Tiadanya Klausul Sanksi Definitif dalam Kontrak atau Suatu Perjanjian, Bukan Merupakan Harga Mati Tertutupnya Upaya Menuntut Ganti-Rugi terhadap Pihak yang telah Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

LEGAL OPINION
Question: Berbagai pakar hukum, baik praktisi maupun akademisi, bahkan praktik di pengadilan, masih memandang bahwa kontrak adalah harga mati, dalam artian, bila dalam suatu kontrak yang telah ditanda-tangani para pihak ternyata tidak mengatur secara tegas dan leterlijk suatu ketentuan mengenai sanksi atau hukuman bila pelanggaran terjadi, maka dianggap bahwa norma-norma dalam kontrak tersebut dapat dilanggar sesuka hati dan dilecehkan. Lantas, jika demikian, apa bedanya antara norma hukum dengan norma sosial? Kontrak, adalah norma hukum, sehingga tidak sepatutnya bila tiada klasusul mengenai ganti-rugi lantas membuat pihak yang telah membawa kerugian bagi kami lolos begitu saja dengan berlindung dibalik kontrak yang tidak memuat klausul sanksi. Kontrak yang memuat klausul sanksi secara definitif kadang menjadi bumerang dikemudian hari, karena keadaan dan kondisi yang akan terjadi dikemudian hari tidak dapat diprediksi dan siapa yang akan tahu akan terjadi seperti apa. Terdapat 1001 variasi suatu pelanggaran kontrak, maka apakah harus dibuat 1001 klausul sanksi bagi 1001 pelanggaran tersebut? Pernyataan para sarjana hukum yang fatalis demikian sungguh tidak dapat diterima oleh kalangan masyarakat maupun pengusaha pada khususnya.
Answer: Dalam sebuah preseden bersejarah, Lindenbaum vs Cohen (1991), dimana salah satu percetakan mencuri informasi rahasia dari pegawai percetakan lain, diganjar hukuman ganti-rugi oleh Mahkamah Agung Belanda, Hoge Raad. Apa yang menjadi dasar pengenaan ganti-rugi tersebut, ialah suatu “kontrak sosial”. Nah, berangkat dari analogi demikian, kontrak sosial tidak menentukan diawal berapa jumlah ganti-rugi yang harus dibebankan dan dieksekusi, namun ditentukan dikemudian hari. “Kontrak sosial” tersebut kemudian dijewantahkan dalam bentuk konsep perdata yang kini dikenal sebagai “perbuatan melawan hukum”. Konsepsi ini bersifat teoritis-praktis, meski belum populer di kalangan pengadilan di Indonesia, yang diakibatnya salah arah metode pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
EXPLANATION:
Memang sudah saatnya untuk merombak dan menyusun ulang konsepsi hukum perdata di Indonesia, terutama segregasi yang seolah dipaksakan antara genus “wanprestasi/cidera janji atas suatu kontrak” dengan “perbuatan melawan hukum”. Keduanya bersumber dari “kontrak sosial”, hanya saja bila hubungan “kontraktual” adalah suatu opsional dimana hubungan yang ada ialah peer to peer individu terhadap individu; sementara dalam konsep “perbuatan melawan hukum” terdapat hubungan antar warga negara yang berdiri dibawah payung “negara hukum” yang berdasarkan “kontrak sosial”.
Secara sederhana, dapat dijelaskan sebagai berikut:
-        Dalam hubungan kontrak antara A dan B, hal itu terjadi secara peer to peer A dan B. Di sini, tidak peran negara tidak menonjol. Ia bersifat opsional, dalam artian fakultatif. Ketika klausul mengenai sanksi tidak diatur secara tegas, bukan diartikan bahwa salah satu pihak melepas haknya untuk menuntut ganti-rugi, itu dua hal yang berbeda.
-        Dalam hubungan “perbuatan melawan hukum”, peran negara menjadi sentral yang mana dapat memutus suatu pemberian ganti-rugi, kepada pihak yang telah dirugikan, dan membebankan ganti kerugian kepada si pembuatnya. Jika ketentuan mengenai sanksi tidak diatur definitif dalam kontrak/perjanjian yang ada antara A dan B, maka negara menampilkan perannya lewat intervensi ketika salah satu pihak meminta keadilan dengan mengatasnamakan “negara hukum” dan “kontrak sosial”. Sehingga, kontrak tidak menjadi harga mati.
Adalah keliru memandang bahwa kontrak yang tidak memuat sanksi dapat dilanggar dengan bebas tanpa resiko apapun. Hal ini diakibatkan oleh segregasi yang dipaksakan atas konsepsi “perbuatan melawan hukum” dan “wanprestasi/cidera janji”.
Penulis adalah satu-satunya sarjana hukum Indonesia yang berpandangan, bahwa sekalipun norma primer (ketentuan yang mengatur larangan, perintah, ataupun kebolehan) tidak memiliki norma sekundair (sanksi konkret atas pelanggaran norma primer), pelanggar dari norma primer tetap dapat dijatuhi sanksi, baik pidana maupun secara perdata. Dasarnya: kontrak sosial.
Norma sosial memang berbeda dengan norma hukum, dan harus dibedakan dengan tegas, dalam arti tiada lagi pandangan bahwa ketiadaan norma sekundair mengakibatkan norma primer menjadi macan ompong, yang memiliki kekuatan tidak lebih tinggi dari norma sosial.
Yang jarang disadari oleh para sarjana hukum di Indonesia, sumber hukum formil bukan hanya kaidah tertulis, namun termasuk juga didalamnya yurisprudensi (putusan hakim yang dilembagakan lewat suatu preseden), doktrin, traktat, bahkan kebiasaan itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
Sebagai suatu perbandingan, dalam sistem hukum pidana dikenal dua buah konsepsi yang saling tarik-menarik: mala perse dan mala prohibita. “Mala perse” ialah suatu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, kasuistis, tidak terikat oleh ruang dan waktu yang stagnan sebagaimana suatu aturan tertulis yang hanya berupa potret ‘mati’, terlepas apakah perbuatan itu diancam delik pidana dalam suatu ketentuan tertulis atau tidak. Berbeda dengan “mala prohibita, yakni suatu perbuatan yang terikat oleh ruang dan konteks waktu yang terpatok pada saat pengesahan suatu regulasi, perbuatan mana yang oleh khalayak baru dilegitimasi sebagai tindak pidana karena peraturan tertulis menyebutnya demikian (asas legalitas).
Sekarang, mari kita telaah perbedaan akibat pelanggar hak warga negara yang bersumber dari “negara hukum” dengan akibat pelanggaran hak yang diatur dalam suatu perjanjian.
Sumber hukum gugatan “perbuatan melawan hukum” ialah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam tataran teoretis-praktis, yang mewajibkan si pelaku pembawa kerugian untuk bertanggung-jawab ialah otoritas negara selaku pembentuk undang-undang, bukan oleh individu yang menjalin kontrak dengan si pelaku pelanggaran kontrak (lihat klausa yang penulis garis-bawahi dalam kutipan pasal diatas).
Berbeda dengan ancaman sanksi yang tercantum dalam kontrak, itu merupakan pembebanan kewajiban yang bersumber dari individu kepada individu, peer to peer, pihak kesatu dalam kontrak dan pihak kedua dalam kontrak. Oleh sebab itulah, Pasal 1365 KUHPerdata hanya dapat ditafsirkan dan dimaknai sebagai:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, (negara) mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut (kepada warga negara lainnya yang dirugikan).”
“Kontrak sosial”, merupakan konsekuensi logis dari berdirinya suatu negara hukum. Adalah bukti konkret dari kebenaran suatu “kontrak sosial”, adalah fakta di negara hukum manapun, bahwa warga negara yang menyakiti warga lainnya akan dihukum. Setiap warga negara terikat oleh “kontrak sosial” yang dibentuk oleh negara lewat wakil rakyatnya di parlemen. “Kontrak sosial” lewat berbagai peraturan perundang-undangan yang kemudian mengikat setiap warga-negara, tanpa terkecuali (perhatikan, regulasi adalah salah satu contoh konkret pengejewantahan “kontrak sosial” yang merupakan suatu perikatan bagi seluruh warga-negara, baik dalam segi pidana, perdata, maupun lingkup bidang lainnya).
Berbeda dengan perikatan dalam “kontrak sosial” yang bersifat komunal, perikatan dalam kontrak individual bersifat peer to peer, sebagaimana dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata:
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Pasal 1313 KUHPerdata diatas menggambarkan sifat suatu “kontrak individual”, terbatas pada peer to peer, oleh sebab itulah berbeda karakter dengan “kontrak sosial” yang berlaku bagi umum dan khalayak apapun. Pasal 1313 KUHPerdata inilah yang sibebut sebagai “perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”.
 Suatu “kontrak individual” memiliki keterbatasan lingkup, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1340 KUHPerdata:
Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Yang perlu digarisbawahi dan dipahami oleh masyarakat pada umumnya dan para sarjana hukum pada khususnya, ketiadaan “kontrak individual” tidak mengakibatkan “kontrak sosial” menjadi terdegradasi keberlakuannya. Dengan kata lain, sekalipun dalam “kontrak individual” tidak dicantumkan suatu klausul definitif mengenai sanksi konkret, maka “kontrak sosial” akan berlaku (sosial contract shall prevail).
Adalah suatu kekeliruan bila hakim mengadopsi cara pandang hukum yang bersifat fatalis, dengan menutup hak kewarganegaraan yang bersumber dari “negara hukum” yang dikonkretkan oleh “kontrak sosial” lewat keberlakuan Pasal 1365 KUHPerdata dan mengamputasi hak warga-negara atas ganti-rugi dari si pelaku pelanggaran hak warga negara tersebut, hanya karena “kontrak individu” tidak mencantumkan klausul mengenai sanksi definitif.
Sebagai bukti bahwa “kontrak sosial” merupakan perikatan itu sendiri sebagai konkretisasi konsep “negara hukum”, merujuk pada:
-        Pasal 1233 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”
-        Pasal 1234 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Bila kita konkretisasi dari kedua pasal tersebut diatas, kita dapat berkesimpulan, bahwa perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu, kesemua itu adalah perikatan-perikatan yang bisa jadi tidak bersumber dari “kontrak individual”, namun dapat juga bersumber dari “kontrak sosial dalam rangka negara hukum”. Itulah sebabnya, sekalipun tidak terdapat kontrak, seseorang dapat dibebani kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu sebagai suatu prestasi—yang mana jika tidak dilaksanakan maka akan dinyatakan “wanprestasi”.
Ambil contoh seorang warga negara bernama A ditabrak oleh B sehingga mengalami cedera, bahkan patah tulang. Perikatan yang lahir sebelum peristiwa tabrakan itu terjadi, bukanlah perikatan untuk memberikan sesuatu, bukan pula untuk berbuat sesuatu, namun perikatan untuk “tidak berbuat sesuatu”, yakni: untuk tidak merugikan dan tidak menyakiti orang lain.
Contoh serupa ditemukan pada peristiwa karyawan yang terlibat hubungan perjanjian kerja dengan majikannya. Meski tidak tercantum secara spesifik definitif dalam kontrak kerja, sang karyawan terikat oleh perikatan “untuk tidak berbuat sesuatu” berupa tidak membocorkan rahasia perusahaan, untuk tidak merusak inventaris kantor, dsb. Disaat bersamaan, karyawan tersebut terikat pula oleh perikatan “untuk berbuat sesuatu” seperti untuk bekerja dengan itikad baik, untuk masuk kerja setiap hari kerja dan jam kerja, dsb. Apabila dalam kontrak kerja tidak diatur secara detail demikian, dan terjadi pelanggaran kontrak oleh pegawai, maka apakah sang majikan tidak diperkenankan membebankan ganti-rugi atau denda pada sang karyawan? Begitupun sebaliknya, dikenal istilah contra-prestasi, dimana kewajiban karyawan diberi hak setimpal dengan bobot tanggung-jawabnya, dan hak normatif tersebut menjadi kewajiban pengusaha untuk berbuat sesuatu (memastikan keselamatan kerja), memberi sesuatu (gaji yang layak), dan/atau untuk tidak berbuat sesuatu (yang diskriminatif, misalnya) kepada karyawannya.
Jika hanya karena alasan tiada klausul spesifik definitif mengenai besaran sanksi maka kontrak dapat dilanggar, maka majikan pun dapat mengelak dari perikatan “untuk membayar gaji karyawan”, “untuk tidak mendiskriminasi karyawan”, dan perikatan lainnya. Tidak mungkin suatu perjanjian kerja mencantumkan klausul mengenai sanksi bagi pemberi lapangan kerja.
Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut:
-        Pasal 1239 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga.
-        Pasal 1240 KUHPerdata: “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga jika ada alasan untuk itu.”
-        Pasal 1241 KUHPerdata: “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga diakasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanannya atas biaya si berutang.”
-        Pasal 1242 KUHPerdata: “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi, dan bunga.”
Keempat pasal diatas bukan monopoli timbul dalam hubungan kontraktual individual semacam kontrak atau perjanjian peer to peer, namun hubungan “kontrak sosial” berupa perikatan perdata pada umumnya. Sehingga, keempat pasal diatas dapat digunakan baik bagi mereka yang memiliki sengketa “wanprestasi” maupun sengketa “perbuatan melawan hukum”.
Suatu “kontrak individual”, tidak dapat membatasi “hak dan kewajiban” warga-negara lain meskipun warga-negara lain tersebut adalah para pihak dalam kontrak/perjanjian individual. Yang dapat dibatasi oleh suatu “kontrak individual” hanyalah lewat diaturnya oleh para pihak dalam perjanjian mengenai klausul perikatan “untuk tidak berbuat sesuatu” yang diperluas rinciannya oleh para pihak dalam kontrak.
Bila pihak yang melanggar “kontrak individual” mendalilkan diri bahwa dirinya dapat melanggar kontrak tersebut karena tiada klausul yang mengatur mengenai sanksi bagi pihak pelanggar, berarti ia telah melanggar “hak untuk menuntut ganti-rugi” pada warga-negara lainnya selaku sesama warga-negara, sehingga “kontrak individual yang ditafsirkan mengamputasi hak pihak lain untuk menuntut ganti-rugi” dinyatakan tidak sah oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur:
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Alternatif lain, untuk kasus tertentu, bila hakim secara orthotoks memutus bahwa gugatan “perbuatan melawan hukum” sebagai “tidak dapat diterima” karena pandangan konservatif teori hukum bahwa “wanprestasi” dengan “perbuatan melawan hukum” adalah dua kategori yang berbeda, maka dapat diajukan gugatan ulang (putusan “nietonvantkelijk verklaard / tidak dapat diterima” tetap dapat diajukan gugatan ulang), dengan memakai dasar gugatan berupa pembatalan perjanjian.
Sekalipun di dalam “kontrak individual” dinyatakan bahwa Pasal 1266 KUHPerdata disimpangi atau dinyatakan tidak berlaku oleh para pihak, KUHPerdata sendiri telah menegaskan bahwa Pasal 1266 KUHPerdata tidak dapat disimpangi oleh bentuk perjanjian apapun. Adapun bunyi selengkapnya dari Pasal 1266 KUHPerdata:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
“Dalam hal yang demikian persetujuan tidak dapat batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
“Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian.
“Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya. Jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Mengapa strategi diubah menjadi gugatan wanprestasi yang meminta pembatalan perjanjian? Karena, bila permohonan pembatalan perjanjian dikabulkan, akaibatnya ialah Pasal 1265 KUHPerdata yang berbunyi:
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),  menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”
Dalam berbagai kasus tertentu, adalah mustahil membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seperti sebelum terjadinya suatu perikatan.  Ambil contoh sederhana, cost konsumtif yang telah dikeluarkan seperti tenaga, bahan bakar, akomodasi, waktu, dan pemakaian bahan material yang bersifat amortatif, adalah tidak mungkin dikembalikan seperti keadaan semula seperti tidak pernah ada pemakaian.
Untuk itu, peran hakim menjadi krusial, sehingga tidaklah mungkin pula sebuah kontrak mengesampingkan/menderogasi (waive) ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yang berbunyi:
Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”
Pasal 1267 KUHPerdata yang menjadi tujuan utama gugatan pembatalan perjanjian, yakni lewat perantara hakim, akan diputuskannya sejumlah kerugian yang diderita, dimana nominal ganti-rugi sebagai pengganti dari keadaan yang tidak mungkin kembali seperti keadaan semua sebelum terjadinya perikatan.
Ibarat permainan biliard, menepuk bola satu dengan tujuan untuk mengenai bola yang lain. Mengajukan gugatan pembatalan dengan tujuan untuk mewajibkan pihak pelanggar kontrak untuk mengganti-rugi sejumlah kerugian yang diderita pihak lainnya. Teknik atau taktik ini potensial untuk berhasil, mungkin terkecuali terhadap “potensi keuntungan yang hilang”. Tak-tik ini semata hanya untuk memulihkan kondisi dari pihak yang terlanggar hak-haknya dalam suatu perjanjian, dan paling tidak meminimalisasi kerugian yang diderita.
Karena peran hakim adalah sentral, oleh sebab adalah tidak logis dan dilarang oleh “kontrak sosial” untuk menghilangkan keberlakuan Pasal 1266 maupun Pasal 1267 KUHPerdata.

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Sebagai solusi, atau jalan tengah, ketika kontrak tidak mencantumkan suatu klausul spesifik definitif mengenai sanksi, sebagai contoh besaran nominal ganti-rugi, jangan ajukan gugatan “wanprestasi”, namun ajukan gugatan “perbuatan melawan hukum” karena perikatan tidak hanya lahir dari persetujuan—namun juga dapat lahir karena undang-undang (vide Pasal 1233 KUHPerdata).
Dalam Arrest Lindenbaum vs. Cohen tahun 1919 yang telah menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda maupun hukum di Indonesia, perbuatan tercela yang melanggar kepatutan dan moralitas sekalipun dapat diganjar dengan hukuman ganti-rugi, meski nyata-nyata tidak terdapat aturan hukum tertulis yang menyatakan demikian. Mengapa, karena terdapat “kontrak sosial” dalam rangka “negara hukum”. Demikian kajian filosofis-yuridis sebagai jawaban atas kisruhnya konsepsi hukum di Indonesia akibat segregasi “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum”.
Bila perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), maka “wanprestasi” itu sendiri memang merupakan “perbuatan melawan hukum”. Tidak pada zamannya lagi dibuat sekat pemisah antara gugatan perdata “wanprestasi” dengan gugatan perdata “perbuatan melawan hukum”.
“Kontrak sosial” maupun konsep “negara hukum” memang konsep abstrak. Siapa yang wajib mengkonkretisasinya jika bukan hakim di pengadilan. Dan, ketika hakim nenolak memutus ganti-rugi terhadap salah satu pihak dalam hubungan kontraktual yang tidak mengandung klausul mengenai hukuman sanksi, sama artinya hakim/pengadilan tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap yurisprudensi Lindenbaum vs. Cohen sebagai salah satu sumber hukum formil.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.