Urgensi Judicial Review terhadap Undang-Undang Pertanahan terkait Kepastian Hukum Pemegang Hak atas Tanah sebagaimana Data Yuridis yang Tercantum dalam Sertifikat Hak atas Tanah

LEGAL OPINION
Question: Saya ingin menanyakan Perihal "Blokir", sebenarnya ini adalah rekayasa dari pihak penjual atau dari BPN? Karena kemarin dari pihak BPN (badan pertanahan nasional) mengatakan takut melepas karena dikawatirkan ada tuntutan. Padahal dari pihak penjual sudah memberikan keterangan LUNAS tidak ada lagi hutang tertunda atas pembeli. Mengapa para praktiknya kantor pertanahan menyamakan “catatan” dengan “blokir”?
Answer:  Bukankah data yuridis pemenang hak juga merupakan “catatan”? Sehingga, atas dasar apa “catatan” berupa nama Anda sebagai pemilik hak atas tanah tersebut ditumpang-tindihkan dengan klaim sepihak pihak lain atas sebidang tanah yang telah diterbitkan sertifikat tersebut?
Semestinya Kantor Pertanahan takut terhadap gugatan masyarakat pemilik sah hak atas tanah yang telah diterbitkan sertifikat oleh kantor pertanahan. Siapakah yang dimaksud dengan “pemilik sah”? Nama dari pemilik sah termasuk dalam kategori “data yuridis”, dan data yuridis tersebut tercantum dalam buku tanah maupun sertifikat hak atas tanah.
Setiap warga negara dapat mengajukan gugatan terhadap Kantor Pertanahan, atas kerugian yang dideritanya, baik ke hadapan Pengadilan Negeri atas dalil kantor pertanahan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mengingkari sertifikat tanah yang diterbitkannya sendiri, atau ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam rangka menegakkan prinsip tata kelola pemerintahan/administrasi negara yang baik (Asas Umum Pemerintahan Yang Baik).
EXPLANATION:
“Blokir” pada prinsipnya hanya dapat dilakukan oleh putusan sela / provisionil pengadilan, sita jaminan, maupun putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Selebihnya, terhadap klaim pihak lain atas tanah tersebut, hanya masuk dalam kategori “catatan”, dan catatan tersebut hanya bersifat temporer (30 hari) yang mana otomatis akan bersih jika telah melewati waktu 30 hari.
Sebuah “catatan” tidak menghalangi adanya pemindahan/peralihan hak oleh pihak yang tercantum namanya sebagai pemilik sah dalam data yuridis buku tanah/sertifikat hak atas tanah. Hanya “blokir” yang benar-benar mengakibatkan status tanah menjadi “beku”, alias tidak dapat dialihkan oleh pihak siapapun.
Perbedaan antara “catatan” dan “blokir” ini senyatanya telah diatur secara tegas dan limitatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Adalah memprihatinkan bila pejabat yang berwenang dibidang pertanahan tidak memahami peraturan yang mereka buat sendiri.
Landasan yuridis terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dalam Pasal 19 telah dinyatakan secara tegas, bahwa demi asas kepastian hukum, dibentuklah lembaga hukum yang bernama “sertifikat hak atas tanah” sebagai bukti pendaftaran hak atas tanah yang sahih dan memiliki kekuatan hukum (sebagai akta otentik) selama tidak dibatalkan oleh pengadilan. Sertifikat hak tanah, memiliki fungsi utama dan yang terpenting: sebagai alat bukti hak atas tanah yang bersifat KUAT. Ketika kantor pertanahan membantah data yuridis dalam sertifikat tanah yang mereka terbitkan sendiri, maka untuk apa lagi kantor pertanahan berdiri dan tetap dipertahankan? Untuk apa sertifikat hak atas tanah? Untuk apa kreditor mau menerima agunan berupa sertifikat hak atas tanah sebagai jaminan pelunasan piutang? Untuk apa pembeli tanah membeli tanah jika kepastian hukum sertifikat asli masih diragukan? Apa lagi yang menjadi pembeda antara tanah girik dengan tanah bersertifikat? Justru selama ini kantor pertanahan telah dimanjakan oleh masyarakat yang bersikap sungkan terhadap kantor pertanahan, meski senyatanya masyarakat memiliki kans besar untuk mengalahkan kantor pertanahan di meja hijau atas sikap mereka yang telah melanggar hak konstitusi warga negara atas kepastian hukum dan hak kepemilikan atas properti yang sah sesuai data yuridis yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah.
Setiap orang dapat mengklaim sebagai pemilik sebidang tanah, bahkan saya dapat mengklaim sebagai pemilik tanah Anda. Semua orang dapat mengklaim sebagai pemilik sah atas tanah Anda. Maka, untuk apa lagi peran sertifikat bila pada gilirannya dilecehkan oleh kantor pertanahan selaku penerbit sertifikat itu sendiri? Mungkin kantor pertanahan hendak “mencari aman”, namun disaat bersamaan kantor pertanahan telah mengamputasi hak Anda terhadap hak properti Anda. Ketika itu terjadi, sertifikat hak atas tanah menjadi tidak memiliki nilainya lagi, dan jadilah setiap orang dapat mencederai hak pemilik tanah yang tercantum dalam data yuridis sertifikat tanah dengan mengajukan berbagai klaim, berbagai gugatan, berbagai “blokir” yang mengada-ngada. Negara ini seolah abai menjalankan fungsinya. Negara tanpa hukum praktik ini menjelma. Negara agraria ini seolah tidak memiliki hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum. Setiap orang dapat mengklaim, dan dijatuhkan vonis “blokir” seketika oleh kantor pertanahan dengan demikian mudahnya tanpa filter yang jelas, sekalipun klaim tersebut terdengar dangkal, dan tanpa disadari, kantor pertanahan telah mendahului peran pengadilan meski BPN bukanlah lembaga ajudikasi dalam arti yudikatif bila terjadi sengketa kepemilikan.
Pengadilan belum menyatakan siapa pemilik sah atas tanah yang dapat mencoret nama yang tercantum dalam data yuridis, pengadilan belum menetapkan putusan provisionil yang menyatakan hak atas tanah di-“segel”, pengadilan belum meletakkan sita jaminan. Lantas mengapa kantor pertanahan melakukan aksi potong kompas dengan seketika “memblokir” buku tanah? Dalam konteks ini, Kantor Pertanahan yang melangkahi peran pengadilan telah "main hakim sendiri".
Itulah mengapa, sekali lagi perlu SHIETRA & PARTNERS tegaskan, adanya “catatan” klaim dari pihak ketiga tidak mengamputasi hak dari pihak yang namanya tercantum dalam “data yuridis” untuk melakukan aksi jual-beli, mengagunkan, menyewakan, menghibahkan, atau perbuatan hukum lainnya atas tanah tersebut. Oleh sebab itu jugalah “catatan” hanya relevan selama 30 hari. Hanya “blokir” yang benar-benar mampu membuat keadaan status quo dan hak atas tanah tersegel. Ini bukanlah teori penulis, ini tercantum secara tegas dalam PP No.24/1997 jo. Perkaban No.3/1997 yang hingga saat ini masih berlaku—namun selalu dilecehkan oleh lembaga pembuatnya sendiri, sungguh ironis praktik hukum pertanahan di republik ini, meski Menteri yang membidangi bidang pertanahan telah silih berganti. Masalah ini tidaklah terlalu kompleks, namun yang terjadi adalah pengabaian. Menteri Pertanahan terlampau sibuk dengan urusan struktur birokrasi tanpa substansi, masyarakat terabaikan.
Pembiaran dan wujud pengabaian negara dalam menjalankan fungsinya demikian, membawa konsekuensi yuridis berupa “law as a tool of crime”. Pihak-pihak yang hendak “mengerjai” Anda, dapat saja mengajukan klaim ke kantor pertanahan, dan kantor pertanahan seolah kebakaran jenggot dengan seketika mem-“blokir” buku tanah sehingga hak Anda atas properti serta kebebasan Anda terhadap properti tersebut tercerabut seketika—Dibaca: kantor pertanahan telah melampaui kewenangannya.
Entah disebut sebagai “catatan” maupun “blokir” dari pihak ketiga, hanyalah fungsi ajudikasi (ajudicate) oleh lembaga ajudikasi seperti pengadilan yang berwenang menetapkan/memutuskan, bukan lembaga eksekutif seperti kantor pertanahan. Tanpa diproses dalam persidangan, Anda telah langsung dijatuhi vonis oleh kantor pertanahan dengan menyegel dan men-status-quo-kan hak atas tanah Anda. Vonis ini seketika, tanpa pembuktian, dan tanpa hak untuk Anda mengajukan keberatan/pembelaan.
Inilah mengapa, saya katakan, kantor pertanahan adalah lembaga super body yang melampaui KPK. Papan, adalah salah satu kebutuhan primer setiap manusia, selain sandang dan papan. Entah bagaimana, justru lembaga inilah yang acapkali luput mendapat pembenahan petinggi eksekutif di istana negara. Tengoklah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2010 tentang SOP BPN, dimana disyaratkan bagi peralihan hak atas tanah, pembeli wajib menguasai fisik objek tanah jual-beli, sementara kita semua tahu bahwa jual-beli tidak memutus hubungan sewa-menyewa, yang dengan kata lain peralihan hak hanya berbicara mengenai peralihan “penguasaan yuridis” hak atas tanah, bukan selalu diartikan peralihan “penguasaan fisik” hak atas tanah. Penyewa adalah penguasa fisik, nama yang tercantum dalam data yuridis sertifikat adalah penguasa yuridis. Namun, konsep dasar inipun ternyata tidak dipahami oleh para penyusun kebijakan di instansi se-fital Kementerian Agraria dan Tata Ruang (dahulu bernama BPN Pusat).
Bahasan dalam tulisan ini bukan tanpa solusi, dengan hanya menyatakan law in the book berbeda dengan law in society. Tulisan ini menguraikan akar masalah yang sebetulnya memang terdapat cacat (defect), sehingga perlu dilakukan uji materiil sebagai langkah efektif, terhadap Undang-Undang Pokok Agraria yang telah usang dimakan waktu, ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Buruknya prestasi legislatif dan eksekutif dalam menyusun regulasi di parlemen sebagai pengganti undang-undang tersebut juga menjadi salah satu kontribusinya.
Di negara-negara maju, sertifikat tidak dapat dibatalkan sekalipun dikemudian hari dinyatakan bahwa nama yang telah tercantum dalam “data yuridis” sertifikat dan buku tanah ternyata adalah pihak yang beritikad tidak baik. Pihak yang hak keperdataannya terbukti telah dirugikan, hanya dapat menuntut ganti-rugi terhadap pihak yang namanya tercantum dalam data yuridis sertifikat tanah, bukan menuntut pembatalan sertifikat, namun berupa tuntutan ganti-rugi berupa nominal uang, demi terciptanya kepastian hukum bagi namanya yang tercantum dalam data yuridis maupun bagi pihak ketiga yang hendak melakukan jual-beli maupun kepada kreditor penerima agunan.
Lembaga yudikatif telah cukup progresif melihat tuntutan zaman atas kelambanan kedua lembaga sebelumnya, eksekutif dan legislatif. Khusus dalam bidang lelang eksekusi, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Rakernas MA 2011 menyepakati dikukuhkannya putusan MA sebagai yurisprudensi, dimana peralihan hak berdasarkan alas hak lelang eksekusi, tidak dapat dibatalkan, sekalipun terdapat putusan berkekuatan hukum tetap lain yang kontradiktif dengan dasar lelang eksekusi tersebut, demi kepastian hukum pembeli lelang, oleh karena pihak yang merasa dirugikan hanya dapat mengajukan gugatan ganti-rugi berupa nominal uang kepada pihak pemohon lelang atau kepada penjual yang tidak berhak. Sehingga, sertifikat tanah sebagai dasar pengikatan sertifikat hak tanggungan, maupun risalah lelang sebagai dasar alas hak pemenang lelang, tetap berstatus kuat dan MUTLAK.
Nah, penyakit utamanya dalam kasus non-lelang eksekusi justru berkembang mundur, karena terdapat cacat parah (injured defect) berupa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 UUPA yang mencantumkan kedudukan sertifikat hak atas tanah hanya sebatas “KUAT”. Hal ini diperparah oleh ketentuan dalam PP No.24/1997 yang menyatakan, bahwa status sertifikat hak atas tanah baru menjadi “KUAT dan MUTLAK”, jika telah melewati masa tempo waktu selama 5 (lima) tahun yang dikuasai secara fisik dan tiada sengketa—suatu syarat yang sangat jauh dari nuansa kepastian hukum.
Hanya langkah progresif dan radikal seperti pengajukan uji materiil (judicial review) terhadap UUPA ke hadapan MK RI, agar dinyatakan bahwa Pasal 19 UUPA dinyatakan inkonstitusional jika tidak dimaknai sebagai “KUAT dan MUTLAK”—sehingga tiada lagi peluang bagi kantor pertanahan untuk melakukan aksi overlaping “catatan diatas catatan” ataupun “blokir yang mendahului putusan pengadilan”.
SHIETRA & PARTNERS membuka jasa bagi mereka yang hendak mengajukan uji materiil ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI, terhadap berbagai undang-undang, khususnya undang-undang di bidang pertanahan. Dengan diterimanya surat kuasa untuk mengajukan uji materiil ini, maka konsultan hukum SHIETRA & PARTNERS akan berupaya secara optimal agar utopia negara dengan kepastian hukum ini akan terealisasi. Tulisan ini hanya akan menjadi teori mati jika tidak diaplikasikan.
Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA):
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24/1997):
(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Penjelasan Resmi Pasal 32 Ayat (1) PP No.24/1997:
“Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.
Penjelasan Resmi Pasal 32 Ayat (2) PP No.24/1997:
 “Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini.
Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kelemahan sistem publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisideve verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah. yaitu lembaga rechisverwerking.
Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini.
Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari. Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkret dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.”
Bandingkan dengan Mahkamah Agung dalam bidang peralihan hak atas tanah berdasarkan lelang eksekusi, menyatakan bahwa pihak ketiga hanya dapat menggugat ganti-rugi (berupa nominal uang) pada pihak debitor/pemberi agunan selaku pemberi kuasa untuk menjual (dalam APHT) kepada kreditornya, bukan menggugat pembatalan sertifikat tanah yang dapat merugikan kepentingan pemenang lelang yang beritikad baik, sebagaimana diputuskan Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 1068 K/Pdt/2008 yang telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap Mahkamah Agung dalam Rakernas tahun 2011, dengan kaidah hukum:
-       “Lelang yang dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan;
-       “Apabila di kemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar hukum lelang, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari pemohon lelang.”
KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Anda selaku warga negara dapat mengajukan uji materiil terhadap peraturan peraturan perundang-undangan terkait pertanahan ke hadapan lembaga yudisial yang berwenang. Atau Anda dapat memberikan surat kuasa pada SHIETRA & PARTNERS guna mengajukan uji materil demi terciptanya kepastian hukum di bidang pertanahan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.