Bila Proses Lelang Eksekusi Tidak Akuntabel dan Tidak Trasnparan, Debitor dapat Mengajukan Gugatan serta Pelaporan Tindak Pidana Penggelapan, baik terhadap Kreditor, Balai Lelang, maupun terhadap Pembeli Lelang

LEGAL OPINION
MODUS PROSES LELANG EKSEKUSI TIDAK AKUNTABEL DAN TIDAK TRASNPARAN YANG MENYERUPAI MODUS TINDAK PIDANA KORUPSI TENDER PENGADAAN BARANG DAN JASA
Question: Saya adalah debitor sekaligus pemilik agunan yang kini agunan tersebut telah dilelang oleh bank (kreditor). Memang, saya kini tidak lagi dapat mencicil hutang karena masalah kelesuan usaha. Yang saya herankan, mengapa hasil lelang jauh dibawah nilai harga kewajaran tanah agunan saya? Adakah yang dapat saya lakukan atau perbuat untuk membuat terang, mengapa harga terbentuk lelang yang disampaikan bank kepada saya, nilainya jauh kecil sekali dibanding nilai wajar tanah saya itu?!
Answer: Tidak SHIETRA & PARTNERS pungkiri, memang terdapat kalangan perbankan serta balai lelang yang nakal, dalam hal ini mencoba membuat proses lelang tidak lagi “terbuka bagi umum”, namun hanya diketahui oleh pihak-pihak terbatas saja, suatu modus yang mirip jaringan mafia, sehingga mereka bisa membeli lelang atas agunan yang dilelang eksekusi dengan harga rendah serendah-rendahnya dengan menyalahgunakan lembaga parate eksekusi.
Secara prosedural mungkin mereka tidak menyalahi hukum, namun bisa jadi mereka menyalahi susbtansi hukum. Lelang yang tidak transparan, melanggar perintah undang-undang tentang hak tanggungan yang mensyaratkan bahwa lelang harus transparan, akuntabel, juga terbuka bagi umum sehingga nilai terbentuk lelang dapat optimal—bukan ditutup-tutupi sehingga nilai terbentuk lelang telah dimanipulasi sehingga dapat dibeli oleh satu pihak lewat “setting” harga dengan pengumuman lelang di harian kabar yang menutupi suatu detail atas objek agunan yang akan dilelang.
Salah satu contoh, ialah apa yang disering disebut sebagai lelang eksekusi dengan pengumuman koran “cetak terbatas”, dimana surat kabar yang beredar tidak sebagaimana mestinya sehingga pembeli lelang atas objek tersebut dimonopoli oleh suatu jaringan mafia yang bekerja sama dengan pihak perbankan maupun balai lelang. Modus ini bukanlah modus baru, mengingat dalam tren tindak pidana korupsi, "pengumuman terbatas" proyek tender pengadaan barang dan jasa jamak terjadi, dimana pemenang tender sudah di-setting sejak semula agar dipastikan menang.
Salah satu modus lainnya yang menyerupai “koran cetak terbatas”, ialah apa yang disebut sebagai pengumuman lelang yang “menyamarkan” objek lelang. Secara sederhana, bila pengumuman lelang mencantumkan detail lokasi agunan yang tidak sama persis dengan lokasi agunan dalam laporan appraisal Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP independen) yang dajukan pemohon lelang eksekusi kepada kantor lelang negara (KPKNL), maka Anda dapat mengajukan gugatan pembatalan lelang sekaligus tuntutan penggelapan.
PENJELASAN:
Untuk nilai objek lelang yang mencapai nilai tertentu, hukum mensyaratkan pihak kreditor pemohon lelang eksekusi hak tanggungan untuk melampirkan laporan penilaian oleh KJPP (appraiser document), dimana nilai limit (nilai minimum penawaran bagi peserta lelang) akan berpatokan dengan nilai penilaian oleh pihak KJPP tersebut.
Hanya saja, permainan kreditor dan balai lelang nakal dapat dimungkinkan karena nilai appraisal KJPP mencantumkan dua kategori harga: nilai pasar dan nilai likuidasi. Nilai likuidasi, biasanya mencantumkan nilai yang jauh dibawah harga pasar.
Prinsip yang berlaku untuk debitor/pemilik agunan, jika bisa laku dinilai pasar mengapa harus terjual dengan nilai likuidasi? Sebaliknya, kreditor dan balai lelang nakal memanfaatkan situasi dengan mempermainkan keadaan: hukum membolehkan lelang dijual dengan harga nilai likuidasi, mengapa harus dijual dengan nilai pasar? Hal tersebut kerap terjadi, ketika mafia berkelindan dengan pihak kreditor ataupun balai lelang nakal.
Bila manipulasi dan tidak transparansinya proses pengumuman lelang demikian, tentunya membuat harga lelang terbentuk tidak optimal, sehingga debitor/pemilik agunan dalam hal ini jelas dirugikan. Yang menjadi celah hukum kreditor nakal, ialah pengumuman lelang dilakukan sendiri oleh kreditor pemohon lelang eksekusi, bukan dilakukan oleh kantor lelang negara, sehingga modus seperti "cetak terbatas" berpeluang lebar memberi kesempatan bagi kreditor nakal untuk "bermain".
Cara yang acapkali kerap dilakukan kreditor yang mencederai asas kepercayaan ataupun balai lelang nakal ialah, membuat pengumuman koran yang men-samarkan detail lokasi/alamat agunan. Sehingga lelang dengan nilai pasar tidak laku, lelang nilai menengah tidak laku, namun lelang ulang dengan nilai likuidasi kemudian laku terjual—dimana semua itu adalah “setting” pihak pemohon lelang, agar tidak ada masyarakat yang dapat turut serta menawar dan membeli dengan menjadi peserta lelang, karena memang pemohon lelang nakal tersebut telah menyasar nilai likuidasi tanpa saingan apapun. Mereka dapat bersekongkol dengan pihak ketiga yang menjadi pembeli lelang, dimana pembeli lelang tersebut adalah peserta lelang satu-satunya.
Cara untuk membongkar kedok/modus demikian, ialah dengan mendatangi kantor lelang negara (KPKNL) yang melangsungkan lelang eksekusi terhadap agunan saudara, kemudian minta pejabat lelang untuk memperlihatkan dokumen appraisal KJPP. Cocokkan alamat agunan yang tertera dalam laporan appraisal KJPP dengan pengumuman lelang yang dipasang oleh pemohon lelang atas agunan Saudara.
Jika ternyata antara alamat agunan dalam laporan appraisal tidak “matching” dengan alamat yang tertera dalam pengumuman lelang, berarti ada modus penggelapan dan penutup-nutupan lokasi agunan sehingga atas permainan ini ada pihak tertentu yang kemudian diuntungkan dengan nilai terbentuk lelang yang rendah.
Biasanya appraisal KJPP mencantumkan selain alamat agunan yang tertera dalam sertifikat hak atas tanah, dicantumkan pula alamat riel agunan di lapangan, dengan kemungkinan telah terjadi pemekaran wilayah, dsb. Laporan appraisal KJPP akan mencantumkan alamat lengkap dan detail dari agunan, RT RW, nomor rumah, kelurahan ataukah desa, kota atau kabupaten, dsb yang amat mungkin telah jauh berbeda dengan alamat dalam sertifikat tanah.
Bagaimana jika pengumuman lelang hanya mencantumkan alamat dalam sertifikat tanah? Jawab: itu adalah salah satu cara para mafia tanah bermain. Dengan menyamarkan alamat riil agunan di lapangan, diharapkan pihak tertentu saja yang menjadi afiliasi dengannya untuk menjadi peserta lelang tunggal.
Tidak lazim penjualan rumah atau tanah mencantumkan alamat dalam sertifikat dalam pengumuman iklan di surat kabar. Siapa yang akan dapat mengetahui dimana letak bidang tanah tersebut berada bila alamat dalam sertifikat tidak spesifik menyebutkan RT RW mana, nomor rumah berapa, dsb, yang bisa jadi telah jauh berbeda dengan alamat riil saat ini di lapangan, karena faktor pemekaran, penambahan jumlah rumah dan penduduk, dsb.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Apa filosofi utama pelelangan umum? Artinya, asas transparansi dan akuntabilitas sehingga mewajibkan terbuka bagi umum, sehingga khalayak ramai dapat turut serta berpartisipasi sehingga harga lelang terbentuk adalah harga optimal sebagaimana sebenarnya.
Ketika penumuman lelang telah dimanipulasi, guna menutupi / menyamarkan letak objek agunan, maka hal tersebut telah melanggar undang-undang, dengan ancaman “batalnya” lelang ekskeusi yang telah terjadi, ada atau tidak adanya pemenang lelang, karena dapat dipastikan pihak peserta lelang adalah pihak yang turut terlibat serta dengan itikad tidak baik kreditor pemohon lelang. Dari pengalaman SHIETRA & PARTNERS, tidak jarang pembeli lelang ialah dari pihak karyawan perbankan itu sendiri yang sejak awal telah "naksir" terhadap agunan milik debitor; tidak terkecuali perbankan "plat merah" tidak luput dari praktik kotor demikian.
Disaat bersamaan, baik segi perdata gugatan pembatalan lelang, debitor/pemilik agunan dapat pula melaporkan tindak pidana pengglepan ini pada pihak berwajib.
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap Warga Masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali ditentukan lain oleh undangundang.
(2) Hak mengakses dokumen Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, jika dokumen Administrasi Pemerintahan termasuk kategori rahasia negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga.
Dokumen aprraisal adalah dokumen yang wajib dibuka bagi umum oleh kantor lelang negara, terlebih bagi pihak debitor/pemilik agunan, guna asas publisitas dan transparansi. Ketika Anda telah melihat data alamat agunan dalam dokumen appraisal, bandingkan dengan alamat objek agunan yang tercantum dalam pengumuman lelang, apakah sesuai atau terdapat perbedaan detail. Itulah kunci untuk membuka modus penggelapan demikian.
Terhadap kreditor pemohon lelang eksekusi, maupun terhadap pihak balai lelang yang melakukan jasa pengumuman lelang dan men-“setting” pembeli tunggal dengan men-samarkan letak agunan, dikenakan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Sementara itu bagi pembeli lelang demikian, masuk dalam kategori penadahan sebagaimana dijerat Pasal 481 Ayat (1) KUHP:
“Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Atau ketentuan dalam Pasal 480 KUHP:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya. harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.