Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak, Bebas Namun Tetap Taat Hukum Negara

LEGAL OPINION
Question: Berbagai praktisi hukum menyatakan bahwa perjanjian berlaku layaknya sebuah undang-undang. Benarkah demikian? Apakah semua peraturan dapat disimpangi oleh perjanjian? Bagaimana daya mengikat dari perjanjian? Apa yang dapat disimpangi (dari hukum tertulis) oleh perjanjian dan apa yang tidak dapat disimpangi oleh perjanjian? Apakah perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang menandatanganinya saja, tanpa mengikat pihak ketiga?
Answer:  Hukum perdata Indonesia menganut asas “kebebasan berkontrak”. Namun “kebebasan” tersebut tidaklah sebebas-bebasnya hingga tiada rambu-rambu pembatas. Kebebasan tanpa batasan, adalah chaos, dan batasan tanpa kebebasan adalah matinya perekonomian sipil dan negara. Satu alasan logis mengapa suatu asas “kebebasan berkontrak” perlu dibatasi, karena suatu perjanjian bukan hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut, namun turut pula mengikat pihak ketiga (sebagai konsekuensi logisnya dalam praktik); sehingga, oleh karena pihak ketiga merupakan “pihak ketiga yang beritikad baik”, sehingga harus dilindungi oleh hukum dengan memberikan batasan sampai sejauh apa “kebebasan berkontrak” dapat dikatakan sahih dan kapan suatu kontrak/perjanjian dikatakan ilegal sehingga dapat dibatalkan atau bahkan batal demi hukum.
Secara sederhana, suatu hal yang bersifat netral dalam peraturan perundang-undangan, dapat disimpangi lain oleh para pihak lewat perjanjian yang mereka buat dan sepakati. Terhadap ketentuan yang bersifat limitatif dan imperatif, adalah ketentuan yang tidak dapat disimpangi. Terhadap elemen yang tidak diatur secara jelas dan juga tidak tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan, menjadi elemen detail yang dapat diatur dalam perjanjian. Kata kuncinya: sepanjang hal itu tidak membawa dampak negatif bagi pihak ketiga yang terkena pengaruh dari suatu perjanjian—mengingat perjanjian juga mengikat pihak ketiga (secara sejatinya)—maka hal yang diatur dalam perjanjian dapat menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Demikianlah kriteria ketentuan hukum yang dapat disimpangi oleh para pihak dalam mengikatkan diri dalam perjanjian.
EXPLANATION:
Akibat persetujuan atau kesepakatan, maka terbit perjanjian, dan perjanjian tersebutlah membawa lahirnya perikatan bagi para pihak yang mengadakan persetujuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pasal 1338 KUHPerdata seolah menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang menandatanganinya, namun “teori peleburan dalam perjanjian” dibawah akan membuktikan bahwa perjanjian memiliki daya keberlakuan yang mengikat pula terhadap pihak ketiga. Hukum pun telah memberikan suatu perluasan makna sebuah perjanjian, lewat pengaturan Pasal 1339 KUHPerdata:
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Sementara apakah yang menjadi batasan suatu Perjanjian, ketentuan dalam pasal Pasal 1337 KUHPerdata berikut menjadi rambunya:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Perjanjian kredit, adalah suatu hal yang lazim, namun menjadi sah atau tidaknya adalah karena tingkat suku bunga kredit: apakah patut atau tidak. Yang dimaksud dengan “ketertiban umum” adalah sesuatu yang sumir dan bisa menjadi subjektif jika tidak ditetapkan secara tertulis dalam aturan hukum oleh regulator. Contoh, regulator telah menetapkan tingkat suku bunga dasar kredit, maka bila terdapat rentenir yang memberikan pinjaman dengan tingkat suku bunga melampaui tingkat suku bunga kredit yang telah dibatasi oleh pemerintah, maka perjanjian rentenir tersebut batal demi hukum, dengan akibat seluruh pinjaman pokok wajib dikembalikan oleh debitor tanpa diwajibkan untuk memberikan bunga yang melampaui batas kewajaran terhadap sang rentenir.
Contoh kasus “rentenir” tersebut adalah konsep hukum mengenai suatu kebatalan, yakni: dibawanya kembali posisi dan keadaan para pihak kepada kondisi semula seperti belum terjadi perikatan perdata, dikembalikannya dana kredit tanpa hak bagi si rentenir untuk memungut bunga, sebagaimana diatur dalam Pasal 1265 KUHPerdata:
“Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”
Pasal 1266 KUHPerdata secara lebih detail mengatur:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka-waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Apa yang kemudian terjadi bila terdapat pelanggaran terhadap ketentuan pasal 1337 KUHPerdata tersebut diatas? Jawab: yakni tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian vide Pasal 1320 KUHPerdata:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (berwenang atau tidak menurut anggaran dasar suatu badan hukum, dan apakah subjek pribadi tersebut telah cakap hukum berdasarkan umur, dsb);
3.    Suatu hal tertentu;
4.    Suatu sebab yang sahih.”ß Causa yang tidak ilegal merupakan salah satu syarat agar suatu kontrak/perjanjian tidak dinyatakan “batal demi hukum” (null and void).
Pasal 1335 KUHPerdata menegaskan lebih lanjut:
Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
Jika Pasal 1335 KUHPerdata dibenturkan dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, timbul sebuah pertanyaan: sebenarnya perjanjian yang tidak patut bersifat “batal demi hukum” ataukah “dapat dibatalkan” dalam arti tidak batal dengan sendirinya? Jawabnya ialah sebagai berikut: jika dari sejak awal perikatan dilandasi suatu tindakan ilegal, maka ia “batal demi hukum” alias batal dengan sendirinya meski tidak dimintakan ke hadapan pengadilan guna pembatalannya. Sementara jika perikatan dilandasi itikad baik para pihak, dan tidak melawan hukum, jika dikemudian hari terdapat suatu niat pembatalan oleh salah satu pihak, atau bila terjadinya suatu keadaan yang memenuhi syarat batal dalam kontrak, maka sifatnya ialah “dapat dibatalkan” ke hadapan pengadilan, dengan alasan karena pihak lain tidak menyepakati kebatalan itu dan telah menanggung sebentuk kerugian dengan dibatalkannya perjanjian—baik kerugian nyata maupun opportunity cost alias potensi keuntungan yang hilang.
Kemudian timbul pertanyaan lain, jika dari seratus buah pasal dalam perjanjian, terdapat satu atau dua pasal yang ilegal, sebagai contoh, apakah perjanjian tersebut akan gugur secara sendirinya untuk sepenuhnya? Pasal 1336 KUHPerdata menjawab sebagai berikut:
Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang sahih, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah.”
Tren berbagai kontrak/perjanjian yang dirancang para konsultan hukum selama ini sebenarnya telah mempraktikkan suatu salah kaprah, seolah jika membuat klausul yang berbunyi: “Jika terdapat ketentuan dalam Perjanjian ini yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka ketentuan lainnya tetap sah dan Perjanjian ini tetap berlaku.”—klausul demikian adalah tidak perlu, mubazir, dalam arti tanpa diatur demikian sekalipun, suatu perjanjian tetaplah, meski terdapat beberapa ketentuan didalamnya yang cacat dari hukum, namun ketentuan yang tidak melanggar hukum tetaplah sah, dan atas ketentuan yang tidak sah sah tersebut secara otomatis akan tunduk pada ketentuan dalam hukum perdata umum.
Berbagai tren format baku kontrak di Indonesia merupakan duplikasi model kontrak asing yang menurut penulis tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, karena sifat model format kontrak asing memiliki suatu kemubaziran yang menyerupai suatu ‘inflasi’ kata-kata yang tidak perlu diatur karena sudah diatur oleh hukum perdata umum.
Suatu kontrak tidak perlu “gemuk”, namun yang terpenting adalah memiliki daya efektifas tinggi dan menutup celah hukum perdata umum, dan yang terpenting: “bergigi”—mengingat berbagai kontrak tidak memiliki daya executable dalam praktiknya ketika masuk ranah pengadilan akibat lemahnya klausul mengenai akibat wanprestasi.
Sebagai ilustrasi, betapa kontrak antara dua pihak juga turut mengikat pihak ketiga: pembeli yang telah secara sah membeli tanah dari penjual (kontrak jual-beli), melahirkan hak untuk mengajukan permohonan balik-nama sertifikat hak atas tanah, dan Kantor Pertanahan wajib pula tunduk dan menghormati peralihan hak itu dengan mencatatnya dalam buku tanah. Pihak ketiga pun tidak dapat lagi menyewa tanah dari penjual, namun kepada pembeli. Serta Kantor Pertanahan tidak dapat dibenarkan meletakkan blokir yang diajukan oleh pihak ketiga karena jual-beli yang sahih antara penjual dan pembeli tersebut mengikat pula pihak ketiga (dalam hal ini seluruh warga masyarakat) untuk turut menghormati hak pembeli untuk memiliki hak atas tanah tersebut.
Perjanjian yang biasanya tertuang dalam kontrak, sebagai suatu perikatan perdata, acapkali menjadi tonggak utama dalam dunia niaga/bisnis. Pada asasnya, hukum tertulis oleh pihak regulator tidak mungkin mengatur seluruh aspek kegiatan bisnis maupun perdata sipil secara detail dan spesifik, terlebih corak dan ragam bisnis terus berkembang dan bergerak dinamis, oleh karena: Pertama, ruang lingkup kegiatan masyarakat sangat luas cakupannya. Kedua, dinamika perkembangan masyarakat sangat cepat sehingga hukum selalu “terlambat satu langkah dibelakang realitas roda ekonomi dan sosial kemasyarakatan”.
Oleh sebab itu, hukum perikatan perdata atau yang sederhana disebut “perjanjian”, memilii peran penting guna mengisi kekosongan hukum tersebut. Memang, perjanjian berlaku sebagai quasi “undang-undang” bagi para pihak yang membuatnya. Hanya saja, ciri pembeda antara antara quasi “undang-undang” dengan “undang-undang”, ialah sifat keberlakuannya, secara luas ataukah secara sempit.
Quasi “undang-undang”, yang biasanya tertuang dalam Anggaran Dasar suatu organisasi maupun perseroan, maupun dalam perjanjian, ataupun hukum kebiasaan / budaya setempat, hanya mengingat komunitas sempit itu saja. keberlakuannya tidak berlaku secara general sebagaimana undang-undang riel yang memiliki daya ikat / keberlakuan secara umum.
Ada substansi perjanjian yang terlarang, dan ada substansi perjanjian yang terbuka oleh hukum untuk diatur oleh para pihak yang menyepakatinya. Contoh, perjanjian untuk “kawin sewa / nikah kontrak”, adalah terlarang. Perjanjian hutang yang timbul dari perjudian, juga adalah terlarang. Pun terdapat beberapa limitasi yang disebutkan sendiri secara tegas dalam undang-undang untuk membatasi lingkup perjanjian yang dapat dibuat oleh masyarakat umum. Berikut contoh pengaturannya:
Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
Para calon suami-istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.”
Pasal 140 KUHPerdata:
“Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai ayah, tidak pula hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami-istri; namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mempersyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak, di samping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas. Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta-bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dari pihak istri jatuh ke dalam harta-bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si istri.”
Pasal 141 KUHPerdata:
“Para calon suami-istri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak boleh melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka atas warisan keturunan mereka, pun tidak boleh mengatur warisan itu.”
Pasal 142 KUHPerdata:
“Mereka tidak boleh membuat perjanjian, bahwa yang satu mempunyai kewajiban lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya dalam keuntungan-keuntungan harta-bersama.”
Pasal 143 KUHPerdata:
“Mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas lalu, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, atau oleh beberapa adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang pernah berlaku di Indonesia.”
Pasal 144 KUHPerdata:
Tidak adanya gabungan harta-bersama tidak berarti tidak adanya keuntungan dan kerugian bersama, kecuali jika hal ini secara tegas ditiadakan.”
Pasal 145 KUHPerdata:
“Juga dalam hal tidak digunakannya atau dibatasinya gabungan harta bersama, boleh ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si istri setiap tahun dari hartanya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak-anak.”
Pasal 146 KUHPerdata:
Bila tidak ada perjanjian mengenai hal itu, hasil-hasil dan pendapatan dari harta istri masuk dalam penguasaan suami.”
Pasal 147 KUHPerdata:
Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan; tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.”
Pasal 149 KUHPerdata:
Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apa pun.”
Pasal 152 KUHPerdata:
“Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dari harta-bersama menurut undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu dilangsungkan, atau kepaniteraan di mana akta perkawinan itu didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar negeri.”

Diatas kita dapat melihat, bahwa pembuat undang-undang telah membatasi substansi perikatan perdata yang dapat dibentuk oleh sipil, sehingga hukum perikatan tidak sepenuhnya “rimba tanpa hukum”. Kini kita simak contoh lain, mengenai pengaturan suatu perjanjian “bersyarat”, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1253 KUHPerdata:
“Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.”
Pasal 1254 KUHPerdata:
“Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.”
Pasal 1255 KUHPerdata:
“Syarat yang bertujuan tidak melakukan sesuatu yang tak mungkin dilakukan, tidak membuat perikatan yang digantungkan padanya tak berlaku.”
Pasal 1256 KUHPerdata:
“Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah.”
Pasal 1257 KUHPerdata:
“Semua syarat harus dipenuhi dengan cara yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

KESIMPULAN DAN PENUTUP:  
Esensinya adalah sebagai berikut, suatu perjanjian menentukan hak dan kewajiban masing-masing, atas suatu prestasi (dapat berwujud “pemberian sesuatu benda”, “melakukan sesuatu”, atau “untuk tidak melakukan sesuatu”).
Perjanjian itu membuat para pihak yang membuatnya “berbaur” menjadi satu dimata pihak ketiga, dimana pihak ketiga akan melihat perjanjian tersebut—bukan lagi melihat para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut secara individu per individu. Dari perjanjian tersebut akan jelas suatu hak dan kewajiban dari suatu status hak dan kewajiban. Teori “pembauran dalam perjanjian” yang penulis rumuskan inilah, yang kemudian memiliki daya mengikat pula bagi pihak ketiga.
Contoh, perjanjian pengalihan piutang (cessie maupun subrogasi), memiliki konsekuensi yuridis berupa terikatnya pihak debitor untuk melunasi hutangnya pada pembeli piutang.
Teori “pembauran dalam perjanjian” berlaku absolut dan keras terhadap para pihak yang membuatnya, namun berlaku secara relatif terhadap pihak ketiga. Artinya, pihak ketiga dapat memilih untuk tunduk atau tidak terhadap perjanjian tersebut.
Contoh, jika pihak ketiga merasa bahwa perjanjian yang dibuat oleh A dan B, adalah bertentangan dengan kesusilaan maupun undang-undang, maka pihak ketiga dapat saja tidak tunduk dan mengabaikan perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut hanya semata kuat dan keras bagi A terhadap B, dan B terhadap A semata.
Berita buruknya, pengadilan di Indonesia masih bersifat orthodoks, dalam arti kemampuan logika hukum para hakim di Indonesia masih ber-mindset konservatif yang belum memiliki pengetahuan/keterampilan menganalisa hukum dengan baik, terbukti dengan berbagai putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung yang sangat jarang mengabulkan gugatan pembatalan perjanjian karena bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Bukan hanya di Indonesia, berbagai Arbiter asing Lembaga Arbitrase di luar negeri sakalipun memiliki mindset legalistis, dalam arti kontrak setidak adil apapun substansi perikatannya, wajib dipenuhi (secara membuta).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.