Setiap Badan Hukum dapat Dipailitkan, baik PT, Yayasan, maupun Koperasi

LEGAL OPINION
Question: Apakah sebuah yayasan dapat dipailitkan? Bagaimana dengan suatu perusahaan yang berbentuk CV, dapatkah dipailitkan? Bagaimana dengan koperasi? Jika debitor perorangan kemudian debitor tersebut meninggal, apakah yang dapat dipailitkan adalah anak (ahli waris) mereka?
Answer:  Seluruh badan hukum dapat diajukan pailit sepanjang syarat dasar kepailitan terpenuhi: terdapat dua kreditor dan hutang (bersifat sederhana) pada salah satu kreditor telah jatuh tempo. CV bukanlah badan hukum (namun hanya badan usaha), begitupula firma, sehingga tidak dapat diajukan pailit tanpa menyertakan para pengurusnya yang bertanggung jawab secara renteng. Terhadap debitor yang telah meninggal dunia, tetap dapat diajukan pailit terhadap debitor almarhum tersebut, dengan kurun waktu yang telah ditentukan oleh UU Kepailitan. Namun, jika boedel waris telah terbuka dan terbagi pada para ahli waris debitor, para ahli waris tersebut dapat dimohon pailitkan, karena boedel warisan tidak hanya mengandung aktiva, namun juga terkandung pasiva (hutang dan kewajiban) Pewaris didalamnya.
EXPLANATION:
Konsep “subjek hukum” dalam hukum Indonesia terbagi menjadi dua kategori: orang pribadi (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum (bukan badan usaha), berdasarkan asas fiksi hukum diberikan status yang melekat layaknya seorang manusia rekaan.
Ciri-ciri badan hukum (rechtspersoon):[1]
a)      memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya;
b)     memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya secara pribadi;
c)      hak dan kewajiban badan hukum tetap melekat walaupun anggotanya silih berganti.
Suatu badan usaha, yang terdiri dari firma, CV, dan persekutuan perdata (maatschap), tidak memiliki keistimewaan suatu “badan hukum”. Suatu badan hukum (legal entity), memiliki statusnya sebagai badan hukum karena dinyatakan oleh undang-undang, antara lain:
1.    Pasal 1 Ayat (1)  Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas: “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
2.    UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 sebagaimana ditindaklanjuti oleh Surat Edaran Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.169/SE/Dep.1/2014 tanggal 23 Juni 2014, sehingga ketentuan tentang Koperasi merujuk kembali pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, dalam Pasal 9 dinyatakan: “Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah.”
3.    Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan: “Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.”

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan):
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Sementara Kepailitan Harta Peninggalan diatur dalam Pasal 207 UU Kepailitan: “Harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau lebih Kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa:
a. utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau
b. pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.”
Pasal 208 UU Kepailitan:
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 harus diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal terakhir Debitor yang meninggal.
(2) Ahli waris harus dipanggil untuk didengar mengenai permohonan tersebut dengan surat juru sita.
(3) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus disampaikan di tempat tinggal terakhir Debitor yang meninggal, tanpa keharusan menyebutkan nama masing-masing ahli waris, kecuali nama mereka itu dikenal.
Pasal 209 UU Kepailitan:
“Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.”
Pasal 210 UU Kepailitan:
“Permohonan pernyataan pailit harus diajukan kepada Pengadilan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah Debitor meninggal.”
Pasal 211 UU Kepailitan:
“Ketentuan mengenai perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 sampai dengan Pasal 177, tidak berlaku terhadap kepailitan harta peninggalan, kecuali apabila warisannya telah diterima oleh ahli waris secara murni.”
Pasal 144 UU Kepailitan:
Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.”

Pasal 1100 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat, dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan.”

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
CV dan firma, selaku badan usaha, tidak dapat dipailitkan. Yang dapat dipailitkan adalah persero aktif dari CV dan setiap sekutu dari firma. Jadi bukan badan usahanya yang dipailitkan, namun badan usaha beserta para pengurusnya, karena badan usaha tidak memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan para pengurusnya. Hal tersebut adalah konsekuensi logis dari sifat badan usaha, yakni: tanggung jawab renteng para pengurusnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


[1] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa”, Refika Aditama, bandung, 2003, hlm. 36.