempit, namun sang pengusaha memesan puluhan hingga ratusan kurir ojek online, hingga mobil box dan mobil kontainer untuk kegiatan usahanya, mengakibatkan parkir liar yang mengganggu warga setempat.

Bila ulah pengusaha ilegal demikian yang tidak bertanggung-jawab, tidak ditanggapi oleh pihak Pemerintah Daerah sekalipun warga yang terganggu telah melaporkan kegiatan usaha ilegal di kawasan pemukiman demikian, maka biarlah Hukum Karma yang bekerja untuk mengadili dan menjadi eksekutornya bagi pelaku usaha yang mencari keuntungan dengan mengorbankan hak-hak warga setempat.

Hukum Karma bagi pelaku usaha ilegal yang mencari keuntungan dengan merugikan orang lain, terlebih mengganggu dan merugikan warga setempat, akan terlahir kembali dalam keadaan miskin, hingga menjadi pengemis yang hidup dari menggelandang tanpa rumah dan tanpa pekerjaan. Bila para pelaku usaha ilegal tersebut tetap tidak takut terhadap ancaman sanksi dari Hukum Karma, maka biarlah para pengusaha serakah tersebut menggali lubang kubur mereka sendiri.

Semakin terluka dan semakin dirugikannya warga negara lain, terlebih merampas hak-hak dan ketenangan hidup warga setempat, maka semakin dalam sang pengusaha serakah tersebut terperosok ke dalam keserakahannya sendiri. Jika sudah begitu, sang pengsusaha serakah yang menyerupai premanisme demikian memang sudah selayaknya dikutuk untuk masuk neraka.

Derita dan kerugian warga yang dizolimi, menjadi kutukan bagi pelaku usaha serakah demikian. Mungkin pengusaha serakah tersebut dapat menyuap aparatur penegak hukum sehingga kebal terhadap hukum dan dapat terus melakukan kegiatan usaha ilegalnya dan membungkam warga yang menderita akibatnya, namun eksekutor dan hakim dari Hukum Karma, akan mengadili secara setimpal bagi pelakunya, tanpa perlu diadukan oleh para korban mereka. Tiada yang dapat benar-benar mencurangi hidup ini, 

Hukum Karma  tidak akan mentolelir bentuk-bentuk perilaku korup, terutama bila warga negara lain menjadi korban dari keserakahan seorang pengusaha yang hanya berorientasi profit sekalipun harus menumbalkan warga negara lainnya. Merampas, akan dirampas. Melukai akan dilukai. Merugikan akan dirugikan. Menyakiti akan disakiti. Mengganggu akan diganggu. Melecehkan akan dilecehkan. Bagaimana mungkin, seseorang pelaku usaha berharap akan terlahir kembali di surga setelah mendapat kutukan dari warga negara lainnya yang selama ini menjadi korban dari sang pelaku usaha yang tidak memiliki etika berbisnis?

Kutukan dari satu orang, sudah terlampau banyak. Apakah untuk mencari nafkah, harus dengan menggunakan cara-cara merugikan warga negara lainnya? Itu namanya tidak kreatif. Menjadi kaya secara materi, sah-sah saja, sepanjang diperoleh dan dihimpun secara jujur, legal, adil, dan tidak merugikan warga negara lainnya. Pengusaha tidak etis demikian, tidak ubahnya dengan orang yang mencari makan dari merampok hak-hak warga negara lainnya.

Yang semestinya takut ialah orang-orang berbuat kejahatan karena merugikan atau melukai warga negara lainnya, karena orang yang waras takut berbuat jahat, takut akan akibat hukum karmanya--bukan korban yang paling patut untuk merasa takut diperlakukan secara jahat karena setiap orang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut maupun segala bentuk kejahatan. Mengapa jadi pihak korban yang harus memohon-mohon agar tidak disakiti oleh pelaku usaha tidak etis demikian? Sangat ironis ketika seorang pengusaha mencari makan atau mencari kesenangan hidup dengan cara merugikan orang lain. Terlebih ironis mereka yang justru merasa 'beruntung' dan 'hebat' karena berhasil merugikan orang lain.

Hidup mereka seolah hanya untuk menimbun perbuatan-perbuatan buruk, sementara harta tidak dapat dibawa mati oleh sang pelaku usaha serakah demikian, namun Karma akan terus dibawa dan diwarisi oleh dirinya sendiri dalam kelahiran selanjutnya. Tidak ada kalangan pengusaha yang lebih bodoh daripada pengusaha-pengusaha yang merasa 'beruntung' karena berhasil memupuk kekayaan dengan merugikan warga negara lainnya. Menimbun karma buruk, adalah mimpi buruk, di mata orang-orang yang masih waras akal sehatnya.

Sebuah kutukan dari satu orang warga, sudah terlampau banyak. Itulah sebabnya, pengusaha-pengusaha yang mendirikan tempat usaha di tengah pemukiman penduduk secara ilegal demikian, tidak akan pernah maju menjadi pengusaha yang benar-benar besar dan tersohor--ia akan tetap menjadi pengusaha yang serakah namun kerdil, bagai katak dalam tempurung, yang setiap harinya menimbun kutukan dari warga negara lainnya.

Sebuah kutukan dari satu orang warga, sudah terlampau banyak. Restu dari segelintir warga, adalah terlampau sedikit, itulah filosofi orang-orang besar yang kemudian berhasil menjadi pengusaha besar yang dikenal harum namanya. Sementara pengusaha yang bodoh cenderung dan senantiasa berpikir bahwa sebuah kutukan dari seorang warga yang terzolimi, adalah terlalu sedikit dan tiada artinya--karenanya selamanya mereka dikodratkan menjadi pengusaha yang kerdil, mencari nafkah dengan menabung kutukan demi kutukan dari warga yang terampas hak atas pemukimannya.

Si (pengusaha) bodoh berpikir bahwa itu menguntungkan, sementara pengusaha yang cerdas tidak pernah merasa perlu mencari pendapatan dengan cara-cara merampas hak-hak warga negara lainnya. Selebihnya, tunggu hingga Hukum Karma akan mengadili pelaku dan mengeksekusinya. Ciri khas watak pengusaha serakah ilegal, yakni: TIDAK PUNYA MALU dan akan senantiasa berteriak "maling teriak maling" tanpa bertanggung-jawab, bahkan tidak segan melakukan aksi kekerasan fisik (premanisme) terhadap warga setempat yang melakukan aksi protes akibat terganggu hak-haknya untuk bermukim secara tenang dan damai sebagaimana fungsi perumahan dan pemukiman ialah untuk tempat tinggal, bukan untuk tempat usaha yang mengganggu dan meresahkan warga lainnya.

Pemerintah setempat mungkin mengabaikan dan melalaikan jeritan warga, tidak pernah hadir di tengah-tengah rakyat, Ketua Rukum Tetangga yang mudah disuap pengusaha bermodal kuat, namun Hukum Karma tidak pernah akan tinggal diam, hingga buah karma buruknya masak, ia akan berbuah kepada sang pelaku, hanya persoalan waktu. Memberi makan keluarga dengan uang dari merampas hak-hak warga lainnya, terutama dari kegiatan usaha ilegal (tidak berizin, karena diadakan di tengah lingkungan perumahan yang meresahkan warga sekitar), adalah uang KOTOR, dimana nasi yang mereka makan akan berubah menjadi sel-sel kanker berkat kutukan warga setempat yang menjadi korban. Pengusaha cerdas, ataukah pengusaha bodoh jika seperti itu hasilnya?

LIPUTAN HUKUM

Pengusaha Serakah Hendak menjadi Raja Jalanan, Mengalih-fungsikan Pemukiman Perumahan menjadi Tempat Usaha ILEGAL

Kita semua sebagai orang dewasa berakal sehat dan yang mengaku berpendidikan tentu mengetahui, yang disebut sebagai jalan umum artinya ialah jalan milik umum, dimana masyarakat umum memiliki hak untuk melintas tanpa hambatan pada apa yang menjadi “jalan umum” demikian. Memarkir kendaraan atau mengokupasi “jalan (milik) umum” sama artinya merampas hak warga sekitar maupun publik pengguna jalan untuk melintasi jalan dimaksud. Dalam kesempatan ini redaksi hukum-hukum.com melakukan liputan di tengah-tengah pemukiman warga di Ibukota DKI Jakarta, dengan ulasan hasil berita sebagai berikut:

Pengusaha serakah ilegal kriminal botak mafia jalan Al-Marifah nomor 9-11, Cengkareng, Jakarta Barat


Pengusaha serakah ilegal di tempat pemukiman perumahan penduduk
Pengusaha ilegal penjualan online casing handphone dengan nama toko online "CASE PEDIA".


Contohnya seperti gambar di atas yang redaksi potret pada sebuah pemukiman padat penduduk alias lingkungan perumahan yang dialih-fungsikan secara ilegal menjadi tempat usaha berskala cukup besar oleh satu keluarga pengusaha secara ilegal (lihat gambar, sisi kiri bangunan (Jalan Al-Ma'rifah Nomor 72, Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta) dimana satu deretan bangunan dari ujung gambar ke ujung gambar lainnya, yakni dari gedung Nomor 72 hingga bangunan dengan alamat jalan Al-Marifah nomor 9-11, dimiliki oleh satu orang keluarga pengusaha “botak” kriminal, yakni Penjual Online ILEGAL KRIMINAL Casing Handphone dengan Merek Dagang "CASE PEDIA"), dimana sang pengusaha ilegal kriminal memanggil mobil box, mobil kontainer, mobil pick-up, hingga ratusan “ojek online” dengan merek toko online-nya bernama "CASE PEDIA", setiap harinya tanpa sikap bertanggung-jawab, sehingga mengganggu ketenangan warga pemukim setempat akibat tiadanya tempat parkir yang memadai ataupun yang layak disediakan oleh sang pelaku usaha “serakah” ilegal demikian. Pengusaha serakah ilegal demikian tidak akan pernah sukses, karena dari segi mentalitas usaha saja mensejajarkan dirinya dengan sebuah toko kelontong di tengah pemukiman perumahan padat penduduk sekalipun dengan jumlah karyawan mencapai puluhan orang di dalamnya.

Aktivitas usahanya pun kerap membuat suara-suara tidak sedap didengar seperti suara-suara plester saat kurir memplester barang kirimannya ke kendaraan kurir pesanan sang pengusaha “serakah” ilegal dimaksud, suara pintu mobil kurir panggilan sang pengusaha ilegal yang menutup pintu mobilnya dengan suara keras, suara kendaraan kontainer besar panggilan sang pengusaha serakah, suara ratusan kendaraan motor dan mobil hilir-mudik pesanan sang pengusaha ilegal—sehingga alih-fungsi perumahan demikian jelas mengganggu ketenteraman pemukiman warga setempat. Terlebih jahatnya pelaku usaha botak serakah ilegal kriminal tersebut (pemilik bangunan jalan Al-Marifah Nomor 72 dan 9-11, Penjual Online ILEGAL KRIMINAL Casing Handphone dengan Merek Dagang "CASE PEDIA"), bahkan memutar musik sound system demikian kerasnya membahana sehingga mengganggu ketenangan maupun istirahat warga pemukim yang butuh istirahat, setiap harinya dari pagi hingga sore hari, benar-benar mengganggu dan merusak fungsi pemukiman warga yang telah menjadi wilayah perumahan penduduk sejak 40 tahun lampau, oleh ulah pengusaha pendatang dan karyawannya yang juga pendatang yang bahkan tidak tinggal di tempat tersebut sehingga bukan juga tergolong warga setempat.

Dalam gambar di atas, seluruh kendaraan yang terparkir di luar tersebut (mobil dengan plat nomor B 1688 BOT, B 1115 CAA, maupun mobil dengan plat nomor B 1805 BFH) merupakan kendaraan milik sang pelaku usaha “serakah” ilegal, diparkir dari pagi hingga sore hari, enam hari dalam seminggu, dimana sang pelaku usaha mengklaim bahwa jalan umum tersebut adalah miliknya—meski secara de facto jalan umum tersebut sudah ada sedari sejak 40 tahun yang lampau, dan secara hukum bila sebidang tanah milik menjadi jalan milik umum selama 20 tahun atau lebih, maka berdasarkan stelsel kadaluarsa perdata (verjaring), diartikan pemiliknya melepaskan haknya dan menjadi milik publik.

Konyolnya lagi, saking “serakah”-nya, sang pelaku usaha mengklaim memiliki IMB atas jalan umum yang sudah menjadi jalan umum selama lebih dari 40 tahun. Jalan umum memiliki IMB? Itulah gaya bicara pengusaha korup “bergaya preman” alias kriminal. Sejak 40 tahun lampau, jalan umum tersebut memang dalam bentuk jalan umum, tidak kurang tidak lebih, maka bagaimana mungkin jalan umum diterbitkan IMB? Tanpa sertifikat tanah, bagaimana mungkin terbit IMB, sementara dasar penerbitan IMB ialah sertifikat hak atas tanah? Ketika warga murka, karena sang pengusaha “serakah” mengancam menutup dan hendak menguasai seluruh jalan milik umum tersebut, sang pengusaha “serakah” menunjukkan sikap kriminalnya dengan merusak properti mading milik warga setempat yang melakukan protes, dengan belasan anak buahnya yang menyerupai preman-preman bayaran melakukan intimidasi.

Sekalipun gedung “satu deret” sang pelaku usaha telah demikian luas (jalan Al-Marifah Nomor 72 yang menjadi satu deret dengan bangunan Al-Marifah Nomor 9-11), di mana dalam gambar di atas (Penjual Online ILEGAL KRIMINAL Casing Handphone dengan Merek Dagang "CASE PEDIA"), terdapat gudang di dalam bangunan yang sebelum dibeli oleh sang pengusaha “serakah”, digunakan oleh pemilik sebelumnya untuk memarkir kendaraan box, namun tetap saja sang pengusaha “serakah” kini memarkir kendaraan pribadinya di luar bangunan gedung, TANPA BERSEDIA MEMBUAT TEMPAT PARKIR YANG LAYAK BAGI TAMU, BAGI KENDARAAN DIRINYA, KENDARAAN KARYAWAN, MAUPUN KENDARAAN-KENDARAAN MOBIL KONTAINER ATAUPUN BAGI RATUSAN OJEK ONLINE YANG DIPESAN OLEH SANG PELAKU USAHA SERAKAH DIMAKSUD SETIAP HARINYA. Kurang luas, memiliki tanah sebesar jalan Al-Marifah Nomor 72 yang menjadi satu deret dengan bangunan Al-Marifah Nomor 9-11 (Penjual Online ILEGAL KRIMINAL Casing Handphone dengan Merek Dagang "CASE PEDIA"), namun masih juga merampas hak umum atas jalan milik umum maupun halaman rumah warga setempat yang dijadikan tempat parkir liar kepentingan usaha ilegal sang pengusaha serakah di LINGKUNGAN PERUMAHAN?

Alhasil, tiadanya tempat parkir yang memadai akibat perilaku “serba serakah” oleh sang pengusaha sekalipun membangun tempat usaha demikian luas di dalam bangunan gedungnya, kendaraan yang diparkir di luar alias di jalan umum demikian mengakibatkan pelintas jalan yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, harus mengalami fenomena “bottle nect” terlebih lagi pejalan kaki harus waspada terhadap kendaraan bermotor yang melintas karena menjadi saling “berebut” ruang jalan untuk melintas akibat separuh ruas jalan termakan oleh parkir liar demikian yang berlangsung setiap harinya dan sepanjang hari oleh sang pelaku usaha “serakah” maupun karyawannya. Keadaan demikian telah berlangsung bertahun-tahun lamanya, dimana pihak kelurahan setempat yang menerima uang “suap” dari sang pelaku usaha, justru menjadi “beking” dari ulah sang pelaku usaha ilegal demikian.

Sang pengusaha “serakah” tersebut bukanlah tidak memiliki tempat parkir untuk memarkirkan kendaraan secara patut dan layak, namun sejatinya terlampau “serakah”. Sebelumnya, bangunan dalam gambar tersebut di atas, difungsikan oleh pemilik lamanya untuk tempat parkir kendaraan box, namun kini disulap menjadi gudang untuk tempat usahanya jual-beli barang secara online, di tengah-tengah pemukiman penduduk dimana tata ruang wilayah jelas menyatakan wilayah bersangkutan merupakan zona pemukiman, bukan untuk tempat usaha—alias tanpa izin usaha, alias ILEGAL. Jangkan bicara mengenai analisis mengenai dampak lingkungan, izin gangguan dari tetangga pun tidak dimiliki oleh sang pelaku usaha “serakah” ilegal (namanya juga pengusaha “serakah” dan ilegal).
Memang sukar hidup sebagai warga di negeri yang aparatur penegak hukumnya serba korup, melaporkan para otoritas seperti RT, RW, Lurah, Camat, hingga Gubernur pun akan berbuah sia-sia, dimana oknum RT setempat justru menjadi aktor penerima “suap” sang pelaku usaha sehingga kegiatan usaha ilegal demikian dapat terus berlangsung hingga kini. Alias, sudah “makan hati” menjadi letih pula akibat waktu terbuang percuma untuk laporan yang tidak ditanggapi dan tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Daerah tersebut adalah Ibukota Negara Indonesia, namun penegakan hukum tata ruangnya ternyata sangat lemah sekali, separuh hati, serta korup; maka bagaimana dengan provinsi dan kabupaten atau kota lainnya?
Lebih ironisnya lagi, sang pengusaha “serakah” memanggil ratusan ojek online setiap harinya, dimana tiada mau membuat tempat parkir yang layak bagi ratusan ojek online yang dipanggil / dipesan olehnya setiap hari untuk mengantar / mengirim barang pesanan konsumennya. Jika siang hari, terik sinar matahari membuat para ojek online memilih memarkir kendaraannya di rumah warga setempat yang berseberangan dengan tempat usaha sang pelaku usaha “serakah”, terlebih jika hari sedang hujan, dapat dipastikan halaman depan rumah warga setempat yang menjadi korbannya—tempat parkir liar berbagai kendaraan yang dipanggil oleh dan demi kepentingan usaha sang pelaku usaha “serakah” ilegal demikian.
Para ojek online hingga mobil box dan kontainer yang dipanggil oleh sang pelaku usaha “serakah”, bahkan kerap kali diparkir tepat di depan pagar rumah warga yang berseberangan, dimana warga pemilik rumah menjadi kesukaran ketika hendak keluar-masuk rumah kediamannya sendiri, sehingga kerap warga pemilik rumah harus bertengkar mulut karena kendaraan warga pemilik rumah tidak bisa keluar ataupun masuk rumah sendiri. Sementara, sang pelaku usaha “serakah” ilegal tersebut secara tidak bertanggung-jawab menyatakan bahwa : “Suka-suka saya memanggil mobil kontainer, suka-suka saya memanggil ratusan ojek online secara ilegal tanpa izin usaha di wilayah perumahan, dan juga suka-suka itu ojek online untuk parkir liar di sembarang tempat.”
MENGAPA JADI WARGA SETEMPAT PEMILIK RUMAH YANG HARUS BERTENGKAR SENGIT DENGAN BERBAGAI OJEK ONLINE SECARA BERULANG KALI TERJADI, SEMENTARA PENGUSAHA SERAKAH YANG MEMANGGIL / MEMESAN KURIR-KURIR TERSEBUT TIDAK BERSIKAP BERTANGGUNG JAWAB ATAS KURIR YANG DIPESAN OLEHNYA? JANGANKAN BERTANGGUNG-JAWAB, MEMBANGUN TEMPAT PARKIR DI ATAS TANAHNYA SENDIRI PUN TIDAK, MEMBUAT TEMPAT PARKIR YANG LAYAK UNTUK BERTEDUH DARI TERIK MATAHARI MAUPUN HUJAN BAGI KURIR-KURIR YANG DIPANGGILNYA PUN TIDAK, BAHKAN MENJADIKAN JALAN UMUM SEBAGAI LAHAN PARKIR LIAR KENDARAAN MILIK SANG PENGUSAHA “SERAKAH” KRIMINAL DEMIKIAN.
Dengan kondisi jalan sempit di tengah-tengah perumahan penduduk demikian, sang pengusaha “serakah” kemudian disaat bersamaan memanggil mobil kontainer sangat besar dan memanggil pula ratusan ojek online setiap harinya. Praktis, diakibatkan tiada tempat parkir yang dibangun oleh sang pelaku usaha “serakah”, para ojek online tersebut parkir sembarangan tepat persis di depan pintu pagar rumah berpeneduh milik warga setempat yang berseberangan dengan gedung sang pelaku usaha “serakah”—bahkan para pengendara kurir pesanan tersebut lebih galak daripada warga setempat yang halaman depan pagarnya dijadikan parkir liar.
Yang kemudian terjadi, warga setempat protes, namun protes berbuah aksi kriminalitas berupa aksi penganiayaan secara berkeroyok oleh sang pengusaha “serakah”, lengkap dengan saudara-saudara “serakah”-nya, lengkap juga dengan anak buah premannya, mempertontonkan aksi arogansi kekerasan fisik dan premanisme “mau menang sendiri”, alias satu orang warga melawan belasan manusia busuk “bajingan” serakah tamak PENGECUT, ilegal, dan tidak punya malu.
Sekalipun banyak warga-warga sekitar telah menegur sang pelaku usaha, bahwa lingkungan dimaksud adalah lingkungan perumahan-pemukiman, bukan diperuntukkan untuk tempat usaha berskala besar, terlebih mengganggu ketertiban umum dengan berbagai aksi parkir liar kendaraan-kendaraan yang dipesan oleh sang pelaku usaha “serakah”, namun tetap saja aksi usaha ilegal demikian tetap dijalankan oleh sang pelaku usaha “serakah”—yang ironisnya, pihak Pemerintah Daerah justru memilih untuk tidak menerapkan Perda tentang Tata Ruang Wilayah, dan disaat bersamaan memilih untuk melindungi sang pelaku usaha “serakah” dan menjadi bodyguard bayaran sang pengusaha “serakah” guna mengintimidasi warga (korban) yang melakukan protes dan keberatan dikorbankan oleh kepentingan sang pelaku usaha “serakah” demikian.
Jangankan berterimakasih karena bertahun-tahun halaman rumah sang warga (korban) dijadikan tempat parkir liar mobil kontainer pesanan sang pelaku usaha “serakah”, terlebih meminta maaf karena mengganggu dan menganiaya, merasa malu, terlebih merasa takut melakukan aksi kriminalitas menganiaya dan mengeroyoki secara demikian PENGECUT seorang warga yang selama bertahun-tahun telah dirugikan karena halaman depan pagar rumahnya dari pagi hingga sore selama enam hari dalam seminggu dijadikan lahan parkir liar bagi kepentingan kerajaan bisnis sang pengusaha “serakah” yang memanggil ratusan ojek online hingga mobil box dan kontainer berukuran raksasa, sang pelaku usaha “serakah” tersebut bahkan menantang korbannya untuk melakukan visum dan melaporkan pada polisi—merasa dirinya “kebal” hukum dan “kebal” dosa. Memang sungguh dilematis membicarakan negeri korup seperti Indonesia, dimana aparatur penegak hukum dan penegak Peraturan Daerahnya mudah sekali disuap dan diberi pungutan liar gratifikasi.
Sang pengusaha “serakah” mampu memiliki dan membeli tanah satu deret dimana bangunan satu deret tersebut dikuasai dan dimiliki olehnya, namun tempat parkir yang layak pun sama sekali tidak dibuat olehnya, justru menjadikan jalan umum serta halaman rumah warga setempat sebagai tempat parkir demi kepentingan bisnis dan “nafsu birahi” keserakahan sang pengusaha “serakah”.
BENAR-BENAR DEMIKIAN TAMAK DAN SERAKAH! Serakah akan tanah yang sudah sedemikian luas dan besar dimiliki olehnya, namun masih juga menumbalkan serta mengorbankan ketenangan hidup, melanggar hukum tata ruang, melakukan aksi kriminalitas serta intimidasi terhadap warga yang menjadi korban, serta merampas halaman rumah warga setempat, maka dapat dipastikan sang pelaku usaha “serakah” tersebut akan mendapat kapling di tanah API NERAKA. Keserakahan sang pelaku usaha “serakah” yang membuat keluarga pengusaha dan karyawan-karyawan premannya tersebut sejatinya sedang menggali lubang kuburnya sendiri.
Bahkan, sang pelaku usaha “serakah” melakukan pula modus jahat tidak terpuji yang sangat tercela, seperti menggunakan alamat rumah warga setempat untuk kepentingan usaha komersielnya ketika memesan ojek online untuk mengantar barang pesanan konsumennya, sehingga bila barang kirimannya adalah berupa obat terlarang, maka warga pemilik rumah yang nomor alamat rumahnya dicatut itulah yang bisa bermasalah dengan hukum.
Kedua, modus pencatutan alamat rumah demikian bertujuan agar halaman rumah sang warga setempat dijadikan lahan parkir liar oleh ratusan ojek online yang setiap harinya mengganggu dengan mengetuk pintu sang warga pemilik rumah, mendapati bukan itulah rumah yang memesan, dan seoiah warga pemilik rumah menjadi “babu” bagi kepentingan sang pelaku usaha “serakah” untuk mengarahkan pengendara ojek online tersebut untuk ke tempat sang pelaku usaha “serakah”. Berbagai modus sikap jahat dan busuk demikian, merupakan indikator nyata bahwa sang pengusaha “serakah” hendak menjadikan halaman depan pagar rumah warga setempat sebagai tempat parkir liar bagi kepentingan usaha ilegalnya.
Lihat juga foto di bawah ini yang juga redaksi potret sebagai perbandingan di wilayah lainnya. Warga setempat menyatakan dalam spanduknya, “Jika tidak punya tempat parkir, mengapa masih juga membeli kendaraan?” Ujaran penuh kekecewaaan sang warga demikian sangat dapat para warga maklumi, karena tumpulnya keseriusan penegakan dan penerapan Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemda setempat, sekalipun telah lama terdapat Perda yang mengatur sanksi bagi pemilik kendaraan yang memiliki kendaraan bermotor namun diparkir sembarangan akibat tidak memiliki tempat parkir ataupun garasi dan menjadikan jalan umum atau bahkan halaman rumah warga lain sebagai tempat parkir liar.

Pengusaha serakah ilegal di tempat pemukiman perumahan penduduk
Pengusaha serakah ilegal di tempat pemukiman perumahan penduduk

Secara hukum negara, tidak dapat lagi untuk diandalkan. Kini, lebih baik kita berbicara dan menyerahkan sepenuhnya pengadilan oleh hakim dan eksekutor “hukum karma” untuk mengadili dan menerapkan sanksinya bagi para pelaku “serakah” demikian. Dalam cara kerja hukum karma, membuka jalan bagi orang lain dan tidak menghalangi jalan orang lain terlebih warga pemilik rumah, adalah perbuatan baik yang dikategorikan sebagai karma baik dengan buah yang baik suatu ketika karmanya matang. Sebaliknya, menutup jalan milik publik (mengokupasi jalan umum) bahkan mengganggu warga pemukim dengan dijadikan lahan parkir liar, sama artinya merampas tanah milik orang lain, adalah bukan saja tercela secara moril-etika bisnis dan sosial, namun juga tergolong sebagai perbuatan buruk yang sangat besar karmanya, sehingga buah karma buruk yang akan dipetik oleh sang pelaku usaha “serakah” dikemudian hari, ialah tertutupnya jalan hidup yang bersangkutan dan sukar untuk menuju suatu hal yang dituju olehnya, bahkan dapat disetarakan dengan pemenjaraan (perampasan kemerdekaan) akibat kriminaliasi seperti salah tangkap, terkena peluru “nyasar”, dijebak, hingga menjadi korban modus kriminalisasi, dsb.
Hanya karena semata kuat secara ekonomi dan politis (mampu menyuap aparat hingga memiliki puluhan anak buah preman untuk mengintimidasi dan menganiaya) lalu semudah itu mengintimidasi, mengancam, merusak properti warga, bahkan menganiaya dan mengeroyoki warga setempat yang melakukan komplain akibat dirugikan dan terganggu meski selama ini telah demikian bersabar, yang kian hari kian menjadi-jadi ulah sang pelaku usaha “serakah”, maka sanksinya menurut hukum karma sudah sangat jelas : dipanggang dalam api NERAKA. Adalah pengusaha bodoh yang sedemikian bodohnya merasa bangga menggali lubang kuburnya sendiri, dimana setiap harinya harus menerima kutukan dari warga setempat yang menjadi korbannya.
Buah dari keserakahan ala sang pelaku usaha “serakah” ilegal dan kriminal demikian, ialah diberi doa berupa “kutukan” alias “dikutuk” oleh warga yang selama ini terganggu dan dirugikan. Hukum karma tidak dapat dikelabui, dibohongi, terlebih disuap. Harta tidak dapat dibawa mati, sementara karma dibawa dan berbuah pada kehidupan selanjutnya.
Semua orang punya rumah dan sanak-keluarga. Menyakiti seseorang warga, sama artinya siap-siaplah sanak-keluarga si pelaku itu sendiri, entah anak atau mungkin cucunya sendiri, yang kelak akan menjadi korban penganiayaan hingga pengeroyokan serupa dengan ulah kekerasan fisik dari sang pelaku kejahatan. Menyakiti keluarga orang lain, sama artinya menyakiti sanak-keluarga sendiri, atau setidaknya anak-cucu sang pelaku itu sendiri.
Mengganggu ketenangan hidup pemukiman seorang warga, sama artinya karma buruk kelak akan berbuah pada rumah kediaman milik sang pelaku itu sendiri, dimana hidupnya kelak akan terganggu oleh berbagai gangguan dan perlakuan yang tidak patut. Mengorbankan orang lain akan dikorbankan sebagai balasan karmanya. Merampas kedamaian hidup warga pemukim setempat, akan dirampas pula kedamaian hidupnya sebagai akibat buah dari benih karma yang ditabur oleh sang pelaku. Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang.
Yang hidup dari keserakahan, akan mati karena keserakahannya sendiri pula. Si pelaku itu sendiri pun mungkin lupa, bahwa dirinya perlu dan memiliki rumah untuk tinggal dan beristirahat secara tenang dan damai, maka tidaklah dapat dirinya kabur dari buah karma buruk yang berbuah dengan dirampas kedamaian hidup dalam rumah yang dimiliki olehnya. Bagaimana mungkin diirnya mengharap hidup tenang di rumah kediamannya secara bebas dari gangguan, sementara dirinya sendiri hidup dengan cara merampas ketenangan hidup warga lainnya? Siapa yang mau kita curangi dan bohongi, sementara tiada satupun dari kita yang mampu lari ataupun bersembunyi dari Hukum Karma. Merampas kedamaian hidup warga lainnya, sama artinya merampas kedamaian hidup diri sang pelaku itu sendiri—tiada yang lebih dungu daripada perilaku bodoh semacam itu.

Beberapa waktu kemudian paska pengeroyokan oleh keluarga pengusaha ilegal serakah kriminal beserta para karyawannya tersebut kepada salah seorang warga yang dirugikan dan diganggu oleh kegiatan usaha ilegal serakah sang pelaku usaha Jalan Al-Ma’rifah Nomor 72 Cengkareng, di Jakarta Barat tersebut, pada suatu hari di hari Minggu, terjadi keributan internal domestik dalam rumah tangga warga lain. Seorang karyawan dari sang pengusaha ilegal serakah kriminal tersebut dengan sok bijak bertanya kepada warga lain di jalan yang melintas:

“Ada apa itu ribut-ribut?”

“Lagi berantem dengan anaknya.”

Lalu sang karyawan yang bekerja pada pengusaha ilegal serakah kriminal tersebut menunjukkan sikap MUNAFIK dengan seolah-olah prihatin sembari menunjukkan sikap “geleng-geleng kepala” sembari tersenyum kepada sang warga lain yang memberi informasi demikian.

Memangnya mereka sendiri itu sudah benar? Mereka masih menjalankan kegiatan usaha secara ilegal di pemukiman warga, memarkir kendaraan di jalan milik umum sehingga hanya tersisa satu lajur jalan bagi pelintas jalan. MUNAFIK. Mereka itu adalah para kriminil itu sendiri, membangun tempat usaha ilegal, merampas hak publik atas jalan umum, bahkan merugikan hak-hak warga yang bermukim hingga menganiaya warga yang telah menetap selama 40 tahun, secara berkeroyokan.

MEREKA SENDIRI JUSTRU ADALAH KRIMINAL ITU SENDIRI. Tetangga yang berantem adalah urusan domestik rumah tangga warga pemukim, namun tidak pernah sampai memukul dan menganiaya tetangga. Yang semestinya paling malu dan paling buruk memalukan perbuatannya, itu siapa? Selain ilegal, serakah, juga kriminal, ternyata pengusaha Jalan Al-Marifah Nomor 72 (Kelurahan Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, Penjual Online ILEGAL KRIMINAL Casing Handphone dengan Merek Dagang "CASE PEDIA") maupun para karyawannya juga MUNAFIK, TIDAK PUNYA MALU alias sudah putus urat malunya. HANYA SEORANG KRIMINAL (NAMUN PENGECUT) YANG BERANI MENGANIAYA FISIK HINGGA TERLUKA WARGA SETEMPAT (KORBAN GANGGUAN USAHA ILEGAL) YANG TELAH BERMUKIM SELAMA 40 TAHUN LAMANYA, SECARA KEROYOKAN PULA.

TIDAK ADA YANG MELARANG SESEORANG UNTUK MENCARI NAFKAH, NAMUN MENGAPA JUGA MENJADIKAN TEMPAT USAHA BERSKALA BESAR DI TENGAH-TENGAH PEMUKIMAN WARGA PADAT PENDUDUK DIMANA PEMUKIM BERHAK ATAS PERUMAHAN YANG TENANG TANPA GANGGUAN? ITU SAMA ARTINYA MENCARI NAFKAH DENGAN CARA MERAMPAS & MERAMPOK KETENANGAN HIDUP WARGA PEMUKIM, UANG HARAM YANG DIMAKAN OLEH SANG PENGUSAHA ILEGAL SERAKAH KRIMINAL DAN PARA KARYAWAN PREMAN TUKANG PUKULNYA.

Fungsi kawasan perumahan dan pemukiman ialah sebagai rumah bagi para warga untuk menetap, tinggal, serta beristirahat dengan tenang baik pemukim anak kecil maupun lansia yang sangat membutuhkan ketenangan serta keamanan lungkungan rumahnya, tanpa gangguan dari kegiatan usaha yang mengganggu dengan bentuk apapun. Untuk itulah hukum negara mengatur peruntukan wilayah sesuai peruntukannya masing-masing.

Hanya seorang pengusaha ilegal kriminal yang terlampau SERAKAH yang justru merenggut ketenangan hidup warga pemukim yang bahkan telah tinggal menetap lebih dari 40 tahun lamanya, demi urusan kekayaan bisnis pribadi dan segelintir anak buah preman yang dipelihara oleh sang pengusaha ilegal. Sikap pengecut dan tidak kreatif, seolah dirinya tidak bisa mencari makan selain dengan cara merenggut ketenangan hidup warga pemukim serta jalan milik umum dan atas hak warga atas lingkungan perumahan yang bebas dari gangguan atas kegiatan usaha ilegal.
 
Korban aniaya kegiatan usaha ilegal serakah sang pelaku usaha Jalan Al-Marifah Nomor 72 Cengkareng, Kelurahan Rawa Buaya, Jakarta Barat

Korban aniaya kegiatan usaha ilegal serakah sang pelaku usaha Jalan Al-Marifah Nomor 72 Cengkareng, Kelurahan Rawa Buaya, Jakarta Barat

Korban aniaya kegiatan usaha ilegal serakah sang pelaku usaha Jalan Al-Marifah Nomor 72 Cengkareng, Kelurahan Rawa Buaya, Jakarta Barat

Saking serakahnya sang pengusaha botak kriminal ilegal TIDAK PUNYA MALU ini, sekalipun kemudian hukum karma berbuah padanya dengan terbakarnya sebagian gedung tempat usahanya di tengah-tengah pemukiman padat penduduk ini sehingga sempat membuat warga lansia setempat di tengah malam menjadi ketakutan hampir terkena serangan jantung saat terjadi kebakaran karena takut merembet ke rumah tetangga, TANPA ALAT PEMADAM KEBAKARAN YANG LAYAK MESKI USAHA DAN GUDANG BARANG BEGITU BESARNYA, lagi-lagi saat sang pengusaha serakah ilegal memanggil mobil pengangkut bahan bangunan untuk membangun kembali gedung usahanya yang ilegal di tengah-tengah pemukiman padat penduduk tersebut, ia memanggil mobil bahan bangunan dan membiarkan mobil itu diparkir persis di depan pagar rumah warga setempat, padahal sang pengusaha serakah ada di situ melihatnya sambil mer0k0k, sekalipun tanahnya begitu luas satu deretan ruas jalan (belum cukup juga itu tanah seluas itu, masih juga memakan jalan umum dan menjadikan rumah warga sebagai tempat parkir ilegal usahanya?), sementara mobil milik sang pengusaha dibiarkan terparkir begitu saja tanpa mau dipindahkan sehingga tukang bangunan memarkir mobilnya di depan pagar rumah warga sekalipun itu demi kepentingan / dipanggil oleh sang pengusaha serakah SEKALIPUN TANAHNYA TELAH DEMIKIAN LUAS (namun masih serakah juga). Serakah sekali, belum kapok juga dikutuk kembali oleh warga setempat yang dirugikan dan terganggu. Warga pemilik rumah yang sampai untuk kesekian kalinya akhirnya harus kembali menegur tukang bangunan yang dipanggil oleh sang pengusaha serakah, serakah banget itu, kan bisa itu mobil sang pengusaha serakah itu dipindah lalu mobil bahan bangunan parkir di tempat dia sendiri, kenapa musti parkir di depan pagar rumah orang lain sampai-sampai warga pemilik rumah tidak bisa keluar dari rumah sendiri?

Sementara tanahnya sendiri begitu besarnya namun tetap menjadikan rumah warga setempat sebagai tempat parkir liar demi kepentingan KESERAKAHANNYA SENDIRI? Sang Pengusaha Serakah maupun karyawannya bukanlah warga setempat (kesemuanya hanya pendatang), bukan pemukim setempat, namun beraninya mengorbankan ketenangan hidup warga setempat yang telah menghuni lebih dari 40 tahun lamanya demi egoisme KESERAKAHAN pribadi sang pengusaha ilegal kriminal serakah tidak punya malu. Terlampau serakah, kriminal, dan jahat itu pengusaha yang merasa KEBAL DOSA dan KEBAL HUKUM akibat TIDAK PUNYA MALU. Tidak ada kata lain selain warga merasa berkewajiban untuk mengutuk agar pengusaha serakah semacam itu MATI SAJA dan MASUK NERAKA secepatnya, agar tidak ada lagi korban akibat KESERAKAHAN sang pengusaha serakah ilegal kriminal tidak punya malu demikian.


Yang Masih Punya Otak, Tidak Butuh Peringatan di Bawah Ini:

Pengusaha serakah ilegal di tempat pemukiman perumahan penduduk, penjualan online casing handphone dengan nama toko online CASE PEDIA


Hanya orang gila serakah tidak punya malu yang sampai harus ditegur karena parkir secara liar tanpa izin dengan menjadikan halaman depan pintu pagar tanah milik orang lain / penduduk setempat sebagai tempat parkir kendaraan, bahkan masih tetap melanggar sekalipun telah dilarang. Mengapa tidak mereka parkir di rumah mereka sendiri saja? Siapa juga yang menyuruh mereka menggunakan kendaraan pribadi? Jika tidak punya garasi, mengapa menjadikan rumah warga sebagai tempat parkir liar?

Redaksi hukum-hukum.com menjamin kebenaran serta akurasi keterangan dan informasi yang tercantum dalam laporan dan liputan rakyat ini,  guna menjadi pengingat bagi masyarakat agar tidak menjadi korban serupa oleh pelaku serupa.