Janji Mengupayakan Berbeda dengan Janji yang Menjanjikan

LEGAL OPINION
Question: Bagaimana perlindungan hukum pada profesi kedokteran, mengingat tidak ada jaminan apapun atas kesembuhan pasien, mengingat pula hubungan pasien dan dokternya terjadi secara insidentil, acapkali, sebagai contoh petugas dokter jaga di UGD dimana tiba-tiba dapat saja datang pasien korban tabrak lari. Sebaik apapun dokter menangani, bila pasien tersebut telah luka parah dan pasti akan meninggal, maka pasien tersebut pasti tetap akan meninggal. Namun, mengapa pihak dokter dan rumah sakit yang harus menanggung kesalahan dan menjadi kambing hitam sehingga seolah menjadi mangsa empuk untuk dijadikan objek pemerasan, baik secara pidana maupun perdata. Sebenarnya, dimana kepastian hukum bagi mereka yang berkecimpung dalam profesi kedokteran?
Answer: Terdapat dua jenis indikator untuk menentukan salah atau tidaknya seorang dokter dalam melakukan tugas mulianya dalam mengobati pasien: proses medis yang teliti dan dapat dipertanggung-jawabkan, serta tiadanya janji-janji maupun iming-iming dari pihak dokter atau rumah sakit, termasuk tiada sesumbar “muluk-muluk” terhadap calon pasien. Prinsip ini berlaku pula terhadap praktik advokat.
Perlu dibedakan antara perikatan dimana rumah sakit/dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis), dengan suatu langkah “penggiringan psikologi pasien” dengan menggantungkan “kepastian pada ketidakpastian—yang  merupakan kontrak terhadap sesuatu hasil yang sudah pasti (resultastsverbintenis). Ciri-ciri dari resultastsverbintenis, ia selalu berbentuk kontraktual yang memberi janji suatu hasil tertentu atau suatu janji secara lisan yang membuat calon pasien memberikan kepercayaan penangangan medis.
Selama pengemban profesi dokter melakukan suatu aksi pertolongan medis tanpa suatu dasar suatu ikatan kontrak “hasil”, maka hal itu harus ditafsirkan sebagai suatu niat upaya untuk memperbaiki luka/kerusakan yang terjadi, sehingga bila sekalipun terjadi hal diluar upaya medis sehingga orang yang menjadi pasien tersebut meninggal, maka itu bukanlah suatu pelanggaran terhadap kontrak “mengupayakan” maupun perbuatan melawan hukum.
Mengusahakan, atau mengupayakan sesuatu hasil, tidak menjanjikan suatu hasil spesifik tertentu. Menjanjikan sesuatu hasil tertentu, barulah itu menjadikan hubungan kontraktual akan hasil, yang bersifat mengingat bagi sang dokter.
EXPLANATION:
“Mengusahakan”, atau “mengupayakan”, ialah suatu langkah proses menuju suatu hasil tertentu yang diharapkan, ia tidak bertumpu pada hasil akhir itu sendiri—berbeda halnya dengan “menjanjikan” yang mana bertumpu pada suatu hasil tertentu, terlepas apapun proses yang medis yang dilakukan.
Terdapat dua jenis hubungan hukum yang terjadi dalam hubungan keperdataan “jasa” antara dokter dengan pasiennya: hubungan perikatan yang didasari oleh kontrak tertulis, dan hubungan perikatan yang terjadi secara insidentil ataupun hubungan perikatan yang meski tidak insidentil namun tidak dituangkan dalam sebuah kerangka kontrak tertulis yang utuh.
Dengan demikian, apa yang menjadi landasan utama bagi dokter dalam melayani pasiennya?
Sebenarnya, baik hubungan perikatan insidentil sekalipun, kontrak tetap terjadi, sehingga itulah mengapa, standar tarif rumah sakit berlaku bagi umum, layaknya sebuah jasa layanan lainnya, dimana setiap pengunjung, dengan asas fiksi, dianggap mengetahui syarat dan ketentuan yang berlaku di rumah sakit tersebut, seperti tata tertib dan standar tarif. Inilah yang kemudian disebut dengan autonomic legislation.
Lantas, bagaimana dengan pasien. Perlindungan hukum paisen telah diatur dalam regulasi terkait standar operasional sebuah rumah sakit, maupun oleh undang-undang tentang kesehatan maupun undang-undang tentang praktik kedokteran di samping kode etik kedokteran.
Kesemua ini yang menjadi kontrak baku tidak tertulis antara pasien dan rumah sakit / sang dokter. Dasar kebenaran etis suatu tindakan medik, ditentukan asas utama hukum perdata yang berlaku secara general: pihak ketiga maupun pihak dalam perikatan yang beritikad baik, dilindungi oleh hukum.
Adapun yang menjadi dasar hukum hubungan pasien dengan rumah sakit / dokternya ialah Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan hukum berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Sekalipun dalam kasus hubungan hukum yang terjadi secara insidentil, semisal pasien dimasukkan dalam UGD / IGD, persetujuan “dianggap” telah terjadi oleh pihak pasien/keluarga pasien dengan pihak rumah sakit/dokter, karena pasien/keluarga pasien mendatangi rumah sakit/dokter tersebut, dan rumah sakit/dokter tersebut membuka jasa praktik secara umum bagi masyarakat.
Itikad baik, mendasarkan diri pada kesungguhan, profesionalisme, pertanggung-jawaban prosedur medik, serta bersifat objektif dalam menangani suatu perkara medis yang dihadapkan kepadanya. Ketentuan ini berlaku bagi hubungan pasien-dokter yang terjadi secara “sengaja” (semisal dokter menawarkan obat atau jasa perawatan kulit pada masyarakat, atau bila dokter dan pasien membuat suatu kontrak tindakan medik tertentu, yang biasanya berupa bedah medik estetika seperti operasi wajah, dsb), maupun secara “tidak disengaja” / insidentil.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, suatu penawaran atau pembukaan jasa pelayanan medik dikenal dengan istilah hubungan perdata terapeutik. Perikatan terapeutik itu sendiri diartikan sebagai suatu perikatan dimana pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis), sehingga  jarang merupakan kontrak yang sudah pasti (resultastsverbintenis). (Lihat Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006)
Terdapat kalangan praktisi maupun akademisi hukum yang berpandangan bahwa seorang dokter atau rumah sakit harus membuat kontrak yang detail dengan konkret spesifik atas suatu hasil dari tindakan medis terhadap pasiennya. Pandangan ini keliru sepenuhnya, karena membuka celah bagi pihak manapun untuk “menyerang” integritas profesi kedokteran.
Sebagai ilustrasi, A membuat kontrak terapeutik dengan sang dokter kecantikan wajah, dimana dalam kontrak tersebut, digambarkan wajah hasil rekonstruksi dari A yang hendak melakukan operasi wajah demi tujuan estetika maupun demi tujuan rehabilitasi kerusakan jaringan kulir wajah akibat kecelakaan. Jika A kemudian meninggal, akibat tindakan medis tersebut, sekalipun A benar-benar mendapatkan hasil operasi wajah yang dijanjikan dalam kontrak, dengan berbagai detailnya, sang dokter tetap dapat digugat karena menyebabkan kematian, bukan atas dasar wanprestasi (breach the contract, default, etc), namun setiap kesalahan dalam profesi apapun dapat menjadi pokok gugatan “perbuatan melawan hukum” oleh sang ahli waris dari almarhum pasiennya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Sebagaian besar sarjana hukum berpandangan, bila suatu pelanggaran dalam perjanjian tidak diatur pasal mengenai sanksi di dalam kontrak, maka sekalipun terjadi pelanggaran kontrak tersebut, pihak pelanggar tak dapat dikenai sanksi karena tidak disepakati pengenaan sanksi.
Apakah dengan tiadanya klausul mengenai sanksi, dengan demikian mengakibatkan pihak lain dapat melanggar hak pihak lain dalam perjanjian dengan ancaman hukuman?
Analogi berikut dapat menjawabnya dengan berbentuk skema pikir:
1.     Dua orang tak dikenal, satu pengendara dan satu pejalan kaki. Pengendara menabrak pejalan kaki. Apakah pejalan kaki tak dapat meminta ganti-rugi kepada si pengendara? Apakah si pengendara dapat berkilah bahwa tak pernah ada perjanjian yang mengatur mengenai sanski antara si pengendara dengan si pejalan kaki?
2.     Apakah dengan menjadi seorang pasien, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban keperdataan dan kewarganegaraan dari sang pasien menjadi tercerabut?
Yang tidak diketahui para akademisi hukum maupun praktisi hukum di Indonesia, ialah: sumber kewenangan menuntut ganti-rugi yang bersumber dari Pasal 1365 KUHPerdata, ialah hak keperdataan yang diberikan oleh negara (undang-undang) kepada pihak warganegaranya, bukan berdasarkan hak yang lahir dari kontrak individual. Pasal 1365 KUHPerdata lebih kearah filosofis-etis “kontrak sosial”.
Kontrak, adalah substitusi atau komplomenter dari hukum negara keperdataan Pasal 1365 KUHPerdata. Sehingga, sekalipun kontrak tidak menyebutkan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada sang dokter yang mal-praktik (alias melalaikan prosedur medik baku, ataupun bersifat non baku namun tidak dapat dipertanggung-jawabkan), sanksi tetap dapat dijatuhkan melalui mekanisme gugatan “perbuatan melawan hukum yang lahir dari hak yang diberikan negara vide Pasal 1365 KUHPerdata qq. rechtstaat, bukan dari dari gugatan wanprestasi—karena memang tidak pernah diperjanjian sanksi apapun dalam kontrak.
Dengan demikian, membuat kontrak yang spesifik detail, antara pasien dan dokternya, di satu sisi dapat berdampak baik bagi sang pasien maupun sang dokter, namun disisi lain dapat menjadi “bumerang” bagi keduanya.
Yang perlu diingat oleh kalangan medis kedokteran, semakin detail dan konkret suatu kontrak, sifat “menjanjikan hasil” lebih mencuat ke permukaan, ketimbang hubungan keperdataan dokter-pasien yang bersifat “kontrak” abstrak/umum, dimana sifat hubungan pasien-dokter hanya akan menjadi sebatas “mengupayakan”/”mengusahakan”.
Suatu tindakan “terapis” tidak menjanjikan suatu hasil apapun, itulah yang kemudian diangkat sebagai judul perikatan antara dokter dan pasiennya: Perjanjian Terapeutik.
Adalah tidak lazim suatu kontrak terapeutik mencantumkan sanksi bila terjadi kerugian terhadap sang pasien pasca tindakan medis. Oleh sebab itu, gugatan wanprestasi (pelanggaran kontrak), adalah rawan dinyatakan hakim sebagai “tidak dapat diterima” (niet onvantkelijk verklaard). Tindakan cerdas sang pasien, ialah melancarkan gugatan “perbuatan melawan hukum”, alih-alih gugatan wanprestasi.
Namun, jika sejak awal, dengan tegas dan konsisten dinyatakan bahwa hubungan dokter-pasien hanya bernaung dalam koridor “janji mengupayakan”, bukan “janji hasil”, maka gugatan “perbuatan melawan hukum” dipastikan akan dinyatakan “DITOLAK”, kecuali sang pasien dapat membuktikan bahwa memang telah terjadi mal-praktik oleh sang dokter/rumah sakit—yakni argumentasi bahwa hak sang pasien selaku warga negara untuk tidak dirugikan oleh warga negara lain telah dilanggar oleh sang dokter oleh karena kesalahan penangangan prosedur medik, baik lalai maupun disengaja.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.