Asas Terang dan Tunai dalam Hukum Pertanahan Nasional, Kaitan Hak Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaan dan Kepastian Hukum Pemenang Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

LEGAL OPINION
Question: Penggugat mengklaim dirinya telah ditipu oleh Tergugat I yang merupakan pembeli rumah, hanya karena belum membayar lunas harga jual-beli. Oleh Tergugat I, tanah diagunkan kepada Tergugat II selaku bank pemberi kredit (dimana Tergugat I menjadi debitor Tergugat II), dan karena terjadi wanprestasi akad kredit oleh Tergugat I, agunan dijual secara lelang eksekusi dan tertarik pula Tergugat III sebagai pemenang lelang. Apakah gugatan Penggugat dapat mengamputasi hak dari pemenang lelang? Surat gugatan terlampir.
Answer:  Gugatan Penggugat hanya dapat berupa gugatan pelunasan harga jual-beli terhadap Tergugat I, tidak dapat berupa gugatan pembatalan lelang. Kedua, gugatan tersebut hanya dapat berupa gugatan wanprestasi, pribadi antara si penjual dan si pembeli tanah, tidak dapat ditariknya kreditor si pembeli maupun pemenang lelang, sebab hubungan hukum yang ada hanya antara si penjual dan si pembeli, atas dasar hubungan hukum hutang-piutang. Gugatan yang berupa gugatan “perbuatan melawan hukum”, terlebih meminta pembatalan lelang, adalah gugatan “obscuur libel” sehingga wajib dinyatakan “DITOLAK” atau setidaknya dinyatakan “TIDAK DAPAT DITERIMA”.
EXPLANATION:
SERTIFIKAT TANAH MERUPAKAN ALAT PEMBUKTIAN YANG KUAT
Semua orang dapat mengklaim secara sepihak suatu bidang tanah adalah miliknya, termasuk oleh penghuni liar. Namun, berdasarkan hukum pertanahan nasional, tanda bukti hak atas tanah satu-satunya hanya dapat merujuk pada data yuridis yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh instansi resmi bernama “kantor pertanahan”.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

ASAS HUKUM AGRARIA JUAL-BELI TANAH: “TERANG” DAN “TUNAI”
Jual beli tanah menurut Hukum Agraria Nasional Republik Indonesia adalah pemindahan hak atas tanah yang bersifat permanen, sehingga diistilahkan “tunai”. Artinya, begitu terjadi jual-beli dengan dibuktikan adanya akta otentik disertai adanya suatu pembayaran kontan, maka seketika itu juga peralihan hak telah terjadi secara sempurna. Dengan kata lain, sejak saat itu putus hubungan antara pemilik yuridis yang lama dengan tanah tersebut untuk selama-lamanya. Peralihan hak, terjadi secara seketika ketika asas “terang” dan “tunai” terpenuhi.
Asas “tunai”, memiliki dua opsi sebagai alternatif:
-        dibayar lunas saat terjadi perikatan jual beli; atau
-        baru dibayar sebagian (down payment).
Opsi “pembayaran separuh” biasanya terjadi karena rumah masih berbentuk rencana pembangunan (site plan / denah lokasi) atau bila tanah yang bersangkutan secara fisik masih dihuni oleh si penjual atau pihak ketiga dan belum diserahkan kepada pihak pembeli. Adalah janggal bila TERGUGAT I diwajibkan melunasi seluruh harga kesepakatan pembelian bila PENGGUGAT masih menghuni objek jual-beli secara melawan hukum tanpa suatu penyerahan fisik atas objek jual-beli. Justru adalah TERGUGAT I yang telah tertipu oleh PENGGUGAT karena menjual rumah dengan itikad buruk, sebagaimana terbukti dalam:
a)    Pasal 1457 KUHPerdata ialah:
“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”—Tidak terdapat satupun pengakuan dari PENGGUGAT untuk menyerahkan objek jual-beli (in casu Objek Sengketa) dalam posita gugatannya. Sehingga adalah wajar bila pembeli (TERGUGAT I) tidak melunasi sisa harga jual-beli sebelum PENGGUGAT menyerahkan objek jual-beli.
b)    Pasal 1475 KUHPerdata, yang berbunyi:
Penyerahan ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli.”—Sementara itu jual-beli telah terjadi secara sempurna berdasarkan asas “terang dan tunai” sehingga adalah kewajiban PENGGUGAT untuk menyerahkan Objek Sengketa kepada TERGUGAT I.
c)     Pasal 1474 KUHPerdata:
Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.”
d)    Pasal 1491 KUHPerdata:
Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, adalah kewajiban penjual (in casu PENGGUGAT) terhadap pembeli tanah maupun pembeli kedua (in casu TERGUGAT III) atas tanah jual-beli untuk diserahkan secara tenteram dan aman serta bebas daari cacat tersembunyi. Hubungan hukum keperdataan hutang-piutang hanya menyangkut pihak PENGGUGAT dan TERGUGAT I semata, tidak terdapat kaitan terhadap pihak tergugat lainnya.
Jual beli benda tak bergerak dinyatakan telah sah, bilamana terdapat:
-        adanya alas hak (jual-beli, tukar-menukar, dsb)
-        adanya kehendak menjual yang dibuktikan dengan adanya uang panjar (Down Payment) yang diterima oleh si penjual;
-        kehendak dan kesesuaian kehendak tersebut dituangkan secara tertulis dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang berwenang di bidang pertanahan
-        Telah dibayar secara riil meski hanya separuh. Sementara, penyerahan fisik tanah dan pembayaran sisa harga dapat menjadi cicilan, angsuran, atau dilunasi pada lain kesempatan. Sehingga bila dikemudian hari nominal nilai jual-beli tidak dilunasi oleh pembeli, maka hubungan hukum yang ada ialah hubungan perdata hutang piutang yang tunduk pada ketentuan KUHPerdata oleh karena hubungan jual-beli telah tuntas dan selesai saat terpenuhinya asas “terang dan tunai”.
Yang menjadi konsekuensi yuridis bila telah terpenuhinya asas “terang dan tunai” dalam peralihan hak atas tanah: yakni tidak dapat sang pembeli digugat atas dasar jual-beli tanah, karena jual beli (pemindahan hak atas tanah) dinyatakan telah selesai. Yang dapat ditempuh sang pemilik lama hanyalah upaya penagihan hutang-piutang terhadap sang pembeli tanah. (Arie S. Hutagalung, dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia,–Ed.1. –Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, Hlm. 216—217)

TERPENUHINYA ASAS “TERANG”
Hukum acara perdata menganut sistem pembuktian formil, dalam arti suatu akta notaril PPAT jual-beli tanah merupakan alat pembuktian yang sempurna di hadapan hakim, atas dasar:
a)    Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.”
b)    Pasal 1870 KUHPerdata: “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.”
c)     Pasal 1873 KUHPerdata: “Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut-serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga.”
PENGGUGAT telah mengakui menandatangani akta jual-beli tanah. Terkait dengan kecerobohan dan kelalaian PENGGUGAT memastikan substansi akta yang ditanda-tanganinya, adalah beban kesalahan/kelalaian ia pribadi. Tidak sepatutnya atas kelalaian diri sendiri, tanggung-jawab dilimpahkan kepada kreditor maupun pemenang lelang selaku pihak ketiga yang tidak mengetahui niat batin TERGUGAT I maupun PENGGUGAT yang bisa jadi hanya dalil (bekerja sama untuk menipu/merampok kreditornya sendiri).
Pada prinsipnya, tidak ada orang waras yang begitu cerobohnya menyerahkan sertifikat tanah dan menandatangani kuitansi kosong jual-beli tanah tanpa melihat substansi akta yang ia tanda-tangani. Bukti persangkaan tersebut sudah merupakan alat bukti yang cukup untuk membuktikan faktor kesalahan yang terbit dari pribadi diri si PENGGUGAT.
 PENGGUGAT mendalilkan gugatannya atas dasar Gugatan “Perbuatan Melawan Hukum”, namun berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata:, diatur
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pertanyaan utama yang patut diajukan kepada Mejelis Hakim Pengadilan Negeri: karena kesalahan/kelalaian siapakah sehingga “kerugian” tersebut terjadi jika memang benar terdapat kerugian? Tindakan PENGGUGAT adalah tidak gentlement, mengingat atas kecerobohannya kini ia hendak “lempar batu sembunyi tangan”.
“Pengakuan” adalah alat bukti terkuat dalam hukum acara perdata. Sementara PENGGUGAT telah mengakui perbuatan lalainya dalam posita gugatan dengan menandatangani blangko kosong, menyerahkan sertifikat tanpa menghirauan prinsip kehati-hatian—namun dengan penuh “kesembronoan”, menerima separuh nilai harga pembelian, dan tiada upaya hukum gugatan terhadap “penipuan” yang dilakukan TERGUGAT I bila sekalipun benar TERGUGAT I telah melakukan penipuan sejak tahun 2010 (sementara itu lelang eksekusi terjadi pada tahun 2015).
PENGGUGAT tidak taat terhadap asas kehati-hatian, sehingga dirinya tidak memiliki hak untuk menuntut pihak lain yang bersikap taat asas kehati-hatian. Sikap PENGGUGAT yang tidak mampu menjaga harta kekayaannya sendiri, adalah tanggung-jawabnya sendiri.

BUKTI BAHWA JUAL-BELI TELAH SAH TERJADI: ASAS “TUNAI”
Adapun bukti bahwa jual-beli telah terjadi antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I, antara lain:
1.     Posita No. 5: PENGGUGAT menerima Mobil … dari TERGUGAT I.
2.     Posita No. 7: PENGGUGAT menerima uang sebesar Rp. .... ,- dari TERGUGAT I.
3.     Posita No. 10: PENGGUGAT menerima uang sebesar Rp. ... ,- dari TERGUGAT I.
4.     Posita No. 11: PENGGUGAT menerima uang sebesar Rp. … ,- dari TERGUGAT I
Pembeli tanah belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan, berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga tanah yang ditetapkan belum terbayar lunas. Belum lunasnya pembayaran harga tanah tidak menghalangi pemindahan hak atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah selesai. Adapun sisa uang yang belum dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual, sebagai hubungan hutang-piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat akad jual-beli.
Yang dimaksud dengan kontan/tunai dalam pengertian jual beli hak atas tanah adalah penyerahan hak atas tanah terjadi bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli sehingga seketika itu juga hak atas tanah sudah beralih. Harga yang dibayarkan itu tidak harus lunas, selisih harga dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang termasuk dalam lingkup hukum hutang-piutang
Karena itu, mengingat hak milik sudah berpindah dan jual beli telah selesai, maka jika sisa harga tanah yang belum dibayar tersebut tidak juga dibayar oleh pembeli, penjual tidak bisa membatalkan jual beli tanah tersebut. Selain itu, karena tanah juga sudah menjadi hak milik dari pembeli, maka pembeli memiliki kebebasan untuk mengalihkan kembali tanah tersebut kepada pihak ketiga.
 Yang bisa dilakukan oleh penjual adalah menggugat sang pembeli atas dasar wanprestasi perjanjian utang piutang (sisa harga tanah yang belum dibayar) sebagaimana diatur Pasal 1243 dan Pasal Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebelum melakukan gugatan perdata, penjual harus terlebih dahulu memberikan somasi kepada pembeli untuk membayar utangnya (sisa harga yang belum dibayar). Apabila pembeli tidak mengindahkan somasi tersebut maka penjual dapat melakukan gugatan wanprestasi. Tujuan gugatan bukan untuk meminta pembeli mengembalikan tanah kepada penjual, tapi untuk menuntut pelunasan utang kepada penjual. Sehingga, gugatan PENGGUGAT adalah “salah alamat”, karena yang dapat dilakukannya hanyalah gugatan “wanprestasi” terhadap TERGUGAT I, bukan gugatan “perbuatan melawan hukum”.
Sekalipun asas “terang dan tunai” dinyatakan tidak terjadi, sehingga akta jual beli antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I dinyatakan tidak sah, kreditor dan pembeli lelang tetap merupakan pihak ketiga yang beritikad baik sehingga dilindungi oleh hukum. Tidak ada debitor nakal yang bersedia dilelang eksekusi, dan semua orang dapat mengklaim kepemilikan suatu benda tanpa dasar. Dasar lelang terbentuk, adalah Surat Keterangan Pendaftaran Tanah yang diterbitkan oleh kantor pertanahan, yang menyatakan benar tanah tersebut milik TERGUGAT I.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan:
-       Bagi Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu mengajukan derden verzet/perlawanan karena obyek Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan Sita Eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak mungkin dilakukan lelang eksekusi.
-       Pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.
-       Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (obyek jual beli tanah).
-       Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak.
SEMA No. 7 Tahun 2012 tersebut dikuatkan oleh SEMA No. 4 Tahun 2014 serta SEMA No. 5 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2014 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

ASAS PUBLISITAS HAK TANGGUNGAN
i.          Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT): “Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.”
ii.          Penjelasan Pasal 13 Ayat (5) UU HT: “Dengan dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan, asas publisitas terpenuhi dan Hak Tanggungan itu mengikat juga pihak ketiga.”
iii.          Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) butir (a) UU HT: “Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum angka 5, dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah: hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).
Calon Kreditor telah melakukan survey pada lokasi, namun PENGGUGAT kembali mengulangi kecerobohannya dengan bersifat pasif. Dengan demikian, sebagaimana diakui sendiri oleh PENGGUGAT dalam gugatannya, kelalaian bersumber dari pihak PENGGUGAT itu sendiri, sehingga kreditor dan pemenang lelang adalah pihak ketiga yang tidak mungkin mengetahui adanya permasalahan bila PENGGUGAT itu sendiri membuat persetujuannya secara diam-diam menerima dan membolehkan objek diikat sebagai jaminan—secara ekplisit menunjukkan bahwa hubungan keperdataan yang ada ialah murni hubungan hutang-piutang antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I.

KREDITOR DAN PEMBELI LELANG ADALAH PIHAK KETIGA YANG BERITIKAD BAIK
Lelang eksekusi jaminan kebendaan tidak merupakan suatu jual-beli yang bersifat kesukarelaan dari penjual, sehingga adalah wajar bila seluruh penghuni objek lelang akan berkeberatan terhadap rencana lelang eksekusi—lewat berbagai klaim penipuan, intimidasi, dsb. Sementara lelang eksekusi berlangsung atas dasar berbagai akta otentik kredit beserta sertifikat hak tanggungan, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari kantor pertanahan setempat, lengkap dengan akta turunannya.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang: “Lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat dibatalkan.”—Sementara, PENGGUGAT hanya mendalilkan gugatannya pada klaim sepihak, bentuk sikap warga negara yang diragukan kredibilitasnya karena demikian gegabah.
Di bagian akhir risalah lelang tercantum  “catatan”: TERHADAP LELANG TIDAK ADA PERLAWANAN / VERZET. Catatan demikian dibacakan oleh Pejabat Lelang sebelum lelang dibuka terhadap para peserta lelang. Menjadi bukti bahwa gugatan hanyalah skenario semata antara PENGGUGAT dan debitor terlelang eksekusi untuk merampok kreditornya sendiri. Jika memang benar PENGGUGAT adalah pihak yang beritikad baik, mengapa tidak sejak awal mengajukan gugatan perlawanan terhadap rencana lelang eksekusi terhadap Objek Sengketa? Mengapa tidak sejak tahun 2010 mengajukan gugatan terhadap sang pembeli? Pembiaran demikian adalah bentuk penerimaan secara diam-diam.
PENGGUGAT mendalilkan bahwa TERGUGAT II tidak pernah melakukan pengecekan fisik ke lokasi tanah dan bangunan yang menjadi letak objek Sertifikat Hak Milik yang menjadi agunan untuk mengetahui siapa pemilik atas tanah dan bangunan yang sebenarnya sehingga dinyatakan tidak beritikad baik. Dalil demikian bukanlah dalil hukum, namun dalil mafia tanah. Untuk mengetahui siapa pemilik sebenarnya, adalah yurisdiksi/kewenangan Kantor Pertanahan penerbit sertifikat tanah dan SKPT. Setiap penghuni liar pasti mengaku dirinya sebagai pemilik tanah tersebut.

KESIMPULAN:
Tidak ada itikad baik PENGGUGAT dalam menjual tanah, dimana dengan lalai/ceroboh menandatangani kuitansi kosong dan dengan gegabah menyerahkan sertifikat pada TERGUGAT I, sehingga tidak memiliki relevansinya dengan menarik pihak kreditor maupun pemenang lelang sebagai Para Tergugat. PENGGUGAT memiliki itikad buruk dengan menerima uang panjar jual-beli tanah namun tidak mau mengakui terpenuhinya asas terang dan tunai.
Adalah PENGGUGAT yang telah wanprestasi terhadap TERGUGAT I, karena tidak menyerahkan objek jual-beli kepada pembeli, sebagaimana diakui sendiri oleh PENGGUGAT dalam posita No.17: “SHM No. …  tersebut hingga kini masih tetap ditempati, dihuni, dan dalam penguasaan Penggugat.”—Pihak yang wanprestasi tidak dapat menuntut prestasi dari pihak lainnya.

REKOMENDASI:
1.     Ajukan rekonpensi (gugatan balik) karena gratis dan menjadi satu-kesatuan dengan gugatan konpensi: secara efesien menghemat waktu karena Gugatan Konpensi dan Rekonpensi akan diperiksa secara bersamaan.
2.     Penggugat Rekonpensi oleh Pemenang Lelang dapat meminta agar ditetapkan uang paksa (dwangsom) terhadap Penggugat Konpensi, per hari keterlambatan mengosongkan objek lelang sebesar sekian rupiah.
3.     Penggugat Rekonpensi dapat meminta agar tindakan Penggugat Konpensi yang menguasai fisik objek lelang adalah perbuatan melawan hukum dan wajib mengosongkan diri dari Objek Lelang.
4.     Penggugat Rekonpensi dapat meminta agar risalah lelang dinyatakan tetap sah serta dikukuhkan, dan hubungan sengketa keperdataan yang ada hanyalah hubungan hutang-piutang antara PENGGUGAT KONPENSI dan TERGUGAT I KONPENSI.

PENUTUP:
Sekalipun terjadi kemungkinan terburuk: akta jual beli tanah antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I dinyatakan tidak sah, maka hakim tunduk pada Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 1068 K/Pdt/2008 yang telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap Mahkamah Agung dalam Rakernas MA RI tahun 2011, menetapkan kaidah hukum:
-       Lelang yang dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan; (NOTE: Sertifikat Hak Tanggungan dan Gross Risalah Lelang memiliki irah-irah yang berfungsi sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga memiliki kekuatan eksekutorial)
-       Apabila di kemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar hukum lelang, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari pemohon lelang.
PENGGUGAT hanya dapat meminta ganti-rugi atas objek lelang dari PEMOHON LELANG. Namun, siapakah yang dimaksud dengan “Pemohon Lelang”?
Merujuk pada Akta Pembebanan Hak Tanggungan, tercantum klausul: “Saya, Debitor, dengan ini memberikan kuasa kepada kreditor untuk menjual secara lelang umum atas agunan yang dijaminkan bila saya wanprestasi atas fasilitas kredit…”
Dengan kata lain, kreditor adalah “kuasa debitor untuk menjual”. Sehingga, PENGGUGAT hanya dapat menuntut ganti-rugi terhadap TERGUGAT I, yakni tuntutan pelunasan hutang-piutang antara TERGUGAT I dan PENGGUGAT sebagai konsekuensi asas “terang dan tunai”.
Adalah kesalahan dari pihak keluarga PENGGUGAT sendiri yang tidak menempatkan PENGGUGAT dalam keadaan “ampu” karena “gelap mata” menandatangani kuitansi kosong dan serampangan menyerahkan sertifikat hak atas tanah (tidak mampu menjaga harta benda). Bila PENGGUGAT sendiri atas sikapnya yang tidak taat asas kehati-hatian, maka tiada seorang pun yang patut menanggung kesalahan / kelalaian pihak PENGGUGAT itu sendiri. Adalah suatu bentuk modus perampokan: menerima separuh uang pembelian, namun kini menuntut pula tanah untuk dikembalikan—sikap tamak yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum.
Demikian Legal Opinion ini disusun dan disampaikan SHIETRA & PARTNERS, guna menjadi bahan pertimbangan menghadapi gugatan a quo. 
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.